Teater Aletheia Ledalero dan Komunitas KAHE Gelar Diskusi Bertema Teater dan Kota
*Eka Putra Nggalu: Perlakukan Teater sebagai Suatu Disiplin
POSE BERSAMA-- Anggota Teater Aletheia dan Komunitas KAHE pose bersama usai diskusi bertema "Teater dan Kota" , Jumat (30/10/2020).
Kelompok Teater Aletheia Ledalero mengawali program kerja semester ini dengan
menggelar diskusi bersama Komunitas KAHE Maumere.
Kegiatan ini berlangsung di
halaman depan Aula St. Thomas Aquinas Ledalero, Jumat malam (30/10/2020).
Diskusi kali ini bertema “Teater dan
Kota”. Adapun pematerinya adalah
Pater Dr. Felix Baghi, SVD (Dosen Filsafat Estetika pada STFK Ledalero
sekaligus Moderator Kelompok Aletheia
Ledalero), dan Eka Putra Nggalu (Pegiat teater, Ketua Komunitas KAHE). Sementara moderator diskusi
ialah Frater Selo Lamatapo. Keseluruhan
kegiatan ini dipandu oleh Ticha Solapung dari
Komunitas KAHE sebagai master of ceremony.
Mengawali acara ini, Frater Bryan
Lagaor, perwakilan Kelompok Alertheia Ledalero,
mementaskan monolog bertajuk “Noktah” karya Frater Edy Soge. Sedangkan
Komunitas KAHE membawakan dramatic
reading yang diadaptasi dari novel berjudul Pedro Paramo karya Juan Rulfo.
Dalam materinya, Pater Felix
Baghi mengtakan bahwa teater dan kota adalah dua dunia.
Dunia teater adalah dunia imaji yang kaya pesan dari banyak unsur, sedangkan
dunia kota merupakan dunia yang kaya pengalaman.
“Dunia
teater adalah dunia performance
tempat orang bermain drama, bermain sandiwara, sedangkan dunia kota adalah
ruang keseharian di mana orang tidak boleh bersandiwara di tengah kehidupan
yang keras,” kata Pater Felix.
Walaupun dua dunia ini berbeda satu
dengan yang lain, lanjutnya,
namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Pater Felix melihat, hubungan
keduanya berangkat dari kisah Dionisius dan Apollo dalam mitologi Yunani.
Dionisius melambangkan simbol kekuatan
insting, ketekadan mental, simbol kemanusiaan yang hidup menurut dorongan
kodrati dan selalu berkata “ya” atas kehidupan, sedangkan Apollo adalah simbol
kekuatan imajinasi yang mencari keseimbangan dengan ukuran yang tepat.
“Dua
hal ini, yaitu keberanian untuk mengatakan 'ya' atas kehidupan dan pencarian
akan keseimbangan, adalah
dua aspek yang esensial. Kehidupan di kota dijalani oleh siapa saja, karena
keberanian untuk berkata “ya” atas kehidupan,” katanya.
Menurutnya, hubungan
teater dan kota adalah yang diimajikan
dan yang nyata, atau antara yang representasi dan yang present, yang
hadir. Teater adalah representasi sesuatu, yaitu suatu dunia yang tampaknya
seperti seolah-olah.
Teater menghadirkan suatu dunia baru, membuat
konfigurasi dunia melalui representasi, suatu dunia yang dibayangi, dunia
imajinasi. Kejenuhan yang diakibatkan oleh ingar-bingar kota atau ketika orang
muak dengan tatanan politik, jenuh dengan cara hidup, jenuh dengan cara
beriman, orang bisa masuk dalam dunia imajinasi, dunia representatif.
Teater sebagai Disiplin
Selanjutnya, Eka Putra Nggalu membahas
teater dan kota dalam konteks praktis. Ia mengurai
bagaimana berdialektika dengan situasi kota dan kenyataan-kenyataan
yang ada di Maumere dalam skala kecil maupun secara nasional. Uraian ini berdasarkan pengalaman konkret yang ia alami bersama
komunitas KAHE.
Eka berusaha menjelaskan bagaimana KAHE
masuk dalam konstelasi hidup dan eksis di Maumere hingga bisa masuk tahun
kelima pada 23 Oktober lalu.
Masuk di tahun ke-5 ini, kata Eka, KAHE memiliki 3 kata
kunci, yakni identifikasi, negosiasi, dan resistensi. Ketiga kata kunci ini
berangkat dari bagaimana setiap orang di KAHE berusaha mengenal diri
masing-masing dalam hubungan dengan KAHE, bernegosiasi dengan semua realitas
yang dialami, serta berasistansi – ada ide-ide atau prinsip-prinsip yang
ditanam sebagai pijakan bersama.
Eka juga berusaha melihat KAHE dari
pandangan Pierre Bourdieu, seorang filsuf Prancis, tentang 3 modal, yakni modal
kultural, modal sosial, dan modal ekonomi. Selanjutnya Eka membahas pengalaman
praktis dalam menyukseskan Festival Maumerelogia, festival yang digagas oleh
Komunitas KAHE.
Menutup materinya, Eka berharap bahwa kelompok-kelompok teater
seperti Aletheia Ledalero, Teater Tanya Ritapiret, dan komunitas KAHE dapat memperlakukan teater
sebagai disiplin.
“Teater mesti disikapi sebagai disiplin, sebagai ilmu,
sebagai pengetahuan. Estetika harus berkembang; bentuk, isi harus berkembang,”
harapnya.
Seni Bebas Nilai
Dalam sesi tanya jawab, Frater
Riki Mantero mengemukakan bahwa
seni teater terancam karena masyarakat kota dan masyarakat desa terjerumus ke dalam kemajuan
digitalisasi. Frater Riki
meminta tanggapan pemateri terkait
usaha seniman menjaga eksistensi seni teater agar tetap menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat.
Bagi Eka, hal yang sangat
diperlukan menjaga
eksistensi teater adalah memberlakukan teater sebagai
disiplin, sebagai ilmu. Arti teater itu sangat luas. Kesenian tradisional yang
hidup di masyarakat juga merupakan teater.
Karena itu, kesenian tradisional ini bisa diangkat kembali untuk menjaga
eksistensi teater.
Selanjutnya, Frater
Paul Tukan menanyakan
seni sebagai bebas nilai. Pertanyaan
ini berangkat dari momen pementasan dramatic reading oleh kelompok
waria yang yang diinisiasi oleh Komunitas
KAHE beberapa bulan lalu.
Pater Felix menanggapi bahwa setiap ekspresi
seni adalah kebebasan. Meskipun bebas nilai, seni mesti memiliki pesan moral.
Diskusi ini dihadiri oleh
para frater, bruder dan pater Ledalero, Anggota Komunitas KAHE, utusan dari
Teater Tanya Ritapiret, dan partisipan. Kegiatan ini tetap mengikuti protokol
pemerintah.
Selain pertunjukan monolog
dan dramatic
reading, diskusi ini dimeriahkan dengan
lagu-lagu yang dinyanyikan oleh anggota Komunitas KAHE dan anggota Acoustic All
Ledalero.
Penulis: Fr. Yohan Mataubana dan Fr. Risto Jomang
Editor: Fr. Sello Lamatapo
Mantap, ganteng.
BalasHapusSalam!