Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SASTRA: RESEPSI IMAJINER DAN KONTESTASI MAKNA (Pemantik untuk Diskusi Aletheia Ledalero) Oleh: Paul Ama Tukan (Anggota Aletheia Ledalero)

SASTRA: RESEPSI IMAJINER DAN KONTESTASI MAKNA (Pemantik untuk Diskusi Aletheia Ledalero) Oleh: Paul Ama Tukan (Anggota Aletheia Ledalero)

Dalam membaca novel atau karya puisi, pembaca benar-benar mengalami dirinya sedang “dibaca” oleh kata-kata yang sedang dibacanya – K. Rahner

Persentuhan dengan sastra, saya sadari terjadi karena dua hal. Pertama, karena kegemaran membaca. Membaca, hemat saya ialah sebuah penetrasi intelektual; membawa nikmat, intimitas dan dialog yang intens; dengan diri sendiri maupun dengan teks/penulis. Melalui membaca saya bisa terlibat dalam kontestasi makna, menambah amunisi “kata” dan membantu nalar bekerja lebih cepat mencerna pengalaman. Dalam bahasa Paus Fransiskus, membaca membantu proses “Ruminatio” (mengunyah) pengalaman.

Kegemaran membaca adalah “kekayaan” satu-satunya bagi siapa saja yang mengenyam pendidikan seminari yang bebas teknologi. Kegembiraan ditransfer ke dalam pergumulan intim dengan teks atau cerita. Ditambah lagi, perasaan “in”, “keren” dan asyik jika saya nimbrung dalam pembicaraan tentang sebuah buku atau cerita bersama teman-teman asrama. Karena itu, saya menyadari kecintaan terhadap sastra bukan karena saya mengerti apa itu sastra melainkan karena semata-mata passion untuk membaca buku, buku apa saja, sejauh itu mengasyikkan. Paus Fransiskus menulis hal yang sama bahwa di tengah obsesi pada layar, kedangkalan bahkan kekerasan makin dipamerkan. Dan karena itu, saya sedikit sadar bahwa peristiwa pengekangan akses terhadap “layar” juga sesuatu yang tidak sepenuhnya salah, lebih kurang setelah melewati masa-masa itu.

Kedua, karena sastra meramu kata dan mencipta paradoks. Saya menyukai permainan bahasa dalam puisi; padat, indah, bernas mengundang tafsir. Kalau Walter Benjamin, seorang filsuf Sejarah bilang, “jangan terlalu banyak mengingat karena engkau akan terbebani untuk maju, tapi juga jangan terlalu banyak melupakan, karena engkau tak punya bekal untuk maju”, maka puisi adalah “jalan tengah” yang mendamaikan ekstrim antara melupa dan mengingat.  Juga dalam cerpen atau novel jika cerita itu mengandung paradoks yang melampaui cara pandang yang lumrah dan biasa. Sastra menerobos pikiran yang cenderung biner, atau hitam atau putih, atau baik atau buruk, antagonis atau protagonis, iblis-malaikat. Bacaan sastra menciptakan “dinamika internal” dalam diri saya bahkan menggugat kemapanan dan keyakinan. Sastra menerobos yang lazim dan lumrah tanpa harus menyodorkan resolusi.

Karya sastra yang paling membekas bagi saya ialah cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma. Karya ini menurut saya berhasil menelantarkan saya dengan imajinasi sendiri untuk terlibat di dalam cerita. Saya baca karya ini waktu kelas 1 SMA ketika guru mapel BINDO meminta kami membuat kliping antologi puisi karangan para cerpenis ternama Indonesia dan NTT. Cerpen ini masuk 10 antologi yang saya kumpulkan.

Karya ini menceritakan tentang seorang murid bernama Sandra yang “gagap” mengarang dalam sebuah pelajaran mengarang di sekolah. Guru Tati memberi tiga opsi tema untuk diceritakan; keluarga yang bahagia, liburan di rumah nenek dan Ibu. Waktu mengarang 60 menit. Sandra, siswa berusai 10 th ini tak bisa menulis apapun. Tiada sesuatu pun yang membahagiakan dari keluarganya. Ibunya seorang pelacur. Ayahnya tak jelas. Jika membayangkan keluarga yang bahagia, yang terlintas di pikirannya ialah botol-botol minuman keras, suara dengkur laki-laki hidung belang yang meniduri ibunya. Begitupun yang terlintas tentang Liburan di rumah nenek ialah wajah keriput seorang mucikari yang membawanya ke club malam kalau ibunya lagi keluar kota. Kalau membayangkan sosok Ibu maka ia mengingat satu ketika di malam hari ia terbangun dan melihat ibunya menangis. Tangisan yang membuatnya terus bertanya.

