Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CERMIN : MEDIA INTROSPEKSI DIRI

 

CERMIN : MEDIA INTROSPEKSI DIRI
(Tanggapan Atas Catatan Kritis Pater Ve Nahak Dalam Artikelnya “Melampaui Yang Hitam-Putih Dalam Teater Cermin”)
 
Pendahuluan
Pada hari Jumat, 4 November 2022 kelompok minat teater Aletheia Ledalero menggelar sebuah pementasan teater di lapangan sekolah SMA Katolik Bhaktyarsa Maumere-Flores-NTT. Pementasan ini digelar dalam rangka pesta perak TRUK F (Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Flores). TRUK F sendiri adalah sebuah lembaga yang membantu dan melindungi para korban, khususnya korban perempuan dan anak. Berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Divisi Perempuan TRUK F, antara lain mengadvokasi berbagai kebijakan yang berperspektif gender, melakukan pendidikan publik dan mendampingi perempuan dan anak-anak korban kekerasan mengakses keadilan hukum dan rehabilitasi sosial. Judul yang diusung dalam pementasan teater oleh Aletheia adalah “Cermin”. Cermin di sini, dipahami sebagai media refleksi diri atau media introspeksi diri. Memang cermin adalah benda mati yang dipakai untuk memantulkan kembali bayangan benda yang ada di depannya. Namun sebagai benda mati, cermin juga dapat menjadi media untuk memantulkan keseluruhan diri manusia dan menumbuhkan dorongan dalam diri manusia untuk mengeksplorasi kehidupannya entah yang baik dan yang buruk.
Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas tulisan Pater Ve Nahak yang berjudul “Melampaui Yang Hitam-Putih Dalam Teater Cermin”. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengafirmasi atau meluruskan maksud pementasan Cermin yang mendapat catatan kritis Pater Ve yang nota benenya adalah penonton yang menyaksikan secara langsung saat “Cermin” dipentaskan. Sebuah karya seni seperti teater yang sudah dipentaskan di ruang publik memang sudah menjadi netral. Netral berarti semua orang mempunyai hak untuk memberi komentar atau catatan kritis dari perspektifnya terlepas dari catatan itu sesuai dengan maksud karya seni itu dipentaskan atau tidak. Sejauh sebuah karya itu dibuat oleh manusia maka kritik atau interpretasi atasnya sangatlah perlu agar manusia tidak terjebak dalam absolutisme kebenaran. Oleh karena itu catatan kritis Pater Ve Nahak dalam tulisannya adalah kritik atas pementasan “Cermin” dari sudut pandangnya sebagai penonton.

Tata letak panggung “Cermin”
Keberhasilan sebuah pementasan teater tidak terlepas dari persiapan yang matang. Ada banyak unsur yang harus dipertimbangkan dan mendapat perhatian yang intens dalam pementasan teater. Salah satu unsur yang cukup penting adalah tata letak panggung. Tata letak panggung dalam sebuah pementasan teater turut mendukung serta menggambarkan situasi,  kondisi dan tempat yang sesuai dengan alur cerita pementasan teater tersebut. Di sini, semua elemen penunjang (property dan lighting) harus ditata sedemikian rupa agar bisa memberikan gambaran secara lengkap tentang keseluruhan adegan yang akan dipentaskan. Pementasan Cermin dilakukan di lapangan yang terbuka dengan tata letak panggung yang didesain sedemikian rupa oleh kru panggung agar menciptakan kenyamanan selama pertunjukan sekaligus memungkinkan penonton untuk ambil bagian (menonton) dari posisinya masing-masing. Oleh karena itu, tata letak panggung pementasan Cermin dimulai dari sudut kanan bagian utara lapangan. Kemudian adegan kedua terjadi di depan adegan pertama, lalu menyusul adegan ketiga di samping kanan adegan pertama dan ditutup adegan keempat yang dimulai dari sudut, tepat di depan adegan kedua. Tata letak panggung ini memang tidak dikonsultasi secara publik melainkan atas pertimbangan kru panggung dengan melihat unsur-unsur penting dalam pementasan itu. Meskipun demikian, tata letak panggung turut ambil bagian dalam sumbangsi interpretasi penonton. Apa yang dinilai baik oleh kru panggung tentang tata letak panggung bisa saja dibaca secara lain oleh penonton dari sudut pandangnya. Persis hal inilah yang diangkat oleh Pater Ve dalam tulisannya.
Dalam tulisannya, Pater Ve melihat terjadi pengkotakan dalam panggung yang dibahasakannya sebagai “kiri-jahat vs kanan-baik”. Persis hal inilah yang tidak dipikirkan oleh kru panggung mengenai tata letak yang baik untuk menyalurkan maksudnya sejak penggarapan naskah sampai pada proses latihan. Hal ini menjadi catatan kritis bagi Aletheia kedepannya agar perlu memperhatikan lagi tata letak panggung. Meskipun demikian, tata letak panggung yang dinilai mengkotak-kotakan adegan oleh Pater Ve merupakan keresahan yang belum sempat diterjemahkan oleh para sutradara dalam proses latihan. Memang tidak pernah dibanyangkan oleh para sutradara bahwa tata ruang dalam panggung pentas ternyata dibaca oleh Pater Ve sebagai stigmatisasi antara yang jahat sebelah kiri dan yang baik di kanan. Selama proses latihan tata ruang ini dibuat agar bisa terlihat seimbang dan tidak monoton adegan bermain di sebelah kanan. Namun ini adalah kejelian penonton yang melampaui maksud para sutradara. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa penonton berhak menafsirnya.

