Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ORANG-ORANG OETIMU DAN WACANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

 Maria Noviyanti Meti 

Mahasiswa Semester VII STFK Ledalero


Abstraksi 

Artikel ini fokus mengkaji novel Orang-orang Oetimu dan korelasinya dengan wacana kekerasan terhadap perempuan. Novel Orang-orang Oetimu dijadikan sebagai panduan untuk melihat sejauh mana ekses negatif yang timbul dari tradisi, agama dan budaya patriarki terhadap keberadaan dan peran perempuan. Felix Nesi menjadikan novel Orang-orang Oetimu sebagai bahan ucap untuk mengajukan kritik atas realitas kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, artikel ini akan berorientasi pada tiga bagian penting, yakni novel Orang-Orang Oetimu dan kekerasan terhadap perempuan. Pada bagian pertama, penulis coba melihat nilai-nilai substansial dan kerangka yang membangun keutuhan novel. Sedangkan, bagian kedua akan membahas kompleksitas kekerasan yang dialami perempuan. Kedua bagian tersebut kemudian disatukan dalam analisis tentang kekerasan terhadap perempuan dari perspektif novel Orang-orang Oetimu. Sebagai akhir, artikel akan ditutup dengan kesimpulan yang merangkum keseluruhan pembahasan pada tiga bagian sebelumnya. 

I. PENDAHULUAN 

1.1 Latar Belakang 

Kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena yang seringkali dijumpai dalam keseharian hidup masyarakat. Perkembangan rasio dan wawasan intelektual manusia modern tampaknya belum mampu menjadi ukuran sejauh mana seorang individu dinyatakan beradab. Pada umumnya, tindak kekerasan terhadap perempuan lahir karena dorongan alamiah untuk menguasai. Frederich Niezsche dalam karya fenomenalnya Zarathustra membenarkan bahwa dorongan primitif yang muncul mendominasi diri manusia adalah hasrat akan kuasa dan dan ketakutan.[1] Kekerasan yang dialami oleh perempuan bertolak dari asumsi bahwa perempuan selalu menduduki posisi kedua setelah laki-laki, baik dalam ruang publik maupun ruang privat. Keterlibatan dalam ruang publik lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Sementara itu, akses untuk perempuan cenderung dibatasi. Di lain pihak, dalam ruang privat, posisi perempuan direduksi kedudukan dan peranannya hanya pada urusan seputar dapur, sumur dan kasur. Privatisasi status perempuan berdampak besar pada perannya dalam kehidupan bersama. Adami Chazawi menyebutkan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan pada umumnya disebabkan oleh paham dunia yang masih didominasi oleh laki-laki.[2] Konstruksi sosial masyarakat tentang sosok perempuan sebagai pribadi yang lemah dengan sendirinya lebih menempatkan laki-laki sebagai pribadi yang dominan. Lebih jauh, pembuktian biologis terkait struktur fisik antara lelaki dan perempuan tampaknya mendukung dominasi kedudukan dan peran laki-laki sebagai pribadi yang kuat dan “pereduksian” status perempuan sebagai individu yang lemah. Secara biologis, misalnya lelaki memiliki otot yang lebih kuat dari pada perempuan. Dalam kajian psikolinguistik, otak laki-laki dan perempuan juga tersusun dari struktur yang berbeda sehingga memiliki pola pikir, logika analisis dan persepsi yang berbeda pula. Laki-laki selalu mengandalkan pertimbangan rasional dibanding perempuan yang lebih menonjolkan aspek emosional. Pertimbangan-pertimbangan yang demikian tampaknya mengafirmasi kedudukan dan superioritas lelaki dibanding perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan yang kompleks. Kompleksitas kekerasan terhadap perempuan dapat diidentifikasi dari bentuk, tempat kejadian, jenis dan pelakunya. Dari bentuknya, kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan fisik, non fisik (verbal) dan kekerasan seksual. Sementara itu, menurut tempat kejadiannya, kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di dalam kehidupan berumah tangga dan di tempat umum (public space). Dari jenisnya, kekerasan terhadap perempuan dapat berupa tindak pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan atau kombinasi dari ketiganya. Terakhir, dari pelakunya, kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan dekat atau orang asing. Dalam beberapa kasus, model kekerasan terhadap perempuan diawali oleh sistem pembedaan seksual dalam kehidupan sosial masyarakat. Meminjam pendapat Julia Suryakusuma, maraknya tindakan kekerasan terhadap perempuan berawal dari sistem nilai diskriminasi seksual.[3]

Kekerasan terhadap perempuan de facto terjadi karena persepsi yang keliru tentang status sosial perempuan. Perempuan menjadi pihak yang sering dinomorduakan dalam kehidupan masyarakat. Perempuan selalu dijadikan sebagai objek atau instrumen bagi mereka yang memiliki otoritas tinggi dalam negara maupun agama. Dalam tatanan hidup bernegara, dominasi peran kaum pria dapat dilihat dari sejumlah jabatan pemerintahan. Sementara itu, dalam kehidupan beragama- misalnya dalam agama Katolik, sistem hirarki adalah bukti paling konkret yang menggambarkan dominasi kaum pria dibanding perempuan. Akses yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan menjadi fenomena yang telah berlangsung sejak zaman dahulu. Hal ini tidak paralel dengan maksud yang tertera dalam hukum, undang-undang dan ajaran iman yang menuntut keadilan.

Berhadapan dengan sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, sejumlah usaha pencegahan telah dilakukan. Dalam konteks negara Indonesia, model pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan mendapat perhatian serius dari pemerintah dalam sejumlah peraturan hukum untuk melindungi korban dan mencegah terjadinya kekerasan. Lahirnya Undang-undang No. 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan adalah bukti nyata usaha pemerintah untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dari pihak Gereja Katolik, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang sangat bertolak belakang dengan inti iman akan Kristus, yakni cinta, keadilan, perdamaian dan solidaritas satu dengan yang lain. Pemahaman-pemahaman tersebut terbentuk melalui beberapa sumber, khususnya Kitab Suci dan Tradisi (termasuk ajaran, teologi, penghayatan iman, dsb).[4] Moralitas Kristen sejak semula menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Sebab, perempuan sebagaimana laki-laki adalah sosok yang harus dihargai karena eksistensinya sebagai ciptaan Allah. Selain pemerintah dan Gereja, kekerasan terhadap perempuan juga mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satu pihak yang ikut menyuarakan penolakan kekerasan terhadap perempuan adalah kelompok sastrawan. Peran serta sastrawan dalam memerangi tindak kekerasan terhadap perempuan kerap dilakukan secara “tidak langsung” dengan menulis sebuah sajak kecil, cerita pendek dan novel. Sastra dijadikan sebagai media untuk mengekspresikan emosi dan menyuarakan pendapat terhadap suatu persoalan. Kritik yang disampaikan oleh seorang sastrawan kerap dibungkus dalam balutan metafor yang hidup dan menghentak emosi pembaca. Pembaca boleh merasa lucu ketika berhadapan dengan suatu karya sastra yang terkesan humoris, tetapi bagi sastrawan, pembaca tersebut sesungguhnya sedang menertawakan dirinya sendiri. Kepandaian seorang sastrawan dalam mengolah suatu peristiwa menjadikan karyanya bernilai lebih di mata pembaca. Pada titik ini, tampak jelas bahwa sebuah karya sastra tidak berdiri secara independen sebagai hasil imajinasi pengarang. Seorang sastrawan membutuhkan locus tertentu sebagai sarana menimbah inspirasi dalam menulis. Locus tersebut bertolak dari pengalaman hidupnya dalam masyarakat. Artinya, antara masyarakat dan sastra terbuka kemungkinan mengenai hubungan yang dialektik atau timbal-balik.[5] Masyarakat adalah medan magnetik yang dapat memantik terbentuknya sebuah karya sastra. Sehubungan dengan hal ini, fenomena kekerasan terhadap perempuan dapat menjadi locus bagi pengarang untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Pengarang merefleksikan fenomena kekerasan terhadap perempuan dalam imajinasi historis guna menulis sebuah karya.