“Kenapa Ibu menangis?” Ibunya tak menjawab apapun selain memeluknya. Kendati seorang pelacur, hati seorang ibu adalah hati yang paling tulus mencintai anaknya sendiri. 60 menit selesai. Tak satu kata pun ditulis Sandra. Ibu guru pun mengumpulkan pekerjaan itu. Menariknya, akhir kisah ini memberi celah rumpang bagi pembaca untuk menerka kira-kira bagaimana reaksi Guru Tati ketika menemukan kertas karangan Sandra. Setting melompat. Ibu guru akhirnya memeriksa setengah pekerjaan siswanya sepulang di rumah dan dengan gegabah menyimpulkan bahwa murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah. Guru Tati belum tiba pada kertas pekerjaan Sandra yang hanya ditulis kalimat sepotong: “Ibuku seorang Pelacur”.

Ada tiga hal yang menarik bagi saya dalam cerpen ini. Pertama, bahwa Sandra sungguh-sungguh mengarang di saat pilihan mengarang itu dikerangkeng dalam opsi dan alternatif. Jadi sesungguhnya, yang dilakukan teman-teman Sandra ialah mentransfer pengalaman ke dalam cerita, bukan mengarang. Sandra adalah siswa yang memaksimalkan imajinasi. Siasat lain yang ditampilkan ialah absennya kemampuan menciptakan yang fiksional.

Kedua, cerita ini menyibak cara pandang yang cenderung biner. Bagi seorang moralis, pelacur adalah tokoh yang bejat. Tapi cerita dalam cerpen ini menyibak suatu kesadaran bahwa kualitas moral seseorang sama sekali tidak membatalkannya potensinya untuk mencintai dengan tulus. Bahkan moralitas pribadi dikorbankan sebagai satu bentuk pilihan mencintai. Dalam kaca mata saya sebagai orang Katolik, cinta kasih melampaui apapun. Persis, pelacur yang kurang lebih jika dilihat dari perspektif teologi tubuh seorang yang amoral justru mengekspresikan cinta yang tulus kepada anaknya. Di sinilah paradoks cinta. Di saat tak ada lagi pilihan untuk berkorban bagi seorang yang kita cintai, tubuh adalah jalan terakhir bagi hidup jika ingin terus berkanjang.

Ketiga, pembaca punya posisi superior di mana kejadian yang sesungguhnya “disembunyikan” dari tokoh. Guru Tati belum tiba pada kertas tulisan Sandra tetapi pembaca tahu apa yang ditulis Sandra. Saya kira, di situlah letak  kemahiran Seno. Ia mampu melibatkan pembaca bahkan untuk bercermin diri melalui pengalaman Sandra. Dua kemungkinan; pertama, pembaca boleh jadi mencercah guru yang selalu menggeneralisasi sesuatu berdasarkan observasi komunal dan mengabaikan pengalaman individual dan kedua, kita merasa ibah sambil mengintrospeksi diri tentang pengalaman pahit kita sendiri ketika berhadapan dengan sesuatu yang mewajibakn kita mengungkapkannya. Satu insight yang saya temukan; tiada ibu yang sampurna tapi cinta dan instensinya selalu sampurna, tulus dan tuntas. Persoalan moral pribadi tak semestinya menjadi tolak ukur yang baku untuk menakar sejauh mana kapasitas cinta dan pengorbanan.

Sastra yang berhasil hemat saya ialah sastra yang bisa menghadirkan paradoks, mendekonstruksi keyakinan, mentematisasi keresahan, dan menghadirkan kisah sebagai resepsi imajiner. Paus Fransiskus menegaskan bahwa sastra bisa jadi jalan kepada injil/Sabda di saat hidup dirasa tawar dan membosankan. Jika St. Paulus mengatakan Sabda bisa memperbaiki kelakuan, menegur dan menyatakan kesalahan (2 Tim 3:16), maka sastra menghadirkan suatu cara dekonstruksionis untuk melihat hal-hal yang selalu bebas dari posisi tawar kita karena kuatnya stereotype dan intensi menghakimi.

                              *** 

Pengalaman menulis sastra saya alami karena kebiasaan menulis diari/buku harian. Kebiasaan ini saya mulai ketika SMA kelas 1. Sekali lagi bukan karena kesadaran tentang menulis. Kami diwajibkan menulis diari setiap hari dan diperiksa oleh guru BINDO. Kebiasaan ini makin dimapankan saat menjalani Novisiat di Nenuk. Menulis saya pikir suatu askese, selalu dimulai dengan usaha yang keras. Anda harus setia duduk, berpikir memancing ide, membayangkan, merancang ide, merumuskan bahasa, mengklarifikasi pengalaman dan menghindari kesesatan logis. Jadi, menulis pada mulanya seesuatu yang butuh perjuangan keras tapi pada gilirannya akan mempermudah banyak hal. Saya selalu percaya bahwa inspirasi berjalan saat Anda mulai berani bertanya atau paling kurang sesuatu bisa memancing anda bertanya. Pengalaman menulis juga dipacu oleh  menulis di Media. Artikel pertama saya terbit di Warta Flobamora pada 2014 berjudul “Panen Perdana Seminari BSB”. Puisi saya terbit di Pos Kupang pada 2018 di kolom sastra.