Cermin: Media Introspeksi Diri
Fokus yang hendak diusung dalam teater Cermin adalah realitas sosial masyarakat Flores yang sedang terjadi dalam dunia dewasa ini seperti: penjualan manusia (Human Traficking), pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), persoalan dalam Gereja dan persoalan dalam pemerintahan. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam Teater Cermin adalah pembaptisan realitas dalam rupa sebuah karya seni (teater). Adegan yang diangkat itu adalah fakta sosial yang sedang terjadi dan yang sudah terjadi.
Dalam pementasan teater, setiap adegan yang ditampilkan memiliki benang merah atau keterhubungan antara semua adegan yang dilakonkan. Membaca catatan kritis Pater Ve atas pementasan Cermin, penulis melihat ada beberapa adegan yang mungkin saja kurang ditangkap secara baik oleh Pater Ve khususnya adegan di panggung dua dan hubungannya dengan adegan ketiga di panggung satu. Lelaki mabuk di panggung satu memainkan peran ganda: sebagai pelaku KDRT tetapi juga sebagai korban perselingkuhan. Kalimat yang dia ucapkan sebelum melakukan KDRT (“aku yang mandul, tetapi bisa berbuah juga”) merupakan bentuk kekecewaan terhadap istrinya yang hamil dengan orang lain. Adegan ini mendapat jawabannya di panggung dua yang diperjelas ketika kegiatan ibadat serentak berhenti karena seorang wanita hamil jatuh pingsan. Kemudian adegan menampilkan sosok pastor yang mengangkat perempuan hamil itu dan membiarkannya tidur di pangkuan sang pastor. Jawaban menjadi terang bahwa yang menghamili perempuan itu adalah sang pastor. Kemudian jawaban diperjelas lagi ketika Polisi masuk dan menangkap pastor atas tuduhan pelecehan.
Dalam tulisannya juga, Pater Ve mempersoalkan peran polisi yang sering dianggap jahat karena dituding ikut bermain dalam persoalan yang sudah di angkat di atas. Mungkin karena hal ini, pater Ve melihat polisi dalam teater Cermin sebagai tokoh antagonis atau yang jahat. Lagi-lagi di sini, Pater Ve mengabaikan bahwa pada adegan di panggung dua, polisi digambarkan sebagai pihak yang benar, yang menjalankan tugasnya dengan baik yakni menangkap pastor yang bermasalah. Jadi, sebenarnya ada beberapa tokoh dalam teater Cermin yang memainkan peran ganda, protagonis dan antagonis.
Mengutip pater Ve Nahak “teater sebagai sebuah karya seni kiranya tidak mudah terjebak untuk membaca realitas seperti papan catur belaka. Tugas seni bukan sekedar untuk menampilkan realitas atau membuat mimesis atau realitas tetapi lebih dari pada itu untuk membongkar segala kedok yang ada di balik realitas dengan sedapat-dapatnya menciptakan dinamika internal pada pihak penonton”. Secara garis besar, Cermin dipentaskan untuk mengangkat persoalan yang dihadapi TRUK F saat ini. Setiap adegan yang ditampilkan menggambarkan keseluruhan realitas yang sudah diketahui secara publik atau yang belum diketahui karena sengaja disembunyikan. Seluruh adegan yang ditampilkan adalah persoalan, tanpa terkecuali. Persoalan ini ditampilkan untuk memberi kesadaran kepada semua orang terkhususnya para penonton yang hadir pada malam itu untuk melihat realitas itu lalu kemudian merefleksikan diri atas setiap persoalan yang diangkat. Itulah mengapa teater ini diberi judul cermin. Cermin menjadi media untuk berbenah diri. Cermin yang dipentaskan bukan mau menggurui para penonton ataupun memberi reaksi atas realitas sekaligus serangan atas pihak luar sehingga para penonton hanya mengamini setiap lakon. Sekali lagi, “Cermin” hanyalah media introspeksi diri yang diangkat dari mimpi-mimpi para korban yang ditangani oleh TRUK F agar membawa perubahan dalam diri semua orang yang menyaksikan Cermin.

Penutup
Sebagai sebuah karya seni, pementasan cermin tidak habis seusai pertunjukan. Cermin yang dipentaskan memang perlu dievaluasi lagi. Banyak kritik yang diberikan atas pementasan Cermin hendaknya menjadi pelajaran berharga untuk pementasan yang akan datang. Terlepas dari pada itu, kritik yang diberikan oleh Pater Ve Nahak menjadi bahan refleksi menarik bagi Aletheia agar lebih matang lagi dalam mempersiapkan segala sesuatu sebelum pementasan. Terkait menciptakan dilema dalam teater, penulis melihat bahwa Cermin cukup berhasil menciptakan dilema. Hal ini tampak dalam adegan kedua di mana polisi menangkap pastor atas tuduhan pelecehan. Kasus penangkapan sang pastor ini menjadi ‘auto kritik’ yang dalam realitas terdapat kasus-kasus demikian yang dilakukan oleh kaum biarawan seperti yang digetolkan oleh Felix Nesi dalam tulisan-tulisannya. Bukankah ini adalah dilema? 


Penulis: Ertus Pangu (Mahasiswa IFTK Ledalero Program Studi Filsafat Semester 5)

Posting Komentar untuk "CERMIN : MEDIA INTROSPEKSI DIRI"