Felix Kandidus Nesi atau akrab disapa Felix Nesi adalah satu dari sekian banyak sastrawan Indonesia yang menulis tentang kekerasan terhadap perempuan. Dalam novel Orang-orang Oetimu, Felix dengan berani mengeksplorasi bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam sejumlah isu terkait peran negara dan gereja. Felix tampak yakin bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bagian integral dari disfungsi sistem dalam hidup masyarakat. Negara dan gereja yang seharusnya berperan menegakkan hukum dan moralitas justru menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Ironi kekerasan terhadap perempuan masih harus dijelaskan sebagai sebuah dinamika yang berlangsung secara sporadis dan sistematik. Dalam novel Orang-orang Oetimu, Felix akan mengajak pembaca untuk melihat selubung kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan masyarakat. Dinamika tersebut berlangsung secara terselubung sehingga sulit dibongkar. Akibatnya, masyarakat selalu hidup dalam suatu pola pikir yang salah terkait kedudukan perempuan. Masyarakat terbiasa menjadikan perempuan sebagai akibat dari timbulnya suatu persoalan.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merasa terdorong untuk mengkaji lebih jauh fenomena kekerasan terhadap perempuan dari perspektif novel Orang-orang Oetimu karya Felix Nesi. Penulis melihat bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan yang diangkat oleh Felix Nesi memiliki konkruensi dengan wacana kekerasan terhadap perempuan pada zaman sekarang. Di bawah judul “Orang-orang Oetimu dan Wacana Kekerasan terhadap Perempuan”, artikel ini dihadirkan ke hadapan publik pembaca.

1.2 Metodologi dan Batasan Studi

Dalam proses pengerjaan artikel ini, penulis menggunakan pendekatan deskripsi kualitatif. Secara harafiah, pendekatan deksripsi kualitatif adalah model penelitian yang bersifat naturalistik yang menggunakan metode interpretasi konstruktif dengan menyelidiki suatu persoalan secara mendalam.[6] Penulis mengumpulkan, membaca dan membuat analisis deskriptif tentang novel Orang-orang Oetimu dan kajian seputar kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, penulis menemupuh langkah penjajakan ke perpustakaan agar memperoleh semakin banyak informasi tentang kajian dalam artikel. Penulis berkenalan langsung dengan karya-karya asli Felix Nesi dan sejumlah buku dan artikel yang menulis tentangnya.

Mengingat luasnya tema yang dibahas Felix K. Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu, maka sejak dini penulis perlu membuat batasan studi yang jelas. Tujuannya agar tema yang diangkat dalam artikel tidak membias dan mengulang sejumlah kajian terdahulu. Ada setidaknya dua panduan yang menjadi batasan dalam studi tentang novel Orang-orang Oetimu dan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, artikel ini hanya fokus mengkaji tentang novel Orang-orang Oetimu dan hubungannya dengan wacana kekerasan terhadap perempuan. Penulis akan menganalisis isi percakapan dan struktur teks yang memuat kekerasan terhadap perempuan. Dengan maksud tersebut, maka batasan studi yang kedua menegaskan bahwa tema-tema seperti etnografi, kesusastraan kontemporer, sistem demokrasi deliberatif dan agama tradisional yang juga termuat dalam novel, dengan sendirinya luput dari pembahasan penulis. Meskupun demikian, penulis tetap berkenalan dengan tema-tema tersebut agar diperoleh suatu kajian yang komprehen terkait novel Orang-orang Oetimu.

II FELIX K. NESI DAN ORANG-ORANG OETIMU

2.1 Biografi Felix K. Nesi

Felix K. Nesi lahir di Nesam, Timur Tengah Utara (TTU) pada 30 Agustus 1988.[7] Masa kecilnya dihabiskan di kampung bersama orang tua dan keluarga. Dari pengakuan Felix, sejak kecil, ia sudah menaruh minat yang besar pada dunia tulis menulis. Situasi kampung dengan tradisi dan warisan budaya yang kuat turut mempengaruhi cakrawala pemikiran dan afeksi seni. Felix kecil “mendiseminasi” setiap tuturan adat, pantun dan simbol-simbol budaya untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah karya tulis. Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kampungnya, Felix melanjutkan pendidikan ke SMA Seminari Menengah St. Maria Imaculata, Lalian, Atambua. Di Seminari Lalian, minat dan kecintaan Felix pada dunia tulis-menulis semakin diperkuat. Seminari menjadi rumah yang nyaman bagi Felix untuk menimbah inspirasi dalam menulis.

Setelah tamat dari Seminari Lalian, Felix melanjutkan pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang. Saat ini Felix telah kembali ke kampung halamannya dan mengolah sebuah produk minuman lokal yang diberi nama Tua Kolo. Di tengah kesibukannya, Felix selalu menyempatkan diri untuk membaca dan menulis. Ia juga diundang ke sejumlah diskusi dan seminar untuk membawahkan materi tentang kesusastraan.

2.2 Karya dan Penghargaan

Felix Nesi adalah penulis dengan segudang prestasi. Pada tahun 2015, ia terpilih sebagai Emerging Writers di Makasar International Writers Festival (MIWF). Dari jemari tangannya yang lincah telah terbit sejumlah buku, antara lain Kematian Penyair Toni (Kumpulan Puisi, swa-terbit) Usaha Membunuh Sepi (2016), Orang-orang Oetimu (2018) dan Kita Pernah Saling Mencinta (2021). Selain produktif menulis buku, Felix juga aktif menulis di surat kabar seperti Harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, juga beberapa media dalam jaringan.[8] Pada tahun 2017, Felix bersama beberapa rekannya di Kupang mendirikan Komunitas Leko. Beberapa kali ia terpilih mengikuti program kepenulisan seperti Seniman Peserta Literature and Ideas Festival (Lifes) Salihara (2019), peserta Residensi Penulis Indonesia di Amsterdam (2019), dan peserta Residensi Program Kepenulisan Universitas Iowa-US (2021).

2.3 Novel Orang-Orang Oetimu

2.3.1 Sinopsis

Novel Orang-orang Oetimu berkisah tentang kehidupan masyarakat Oetimu pada tahun 1990-an. Oetimu merupakan sebuah wilayah yang terletak di pelosok pulau Timor. Saat itu, kejadian-kejadian di negara Indonesia selebihnya mau tak mau berdampak kepada kehidupan sosial masyarakat Oetimu. Hubungan sosial-politis yang dijalin kolonial bersama pemerintah memicu lahirnya kekerasan terhadap masyarakat. Di samping itu, pertempuran dan peperangan terjadi hampir di seluruh pelosok negara. Martin Kabiti menjadi salah satu tokoh yang berperang untuk orang[1]orang Indonesia. Akibatnya, ia dibenci oleh Atino dan kelompok milisi pro kemerdekaan Timor-timor. Kebencian mereka terbalas lunas ketika berhasil membunuh istri dan anak-anak Martin Kabiti. Peristiwa naas itu terjadi pada malam final piala dunia antara Brazil dan Prancis.