Pengalaman menulis diari sangat membantu saya dalam dua hal. Pertama, merumuskan bahasa dan melatih kemahiran mendeskripsikan sesuatu. Menulis melatih keintiman dengan teks dan bahasa. Seorang penulis ibarat petani kata, harus menyemai bibit bahasa secara tekun dan menanam kata secara saksama agar ia bisa menuai kalimat dan paragraf yang brilian. Kedua, menulis memampukan saya melewati semua level berpikir; observasi, klarifikasi, sedimentasi, rasionalisasi, problematisasi, dan elaborasi.Sastra khususnya, hemat saya bergerak dalam tegangan antara inovasi dan konvensi. Ada sesuatu yang tinggal tetap entah karena imitasi dan refleksi dan ada sesuatu yang perlu melampaui yang biasa. Tegangan ini harus disadari agar sebuah karya tidak terlampau biasa karena tunduk pada pakem yang lazim dan juga tidak terlampau “baru” dan asing karena hasrat inovatif yang salah parkir.

Pengalaman bersastra di Aletheia juga merupakan pengalaman yang mengasyikkan, yang membuat saya belajar untuk mendaur pengalaman secara kreatif melalui diskusi yang terbuka dan koordinasi yang cair. Aletheia memercik “api” sastra untuk bangun dari kelaziman. Aletheia sejak awal membantu saya untuk memberi keseimbangan bagi filsafat. Filsafat berurusan dengan rasionalitas dan penalaran. Sastra berurusan dengan estetika, emosionalitas. Kalau Filsafat memancing refleksi yang serius dan dialeketika yang ketat, sastra tetap reflektif tetapi dengan metafora yang ringan dan permainan bahasa yang lebih cair. Pendeknya, sastra membuat kerumitan filsafat makin lebih mudah dicerna dan membimbing saya mengenal aspek menusia secara lebih lengkap dalam pengalaman konkret.

Akhirnya, sastra berurusan dengan makna. Membaca dan menulis sastra berarti masuk dalam kontestasi makna. Hidup mencari makna adalah hidup yang asyik, yang menggetarkan serentak menggairahkan. Sastra, mendayagunakan semua sumber daya konseptual bahasa. Ketika fakta bungkam, sastra harus bicara, kata Pramoedya.

Kata Paus Fransiskus, sastra membantu kita mendengarkan suara orang lain/lawan dari isolasi diri. Saya sepakat. Bahkan lebih luas dari itu adalah KESENIAN. Kesenian membuat kita selalu “takjub” dan selalu terbuka terhadap koreksi. Sastra juga medium berdisermen yang efektif. Sastra mendidik hati dan mempertajam pikiran melalaui resepsi imajiner. Sastra mencerna empati yang sentimental atau rasa iba yang tidak kreatif.

Di tengah kedigdayaan Chat GPT, kita terjun dalam surplus data dan informasi. Yang raib justru estetika dan narasi yang diramu dari konteks spesifik dan riil. Singkatnya, pengalaman manusiawi tidak bisa diakomodasi oleh data yang konstan dan terkodifikasi. Chat GPT hanya berurusan dengan data, tapi tidak dengan makna dan estetika. Saya mengakhiri ini dengan puisi yang saya tulis di 2019, puisi yang “buruk” kalau saya baca kembali tapi berkesan karena ini puisi pertama yang saya tulis secara lebih serius. 

Album

Di bening matamu

Aku bersolek dengan badan telanjang

Mengukur setiap langkah yang rapuh pada simpang doa

Aku ini pandai berselingkuh pada malam hari

Tetapi bersimpuh pada pucuk pagi

Memanggil aduh-ku

Mencabut canduku;

Kala dulu sekali.

Kota Sau, 2019

Dan satu puisi dari Remy Sylado yang saya suka

Bisnis Kemanusiaan

Di rumah sakit katolik ada Yesus di Salib

Di rumah sakit Protestan Adven Babtis

Orang getol bicara pengharapan di salib Yesus

Ketika rumah sakit minta bayar mahal kepada orang sakit

Rumah sakit telah menambah salib baru kepada orang sakit.

 

Terima kasih!


Fr. Paul Ama Tukan (Anggota Teater Aletheia Ledalero)

1 komentar untuk "SASTRA: RESEPSI IMAJINER DAN KONTESTASI MAKNA (Pemantik untuk Diskusi Aletheia Ledalero) Oleh: Paul Ama Tukan (Anggota Aletheia Ledalero)"