Di samping sengkarut persoalan antara Martin Kabiti dan kelompok Atino, muncul pula cerita tentang Sersan Ipi, seorang anggota militer di Oetimu. Sersan Ipi adalah anak dari Laura. Ibunya diperkosa oleh tentara militer Indonesia dan dibuang ke hutan belantara. Laura ditemukan oleh Am Siki, seorang pria yang terkenal karena keberhasilannya membunuh sepuluh tentara Jepang dan menghanguskan kamp konsentrasi. Am Siki berhati mulia. Ia memelihara Laura hingga melahirkan seorang anak bernama Siprianus. Kelak, Siprianus menjadi seorang Sersan dan disapa dengan nama Sersan Ipi.

Keseluruhan penggambaran dalam novel Orang-orang Oetimu bergerak dari kisah kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami Silvy bersama teman-teman perempuannya. Silvy diperkosa oleh Linus, guru di SMA St. Helena. Pada babak lain, Felix juga mengisahkan momen di mana Elisabeth diperkosa oleh seorang pastor pembimbing kelompok Orang Muda Katolik (OMK). Nama perempuan lain yang ditampilkan Felix adalah Maria. Ia adalah seorang aktivis yang getol menyuarakan keadilan. Namun, usaha Maria selalu mendapat kecaman dari aparat keamanan. Mereka bahkan membunuh suami dan anaknya. Peristiwa itu membuat Maria geram. Ia mengutuki perilaku sewenang-wenang aparat keamanan.

Novel Orang-orang Oetimu ditutup dengan menghadirkan kembali tokoh Sersan Ipi. Ia berhasil merebut cinta Silvy dan berniat menikahinya. Namun, sebelum rencana pernikahan itu terlaksana, Sersan Ipi dibunuh oleh kelompok Atino. Peristiwa itu terjadi ketika Sersan Ipi hendak menolong istri bersama anak-anak Martin Kabiti yang disekap kelompok Atino. Oleh masyarakat Oetimu, Sersan Ipi kemudian dijuluki sebagai pahlawan.

2.3.2 Analisis Unsur Intrinsik

Dalam sebuah kajian sastra, unsur-unsur intrinsik meliputi tema, alur (plot), latar, tokoh (penokohan), sudut pandang, gaya bahasa dan amanat.[9] Unsur-unsur tersebut saling berkelindan dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Hal itu berarti keberadaan salah satu unsur memiliki fungsi penting untuk menunjang keutuhan narasi sebuah karya sastra. Jika satu unsur tidak ditampilkan, maka karya sastra tersebut bukan merupakan sebuah karya yang utuh.

Berkaitan dengan usaha penulis untuk membangun korelasi antara isi cerita dalam novel Orang-orang Oetimu dan wacana kekerasan terhadap perempuan, maka terdapat setidaknya tiga unsur intrinsik yang dipakai sebagai bahan analisis, antara lain tema, tokoh (penokohan) dan amanat. Pertama, tema yaitu adalah gagasan utama yang melandasi bangunan sebuah cerita. Menurut Gorys Keraf, tema adalah amanat utama yang disampaikan melalui karangan.[10] Umumnya, tema berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial, politik, budaya, religi, percintaan, maut, dan kematian. Poinnya bahwa tema sebuah cerita merupakan hal pokok yang diangkat penulis melalui cerita. Tema yang diangkat dalam sebuah cerita biasanya terkait dengan latar belakang hidup, ideologi, wawasan dan pandangan pengarang terhadap dunia sekitar. Namun demikian, tema cerita lazimnya bersifat universal karena menyangkut kehidupan banyak orang. Gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya tidak melulu subyektif, tetapi menyentuh obyektifitas kehidupan masyarakat umum.

Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu mengangkat sejumlah tema, seperti kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, penyalagunaan kekuasaan, seksualitas dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Felix Nesi memotret latar belakang historis masyarakat Timor yang didominasi oleh kekuasaan kolonial dan kecenderungan negatif kaum klerus dalam Gereja. Penindasan, segregasi dan tindak kekerasan yang terjadi dilihat oleh Felix sebagai gambaran ironis kehidupan masyarakat. Hal itu kemudian dijadikan sebagai bahan cerita dalam menulis Orang-orang Oetimu. Secara lebih spesifik, Felix dalam Orang-orang Oetimu sesungguhnya hendak mengangkat tema tentang kekerasan terhadap perempuan. Model kekerasan tersebut digambarkan oleh Felix secara lugas dan jujur. Felix melihat bahwa hegemoni kekuasaan pemerintah dan sistem hirarki dalam Gereja turut berperan menciptakan kekerasan terhadap perempuan. Dalam analisis filsafat Foucault, tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari proses pendisiplinan tubuh.[11] Hegemoni kekuasaan, dengan demikian memproduksi tindak kekerasan terhadap perempuan. Dengan mengangkat tema tentang kekerasan terhadap perempuan, Felix juga memproposalkan pentingnya keterbukaan sikap dan kemampuan untuk menerima serta menghargai posisi perempuan dalam masyarakat.

Kedua, tokoh dan penokohan. Dalam sebuah karya sastra, istilah tokoh merujuk pada sosok orang, individu atau komunitas tertentu yang membangun keutuhan teks. Kehadiran tokoh menempati posisi strategis sebagai pembawah dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.[12] Dalam novel Orang-Orang Oetimu, Felix Nesi menghadirkan begitu banyak tokoh. Ada tokoh-tokoh utama yang berperan dalam mengangkat makna tekstual dan ada juga tokoh sampingan yang mendukung pembentukan makna tersebut. Di atas semuanya, keberadaan setiap tokoh dalam novel Orang-orang Oetimu memberi nuansa tersendiri bagi pembentukan wacana kekerasan terhadap perempuan.

Ketiga, amanat. Amanat adalah pesan moral atau ujaran yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.[13] Dalam novel Orang-orang Oetimu terdapat beberapa pesan moral yang disampaikan Felix Nesi. Pesan itu disampiakan secara eksplisit melalui percakapan dan gesture yang ditampilkan oleh setiap tokoh. Di samping itu, strategi penyampain pesan dibuat Felix Nesi dengan menghadirkan sejumlah gambaran ironis tentang penyimpangan sistem kepemerintahan dan keagamaan. Tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dan pelecehan seksual dalam Gereja adalah gambaran ironis yang disajikan dalam novel Orang-orang Oetimu. Di balik penggambaran yang buram terhadap sistem kepemerintahan dan keagamaan, Felix Nesi hendak mengangkat satu nilai utama, yakni penghargaan terhadap keberadaan dan peran kaum perempuan. Novel Orang-orang Oetimu merupakan usaha Felix Nesi untuk mengangkat posisi kaum perempuan dalam masyarakat. Felix Nesi menghendaki agar negara dan Gereja dapat membuka ruang bagi ekspresi kebebasan kaum perempuan. Keberadaan dan peran mereka harus diterima oleh komunitas masyarakat di mana mereka berada. Hanya dengan cara demikian, keberadaan perempuan dimungkinkan survivalitas dan progresifitasnya.

2.3.3 Analisis Unsur Ekstrinsik

Kedudukan pengarang cerita sudah selalu merepresentasikan sejarah hidup dan konteks tempat di mana ia berada. Teks cerita yang dihasilkan merupakan reproduksi konseptual atas keberadaan pengarang dalam ruang dan waktu tertentu. Keterikatan pengarang dengan konteks hidup memberi pengaruh terhadap reproduksi teks yang dihasilkan. Singkatnya, unsur-unsur ekstrinsik menggarisbawahi latar belakang kehidupan pengarang, situasi, kondisi, dan masa yang berkembang saat sebuah karya diciptakan.[14] Unsur ekstrinsik berupa faktor-faktor di luar teks yang turut memberi pengaruh terhadap pembentukan makna cerita.

Kehidupan masa kecil yang keras, budaya patriarki yang mengikat, perjumpaan dengan tentara yang bebal, skandal seksualitas dalam Gereja, pendidikan yang timpang dan realitas buram kehidupan masyarakat telah membangkitkan sebuah refleksi di dalam diri Felix Nesi tentang bagaimana usaha “memperlakukan kehidupan”.[15] Felix Nesi sadar- demikian setidaknya yang tertulis di dalam novel Orang-orang Oetimu- lingkungan hidup di mana ia bertumbuh adalah sebuah ruang ekspresi kebebasan bagi laki-laki semata. Kekuasaan dalam masyarakat adalah model kekuasaan yang menindas kaum perempuan. Legitimasi kekuasaan dan pembentukan wacana yang membuka ruang bagi laki-laki serempak pula menunjuk pada pembiaran terhadap nasib hidup kaum perempuan. Potret kekerasan terhadap perempuan menjadi fakta yang tidak terelakan. Bertolak dari kenyataan ini, Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu sesungguhnya sedang menyajikan sebuah balada kehidupan kaum perempuan di Timor. Ia meratapi balada itu sekaligus mengutuk dan menghendaki agar sistem hidup masyarakat semakin terbuka terhadap kedudukan kaum perempuan.

III KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

3.1 Definisi Kekerasan terhadap Perempuan

Secara etimologis, kekerasan berasal dari bahasa Latin yaitu violentia. Orang Inggris memplesetkan kata violentia menjadi violence yang berarti kekerasan (force). Kekerasan didefinisikan sebagai perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konflik untuk memenangkan konflik. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kekerasan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras; perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; kekerasan juga berarti paksaan”.[16] Definisi ini menekankan bahwa kekerasan terjadi karena dua unsur pokok, yakni perbuatan merusak seseorang atau sekelompok dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.

Mengacu pada definisi tersebut di atas, maka kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami sebagai tindakan yang mengganggu, mengancam dan menyebabkan rasa sakit pada diri perempuan. Kekerasan terhadap perempuan bermula dari konstruksi sosial dan kultural tentang pembedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Perempuan diidentikan sebagai sosok yang lembut, lemah dan lebih emosional. Sedangkan laki-laki diidentikan sebagai sosok yang kasar, kuat, perkasa dan rasional.[17] Konsep seperti itu berlangsung secara turun-temurun dan menjadi sebuah kewajaran. Akibatnya, muncullah sistem kekuasaan yang sepihak berupa budaya patriaki. Dalam partiarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dan bahwa perempuan harus dikontrol sebab mereka adalah milik laki-laki.

3.2 Realitas Kekerasan Terhadap Perempuan

Sebagaimana disebut sebelumnya, tindak kekerasan terhadap perempuan lahir karena dorongan alamiah untuk menguasai. Melansir data dari National Commission on Violence Against Woman, jumlah kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang pesat selama dua belas tahun terakhir.[18] Catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sepanjang tahun 2018 melaporkan terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini terdiri dari 13.568 kasus yang ditangani oleh 209 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 34 Provinsi, serta sebanyak 392.610 kasus bersumber pada data kasus (perkara) yang ditangani oleh Pengadilan Agama. Sementara itu, pada tahun 2019, Komnas Perempuan kembali mencatat kekerasan terhadap perempuan terjadi sebanyak 431.471 kasus yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama; 14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia; dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.[19] Pada tahun 2020, angka kekerasan terhadap perempuan sedikit menurun, yakni sebesar 299.911 kasus. Naik turun jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan adalah sinyalemen darurat posisi perempuan dalam masyarakat.

Kekerasan yang dialami perempuan dapat berupa pemerkosaan, pelecehan, penganiayaan dan lain sebagainya. Tindakan-tindakan tersebut akan berdampak pada beberapa risiko antara lain, pertama kehamilan yang tidak diinginkan. Risiko ini berlanjut pada pembentukan stigma negatif masyarakat atas diri perempuan terkait. Kedua, perempuan yang mengalami stigma dalam masyarakat cepat atau lambat akan menjadi depresi. Mentalitasnya akan terganggu sebab ia selalu merasa diri ditolak oleh lingkungan masyarakat sekitar. Ketiga, luka fisik dan kematian. Kekerasan terhadap perempuan dapat mengakibatkan luka fisik yang sulit disembuhkan. Bahkan bisa membuatnya mengalami cacat permanen.[20]

3.3 Fajar Baru Feminisme

Feminisme merupakan sebuah ideologi dan gerakan yang berusaha mencapai kesetaraan gender dalam ruang lingkup politik, ekonomi dan sosial. Feminisme lahir sebagai kritikan atas superioritas kaum pria dalam lanskap kehidupan bersama. Superioritas kaum pria disinyalir menjadi tanda melemahnya partisipasi kaum perempuan dalam ruang publik. Prasangka gender yang keliru tentang posisi perempuan sebagai kelas dua dalam kehidupan membangkitkan suatu kritik dan perlawanan.[21] Dengan mengajukan kritik atas superioritas kaum pria, feminisme sesungguhnya menyajikan suatu rekonstruksi ideologis yang mengarah pada pembentukan egalitarianisme. Feminisme menghendaki agar masyarakat memiliki pemahaman yang seimbang tentang cara memperlakukan pria dan wanita dalam kehidupan bersama.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka setidaknya ada dua kritik utama yang dilontarkan kaum feminis. Pertama, kaum feminis mengkritik para ahli teori politik arus utama dalam memperhatikan kepentingan kaum wanita.[22] Para ahli teori politik bertendensi melihat kepentingan kaum perempuan hanya sebatas usaha untuk memperoleh pengakuan di ruang publik. Padahal jika dicermati lebih jauh, usaha kaum feminis justru terarah pada harapan untuk menciptakan suatu peradaban dunia yang memposisikan kaum perempuan setara dengan kaum pria. Akomodasi yang seimbang antara kaum pria dan wanita menciptakan keadilan dalam hidup bersama.

Kedua, kaum feminis mengkritik para ahli teori politik yang gagal dalam menangani persoalan gender.[23] Kritikan kedua ini merupakan akibat yang ditimbulkan karena kekeliruan para ahli teori politik dalam memperhatikan kepentingan kaum perempuan. Diskriminasi gender yang berlangsung secara alamiah tersebut menjadi kendala bagi pembentukan sebuah gerakan emansipasi antara kaum pria dan kaum perempuan.

Dengan mengajukkan kritik sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kaum feminis serempak memproposalkan tesis egalitarianisme yang menghendaki penghargaan yang seimbang antara kaum pria dan kaum perempuan. Usaha yang demikian mendapat perhatian serius oleh sejumlah pemikir kontemporer untuk mendesak transformasi ideologis yang bersifat bias kepentingan kaum pria. Dalam perkembangan selanjutnya, feminisme terbagi menjadi beberapa aliran, antara lain feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme sosial, ekofeminisme, feminisme eksistensial, feminisme postmodern dan feminisme multikultural.[24]

IV. WACANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DARI PERSPEKTIF NOVEL ORANG-ORANG OETIMU

4.1 Orang-orang Oetimu: Sebuah Counter Narative

Perkembangan kesusastraan kontemporer menandai suatu arus balik transformasi wacana strukturalisme bahasa. Kesusastraan kontemporer lahir sebagai kritikan atas kecenderungan kesusastraan zaman modern yang kaku dan terlampau teoritis. Dalam kesusastraan kontemporer, bahasa disadarkan kembali akan kualitasnya sebagai senjata pemberi makna. Bahasa harus menjadi sebuah bahan dialektika dengan disiplin ilmu lain. Tujuannya jelas supaya semakin banyak makna yang terungkap di dalam sebuah karya sastra.

Secara struktural, kesusastraan kontemporer menjadi wacana dekonstruksi bahasa. Ia merombak tatanan bahasa yang kaku dan menawarkan semakin banyak narasi kecil yang berpengaruh. Perombakan terhadap sebuah narasi besar (grand narrative) dalam karya sastra selalu berarti usaha untuk menjaga agar sastra tidak jatuh ke dalam klaim sesat kebanaran tunggal.[25] Oleh karena itu, berhadapan dengan naskah-naskah kesusastraan kontemporer, pembaca tak jarang dihadapkan dengan banyak pilihan terkait tema, amanat dan alur cerita. Bahasa membentuk medan magnetik yang memproduksi semakin banyak makna.

Novel Orang-orang Oetimu adalah salah satu bentuk karya sastra kontemporer. Sebagai sebuah bentuk kesusastraan kontemporer, novel Orang-orang Oetimu memiliki unsur dekonstruktif yang dapat dianalisis melalui struktur teks dan penggunaan bahasa. Dalam struktur teks, novel Orang-orang Oetimu tidak disusun dalam format yang padu. Felix Nesi cenderung membangun teks dengan memisahkan satu bagian dengan bagian lain. Penyajian teks pun mengikuti alur campuran di mana setiap bagian seolah-olah berdiri sendiri. Namun demikian, ciri fragmentaris dalam setiap babak cerita kembali memperoleh muara yang jelas ketika Felix Nesi menonjolkan maksud utama yang melandasi bangunan tekstual dari keseluruhan cerita.

Di samping strukturisasi teks yang rumpang, Felix Nesi juga cenderung memperlakukan bahasa secara longgar. Bahasa digunakan secara bebas selain untuk menghindari kesan formal, tetapi lebih dalam hendak mengafirmasi esensi sastra sebagai sebuah karya seni yang bersifat fluktuatif. Sastra menciptakan banyak interpretasi. Atas alasan yang demikian, maka sastra menolak satu panduan formal terkait usaha pribadi untuk memaknai suatu karya. Kebebasan berbahasa dalam novel Orang-orang Oetimu, meminjam istilah filsafat Wittgenstenian sekaligus merupakan suatu permaian bahasa (language game). Bahasa menjadi milik subyek yang bebas dari intervensi pihak lain. Model penggunaan bahasa dalam novel Orang-orang Oetimu dapat dilihat dari kepandaian Felix Nesi dalam memperlakukan bahasa sebagai sungguh milik pribadi. Subyektivitas berbahasa, pada pihak lain juga menyentuh universal pembaca. Sebagai misal, Felix Nesi menulis:

“We tolo! Kalau sonde ada uang, jalan kaki saja, uti! Lu pikir ini lu pu nene pu oto ko? Lu pikir beta beli bensin pakai daun ko? Mai pu puki ni!”

Apakah ini sebuah kekerasan verbal? Mengapa Felix Nesi menggunakan makian dalam beberapa bagian novelnya? Bukankah Felix Nesi terjebak dalam kekeliruan dalam menggunakan bahasa yang etis? Jika pembaca menggunakan paradigma etika dalam mengkaji novel Orang-orang Oetimu, maka yang terjadi adalah penuduhan terhadap Felix Nesi sebagai sosok yang tidak bertindak etis. Felix Nesi adalah sosok pribadi yang kasar dan tidak beradab. Namun, jika pembaca fokus mengkaji naskah Orang-orang Oetimu dalam kerangka bahasa, maka pembaca akan melihat adanya model permainan bahasa yang bebas. Felix Nesi “melepaskan sejenak” panduan berbahasa secara formal untuk kemudian menyajikan model berbahasa yang kontekstual dengan lingkungan di mana ia hidup.

Aspek dekonstruktif sebagaimana dijelaskan sebelumnya menghantar pembaca untuk melihat adanya sebuah counter narative dalam novel Orang-orang Oetimu. Felix Nesi menawarkan sebuah narasi perlawanan terhadap bentuk kesusastraan modern yang cenderung bersifat linear dan searah. Cara membahasakan realitas dan persoalan dibuatnya dengan menyajikan bahasa secara lebih lentur dan segar. Dengan cara itu, maka tema tentang kekerasan terhadap perempuan terlihat baru dan menjadi lebih kuat dalam penyajian. Pembaca kelak sampai pada sebuah tesis bahwa kekerasan terhadap perempuan menjadi diskursus yang kompleks dan membutuhkan solusi alternatif yang tegas.

4.1 Sumber Kekerasan terhadap Perempuan dalam Novel Orang-orang Oetimu

Sebagai langkah mendalami kekerasan terhadap perempuan dalam novel Orang-orang Oetimu, maka baiklah jika pada bagian berikut disajikan beberapa pokok bahasan tentang sumber kekerasan terhadap perempuan. Rujukan yang dipakai untuk menggali sumber kekerasan terhadap perempuan diambil dari pernyataan[1]pernyataan Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu. Sumber-sumber kekerasan terhadap perempuan tersebut antara lain berasal dari tradisi dan agama, budaya patriarki, pemisahan domain publik dan privat dan obyektivikasi tubuh perempuan.

4.1.1 Tradisi dan Agama

Dalam kehidupan masyarakat, kedudukan tradisi dan agama masih memiliki peranan penting terhadap keberlangsungan hidup individu. Kemajuan dunia modern sekalipun disinyalir belum mampu meretas pengaruh tradisi dan agama. Sebaliknya, mobilitas peran tradisi dan agama masih memiliki tempat khusus yang melekat dalam diri individu. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat modern masih membutuhkan tradisi dan agama sebagai panduan untuk menciptakan pola hidup yang baik. Sebab, dunia modern beserta segenap tawarannya dinilai tidak mampu memberi suatu panduan normatif tentang bagaimana menciptakan moralitas hidup yang baik. Proyek dunia modern justru dinilai gagal menciptakan cita rasa kemanusiaan dalam diri individu. Konsekuensinya, segala bentuk produksi tradisi dan agama dijadikan sebagai satu-satunya panduan bagai pembentukkan moralitas.

Keterpakuan pada tradisi dan agama sebagai sumber moralitas sesungguhnya perlu dilihat lebih jauh. Bagaimanapun juga, produksi nilai-nilai tradisi dan agama masih menyimpan sejumlah persoalan tentang legalitas status yang membenarkan pelaksanaanya. Sebagai contoh, tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan bagaian dari konstruksi tradisi dan agama yng keliru. Dalam tradisi Gereja Katolik misalnya, sistem hirarki merupakan bagian dari produksi agama yang bias gender. Sistem hirarki menghendaki agar kaum pria menjadi pemimpin utama dari keseluruhan struktur gereja. Dengan model pemahaman yang demikian, maka bukan tidak mungkin kekerasan terhadap perempuan terjadi.[26] Gereja sepertinya melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dengan basis argumentasi pada sistem hirarki yang berlaku. Gereja pada bagian berikut cenderung menjadikan sistem hirarki sebagai pelindung bagi kekerasan terhadap perempuan.

Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu memotret gambaran buram pengaruh tradisi dan agama terhadap perempuan melalui terbentuknya sejumlah tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam salah satu bagain novel, Felix Nesi pernah menulis tentang seorang pastor yang menghamili salah satu anggota Orang Muda Katolik (OMK). Namun demikian pastor itu melarang agar ia menceritakan kehamilannya kepada orang lain. Demikian Felix Nesi menulis:

Ia telah mencoba menceritakan itu kepada seorang romo lain, tetapi romo lain itu meminta ia untuk berhenti memfitnah dan datang lagi dengan bukti, sebab orang yang ia bicarakan itu adalah pendamping orang muda katolik yang kesalehannya terkenal sampai ke pulau-pulau.[27]

Kompromi negatif antara sesama pastor pun terjadi. Tujuannya jelas yaitu agar pastor terkait dilindungi dari segala tuduhan negatif yang bakal mengena dirinya sebagai In Persona Christi. Dengan berlindung pada selubung keagungan gereja, kekerasan dan pelecehan seksual tentu akan berlangsung secara masif dan terus menerus.

.....,beberapa perempuan menceritakan afair yang pernah mereka lakukan dengan pastor. Agnes pernah bertukar rayu dengan romo Agus; Ira sering menjawab telepon mesum dari romo Rafael; romo Binus pernah megap-megap sesudah meminta Yani berjongkok di selangkangnya- dan beberapa cerita mesum para romo yang tidak pantas dituliskan.[28]

Jumlah pelecehan seksual yang dibuat para romo sebagaimana dilukiskan Felix Nesi merupakan bentuk penggambaran tentang mirisnya kehidupan para pemimpin Gereja. Felix Nesi serempak menunjukkan bahwa keberpihakan pada tradisi dan agama yang diperkuat oleh sistem hirarki Gereja akan menyebabkan semakin banyak tindak kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan.

4.1.2 Budaya Patriarki

Konstruksi tradisi dan agama yang menempatkan perempuan sebagai kelompok kelas dua diperkuat oleh budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat. Secara sederhana, budaya patriarki didefenisikan sebagai pengunggulan terhadap keberadaan dan peran kaum pria. Sistem budaya yang demikian memperlemah akses terhadap ekspresi diri kaum perempuan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga mendefenisikan patriarki (patriakhat) sebagai tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak.[29] Defenisi ini bersifat sempit karena melihat patriarki hanya sebagai “tata kekeluargaan” dan bukan sebuah budaya. Padahal jika diteliti lebih jauh, patriaki sendiri merupakan sebuah warisan budaya yang bersifat turun-temurun. Patriarki dilegitimasi oleh situasi sosial budaya yang bias gender.

Tindak kekerasan terhadap perempuan sesungguhnya disebabkan oleh penerapan budaya patriarki. Keberadaan kaum pria memiliki “nilai lebih” dibanding dengan keberadaan kaum perempuan. Kaum pria dinilai lebih kuat bekerja dan mampu mengendalikan kehidupan keluarga. Sementara itu, kaum perempuan dinilai memiliki watak lemah, lamban dan kurang produktif. Mereka dipandang sebagai kaum yang hanya berurusan dengan persoalan dapur. Legitimasi posisi kaum pria membuka kemungkinan adanya tindak kekerasan terhadap kaum perempuan. Kaum pria sering melakukan pelecehan seksual, memukul dan memaki kaum perempuan. Tindakan-tindakan ini tak jarang berlindung dalam kutub patriarki yang dinilai benar oleh konstruksi budaya dan agama.

Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu memotret gambaran buram dari penerapan budaya patriarki. Ia dengan jeli menunjukkan bahwa budaya patriarki hadir sebagai sumber kekerasan terhadap perempuan. Kenyataan ini sering tidak disadari oleh masyarakat karena mereka sudah terpola dengan model budaya yang sama sejak kecil. Budaya patriarki menjadi semacam sebuah kewajaran yang menyetubuh dalam kehidupan masyarakat. Ia tumbuh secara alami karena proses legitimasi tradisi dan agama. Kekerasan terahadap perempuan menjadi seolah kenyataan yang wajar. Felix Nesi, misalnya menulis:

Salah seorang dari mereka menampar istri Martin dengan gagang kelewang. Perempuan itu memekik dengan putus asa sebab ia tahu bahwa tak ada yang bisa menolong mereka, semua laki-laki sedang berkumpul di depan televisi. Ia ditampar lagi dan disuruh untuk diam, sedang anak-anak terlalu ketakutan untuk menangis. Si sulung, perempuan kecil yang mulai tumbuh payudaranya terus bersembunyi di ketiak ibunya, sementara laki-laki yang lebih kecil lagi telah terkencing-kencing saat diseret dari tempat tidur.[30]

Penggambaran tentang kekerasan terhadap perempuan dalam novel Orang[1]orang Oetimu khas dengan penerapan sistem patriarki. Felix Nesi menulis tentang perempuan yang dipukul bukan karena kesalahannya, tetapi karena laki-laki yang menganggap diri superior. Kekerasan atas diri perempuan semacam dibenarkan karena sistem patriarki yang kuat.

4.1.3 Obyektivikasi Tubuh Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan adalah simbol obyektivikasi tubuh perempuan. Mereka dipandang sebagai obyek yang hampa dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka dipandang layaknya benda dan bukan manusia. Pengobyektivikasian tubuh perempuan merupakan bentuk penurunan derajat hidup perempuan. Konstruksi tradisi dan agama yang bias gender serta diperkuat oleh budaya patriarki menjadi rangkaian sebab yang membentuk obyektivikasi tubuh perempuan. Dengan melakukan obyektivikasi tubuh perempuan, laki-laki mampu mengungkapkan semua emosi sekaligus memantapkan superioritas diri.

Dalam semua bagian novel Orang-orang Oetimu, Felix Nesi menggambarkan proses obyektivasi tubuh perempuan secara besar-besaran. Perempuan ditempatkan di luar konteks dirinya yang utuh. Mereka hanya menjadi pemuas nafsu birahi laki-laki. Pandangan yang “reduksionis” terhadap wujud perempuan membuka semakin banyak kemungkinan untuk melakukan tindakan amoral atas mereka. Kekerasan terhadap perempuan menjadi suatu hal yang normal. Pelecehan seksual menjadi hal yang biasa. Dalam salah satu bagian novel, Felix Nesi menulis:

Laki-laki itu berdiri di pintu dan menatap tubuh Silvy yang melengkung. Derit pintu saat dibuka membuat Silvy terkejut dan membuka matanya. Kini mereka bertatapan. Satu detik. Dua detik. Sedetik kemudian, laki-laki itu menyelinap masuk dan menutup pintu. Belum sempat Silvy berpikir harus apa, kepala laki-laki itu telah bersarang di selangkangannya yang membuka lebar.[31]

Obyektivikasi tubuh perempuan sebagaimana digambarkan Felix Nesi berlangsung secara terus menerus. Pelecehan seksual dan penyiksaan menjadi fakta yang tak terelakkan. Konteks tempat dan suasana bukan menjadi halangan untuk melakukan pelecehan seksual dan penyiksaan terhadap perempuan. Felix Nesi menulis:

Ia melihat banyak tahanan di tempat itu, yang laki-laki disiksa dengan kejam dan kerap kali dipaksa untuk memegang payudaranya, dan perempuan-perempuan mendapat perlakuan yang tidak lebih baik darinya. Ia dan tahanan-tahanan itu kerap saling bertatapan, dan mereka telah sangat lelah bahkan untuk menangis. Berbulan-bulan di tempat itu, Laura dipindahkan ke gedung bekas toko Sang Tai Hoo di Colmera. Di tempat baru itu pun perlakuan yang ia terima tidak pernah berubah. Ia terus saja ditanya-tanyai sambil disiksa. Kadang seseorang masuk dan memerkosanya, kadang ia diangkut dengan jip ke mes seseorang yang akan menyetubuhinya.[32]

Gambaran mengenai obyektivikasi tubuh perempuan dalam novel Orang[1]orang Oetimu adalah bentuk pelumpuhan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan. Mereka kehilangan bentuk tubuh yang utuh. Tubuh mereka sudah menjadi mesin hasrat dan pelampiasan emosi kaum pria.

4.2 Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan yang kompleks. Selain disebabkan karena berbagai sumber, kekerasan terhadap perempuan juga memiliki variasi bentuk yang berbeda. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan hendak menunjuk pada model atau jenis perbuatan yang berdampak mengganggu kehidupan kaum perempuan. Ada setidaknya tiga bentuk kekerasan terhadap perempuan yang umum diketahui, antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan verbal. Dari ketiga model kekerasan tersebut, ada dua model kekerasan yang tampak dalam novel Orang-orang Oetimu karya Felix Nesi yakni kekerasan fisik dan psikis.

Pertama, kekerasan fisik. Secara definitif, kekerasan fisik adalah jenis perbuatan yang berpengaruh secara langsung pada keadaan fisik seseorang. Fokusnya terarah pada tubuh biologis manusia. Kekerasan fisik mengakibatkan luka fisik, sakit dan bahkan kematian. Dalam melakukan kekerasan fisik, pribadi dapat menggunakan anggota tubuhnya sendiri maupun alat bantu tertentu. Ia dapat memukul menggunakan kepalan tangan atau memakai kayu. Kekerasan fisik dilakukan dengan memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan barang atau senjata.[33] Bentuk lain dari kekerasan fisik dapat berupa pelecehan seksual. Ia disebut pelecehan seksual karena merupakan sebuah tindakan yang melanggar entitas seks sebagai hal yang suci. Dalam pelecehan seksual terdapat unsur paaksaan, penindasan dan diskriminasi seksual.

Kisah Laura, seorang gadis yang dipenjara, dipukul dan diperkosa oleh para tentara menampilkan sebuah gambaran ironis mengenai kekerasan terhadap perempuan. Felix Nesi dengan berani menulis kebiadaban para tentara yang kala itu menjadi penjaga keamanan di wilayah Timor-timor. Superioritas sebagai penjaga keamanan negara membangun sebuah benteng diri yang terkesan egoistis dan otoriaristik. Dengan anggapan yang demikian, maka mereka mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Kedua, kekerasan verbal. Kekerasan verbal merupakan semua bentuk ucapan yang bersifat mengancam, menakuti dan menghina.[34] Model kekerasan verbal tidak menimbulkan luka fisik tetapi mengganggu kenyamanan diri individu. Oleh karena itu, kekerasan verbal menyentuh mentalitas dan psikologi individu secara langsung. Individu yang terganggu akan merasa terasing, terisolir dan sulit mengekspresikan kebebasan diri secara benar. Ia selalu merasa diinterogasi, diawasi dan dilarang oleh orang lain.

Dalam novel Orang-orang Oetimu, bentuk kekerasan verbal berupa ancaman, makian dan tuduhan yang menimbulkan ketakutan dalam diri perempuan. Sebagai misal, Felix Nesi menulis:

Usai eksekusi itu sebuah mobil membawa Laura dan perempuan[1]perempuan muda lainnya ke Hotel Tropical di Lecidere, jauh ke sebelah timur. Di situlah penderitaannya dimulai. Ia diperkosa, diinterogasi, dan disiksa. Ia terus-menerus ditanya tentang hubungannya dengan Unetim, apakah ia pernah ikut membantai rakyat Timor, mengapa ia menjadi komunis, dan hal-hal lain yang tidak ia pahami. Ia menjawab bahwa ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi mereka mencambuk tubuhnya dengan ikat pinggang, menyebutnya pelacur komunis dan menyundut kulitnya dengan api rokok. Lama kelamaan ia tidak menjawab apa-apa, tidak berbicara apa-apa, sebab apa pun yang keluar dari mulutnya adalah sia-sia belaka.[35]

Kutipan di atas merupakan salah satu contoh kekerasan verbal yang dilakukan para tentara. Biasanya, bentuk kekerasan verbal berjalan seiring dengan kekerasan fisik yang dilakukan. Tujuannya tetap sama yakni menciptakan rasa takut dan menghendaki kepatuhan dalam diri perempuan.

4.3 Mengendus Jejak Feminsime dalam novel Orang-orang Oetimu

Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu tidak menulis suatu traktat yang jelas tentang feminisme. Novel Orang-oramg Oetimu sebagaimana karya sastra umumnya lebih cenderung menggunakan penggambaran-penggambaran imajinatif terkait inti suatu persoalan. Namun demikian, harus diakui bahwa imajinasi sastra merupakan hasil refigurasi keadaan realitas. Sastra tidak berdiri secara otonom sebagai refleksi subyektif seorang penulis. Konteks tempat, situasi dan waktu selalu melatari pemikiran seorang penulis. Pengalaman hidup di dalam konteks tertentu menjadi “bahan mentah” yang diolah menjadi sebuah karya sastra.

Proses refigurasi adalah sebuah rangkaian berseri dari aktivitas menulis karya sastra. Penulis selalu bertolak dari proses prefigurasi dan konfigurasi untuk mencapai refigurasi. Dalam proses prefigurasi, seorang penulis sesungguhnya sedang memulai usaha untuk mewujudkan tatanan imajinatif terhadap obyek tertentu. Tahap prefigurasi menjadi titik star untuk menghasilkan sebuah refleksi. Selanjutnya, tahap prefigurasi bergerak menuju proses konfigurasi. Penulis membangun tesis tertentu sebagai inti persoalan yang ditulis dalam karya sastra. Tahap konfiguasi adalah usaha penulis untuk merangkum kembali fragmen imajinatif yang muncul pada bagian prefigurasi. Pada titik ini terjadi pembauran horison (fusion horizon) antara sejarah hidup penulis, konteks kesekarangan dan ideal yang hendak diwujudkan. Tahap konfigurasi diperbaharui kembali setelah penulis melakukan refigurasi. Tujuannya agar teks yang sudah dikonfigurasi diperlihatkan dan direfleksikan kembali agar sesuai dengan konteks kesekarangan. Tahap refigurasi, dengan demikian merupakan ikhtiar penulis untuk mengkontekstualisasi inti persoalan yang ditulis dalam karya sastra.

Bertolak dari ketiga proses di atas, maka pembaca akan sampai pada pemahaman bahwa novel Orang-orang Oetimu sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap kekerasan atas kaum perempuan. Singkatnya, novel Orang-orang Oetimu adalah sebuah bentuk gerakan feminisme. Felix Nesi menolak budaya patriarki yang berlangsung di wilayah Oetimu yang memproduksi kekerasan terhadap kaum perempuan. Usaha ini dilakukan Felix Nesi tidak dengan menghadirkan tesis-tesis yang berisi larangan dan batasan. Panduan etika universal sebagaimana diwacanakan sejak zaman modern pun luput dari perhatiannya. Sebaliknya, hal yang dibuat Felix Nesi adalah menghadirkan penggambaran-penggambaran umum yang ironis dan menohok nurani kemanusiaan.[36] Pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan digambarkan secara jelas sebagai fakta yang sering terjadi dalam masyarakat Oetimu. Dengan model penggambaran yang demikian, Felix Nesi pada bagian berikut menginginkan agar para pembaca tidak sekadar berdiam diri dan meratapi kemalangan hidup perempuan. Ia mengharapkannya muncul sebuah gerakkan untuk merespons kekerasan terhadap perempuan. Harapan itu dapat dilihat sebagai jejak feminisme.

Ketika menulis tentang tokoh Silvy yang diperkosa oleh salah seorang guru di SMA St. Helena, Felix Nesi sesungguhnya sedang menghadirkan sebuah dilema etis. Guru yang seharusnya menanamkan nilai-nilai moral pada para siswa justru bertindak sebaliknya. Fakta lain yang diangkat Felix Nesi yakni terkait kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Dalam beberapa bagian cerita, Felix Nesi menulis tentang tentara yang memukul para wanita menggunakan senjata. Mereka lalu diperkosa secara bergilir. Penggambaran yang demikian menunjukkan pembalikan sikap para guru dan tentara, juga pastor dan figur yang seharusnya menunjukkan moralitas yang benar. Dengan model penggambaran yang demikian, Felix Nesi mengajak pembaca agar merefleksikan peran yang seharusnya ia lakukan sebagai subyek moral (subyek morale). Kesadaran sebagai subyek moral harus berdampak pada keberpihakan terhadap mereka yang dilecehkan dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Di hadapan fakta mengenai kekerasan terhadap kaum perempuan, kita harus mengajukan perlawanan. Tujuannya agar perempuan memperoleh kedudukan dan penghargaan yang sama dengan laki-laki. Kita menolak budaya patriarki agar kesamaan hak dan kewajiban antara kaum pria dan wanita terpenuhi.

4.4 Redeskripsi Subyek Perempuan

Tujuan lain dari gerakan feminisme sesungguhnya menghendaki agar tercipta redeskripsi subyek perempuan. Redeskripsi mengandaikan adanya deskripsi yang dibuat terhadap perempuan. Model deskripsi tersebut adalah sebuah deskripsi yang bias gender. Sejak dahulu, perempuan dipersepsi sebagai kelompok manusia kelas dua setelah kaum pria. Definisi yang “reduksionis” terhadap keutuhan diri perempuan membuka kemungkinan terciptanya pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan. Mereka dijadikan sebagai alat untuk memuaskan nafsu seksual kaum pria. Kekerasan terhadap perempuan menjadi fakta yang dipandang normal.

Redeskripsi subyek perempuan adalah usaha untuk mendeskripsikan kembali kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat. Fokus redeskripsi terletak pada harapan untuk mengembalikan pemahaman yang benar terkait keutuhan diri kaum perempuan. Mereka harus dihargai sebagai manusia yang bermoral. Keberadaan dan peran mereka harus dilihat dalam keutuhan dirinya sebagai manusia. Mereka dihargai bukan sekedar sebagai “pelengkap”, tetapi sebagai “satu kesatuan” bagi kehidupan kaum pria. Tanpa seorang perempuan, laki-laki tidak dapat menjadi pribadi yang utuh.

Proses redeskripsi subyek perempuan harus berdampak pada keterbukaan ruang untuk ekspresi diri kaum perempuan. Keberadaan dan peran mereka harus diakomodasi guna mewujudkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Keterbukaan terhadap kedudukan dan peran kaum perempuan menunjukkan keadilan hidup. Kedudukan dan peran mereka diperluas jika akses hidup sosial, politik, budaya dan agama memberi perhatian terhadap perempuan. Segala kebijakan yang ditetapkan kaum pria akan memperoleh “nafas baru” jika terbuka kemungkinan bagi perwujudan peran kaum perempuan. Dengan model pembacaan yang demikian, maka redeskripsi subyek perempuan sesungguhnya menjadi sebuah keharusan.

Jejak feminisme yang dibangun Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu harus dibaca dalam kaitannya dengan usaha untuk meredeskripsi keberadaan dan peran kaum perempuan. Felix Nesi menolak segala bentuk definisi terhadap keberadaan dan peran kaum perempuan sejak zaman dahulu. Sebab, jika berkutat pada definisi yang demikian, maka terbuka kemungkinan yang semakin luas bagi pelecehan seksual dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Laki-laki akan dengan mudah menampar pipi perempuan dan memperkosanya karena terjebak dalam defenisi yang keliru tentang sosok perempuan. Dengan melakukan redeskripsi subyek perempuan, maka rasa hormat dan penghargaan kaum pria terhadap perempuan menjadi lebih tinggi. Mereka akan menjadikan perempuan bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai “teman seperjalanan” yang membentuk keutuhan diri.

4.5 Menuju Emansipasi

Usaha kaum feminis berorientasi pada harapan untuk membangun sebuah tatanan dunia yang bersifat emansipatoris. Artinya bahwa kaum feminis menginginkan terciptanya sebuah dunia yang adil. Keberadaan dan peran perempuan harus diakomodasi dalam kehidupan bersama. Tepat di sini, feminisme memproposalkan emansipasi dan sekaligus mengutuk keras segala bentuk diskriminasi berbias gender. Bagi kaum feminis, dunia menjadi lebih adil jika keberadaan dan peran perempuan memperoleh ruang ekspresi yang sama dengan laki-laki. Tatanan kosmologis akan menjadi lebih seimbang jika tercipta keadilan dalam memperlakukan kaum perempuan.

Langkah untuk membangun emansipasi bertolak dari dua sikap, antara lain, pertama rasa hormat terhadap perempuan. Emansipasi terbentuk pertama-tama dari suatu pemahaman bahwa perempuan adalah makhluk yang sama dengan laki-laki. Mereka adalah manusia yang sedang berziarah di dunia yang sama. Oleh karena itu, laki-laki harus mencintai perempuan dan menganggapnya sebagai “teman seperjalanan”. Rasa cinta yang sama berimbas pada pembentukan sikap hormat terhadap kaum perempuan. Mereka harus dilihat sebagai subyek pengisi kehidupan dan bukan obyek pelengkap. Kedua, ikhtiar menciptakan keadilan. Emansipasi adalah gerakan yang menghendaki adanya perlakuan yang adil bagi keberadaan dan peran kaum perempuan. Keadilan tercipta jika ada perubahan pandangan dan sikap kaum pria terhadap wanita.

IV. PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Novel Orang-orang Oetimu adalah wacana tentang kekerasan seksual. Sebagai sebuah wacana, Orang-orang Oetimu tidak hanya berkutat menyajikan kisah kekerasan yang dialami kaum perempuan. Keseluruhan penggambaran dalam Orang-orang Oetimu justru meninggalkan jejak feminisme. Ia mendobrak kemapanan tradisi dan agama serta budaya patriarki yang lebih cenderung membuka ruang bagi keberadaan dan peran kaum pria. Dengan menulis Orang-orang Oetimu, Felix Nesi membuka pemahaman publik pembaca untuk merefleksikan sejauh mana mereka memperlakukan perempuan dalam kehidupan.

Jejak feminisme dalam novel Orang-orang Oetimu merujuk pada usaha untuk meredeskripsi subyek perempuan. Keberadaan dan peran kaum perempuan harus dilihat dalam keutuhan dirinya sebagai manusia dan bukan alat. Redeskripsi subyek perempuan berdampak lebih lanjut pada pembentukan emanispasi. Dengan emansipasi dimaksudkan agar terbentuknya perlakuan yang adil terhadap keberadaan dan peran kaum perempuan. Fokus emansipasi tertuju pada keterbukaan ruang bagi perempuan dalam sejumlah urusan publik. Mereka dapat berpartisipasi dalam dunia sosial, politik, pendidikan, kebudayaan dan keagamaan yang sama dengan kaum pria. Akses yang seimbang dalam berbagai aspek kehidupan memungkinkan terbentuknya keutuhan diri kaum perempuan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. 1990.

Dapertemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Buku

Adve (Ed.). Zarathustra. Yogyakarta: Quills Book Publisher. 2008.

Brenan, Julia. Mixing Method: Qualitative and Quantitative Research. USA: Avebury Aldershoot Publisher. 1992.

Chazawi, Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.

Darma, Budi. Teori Kesusastraan Kontemporer. Jakarta: Kompas Gramedia. 2019.

Dr. Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.

Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress, September. 2008.

Kali, Ampy. Diskursus Seksualitas Michael Foucault. Maumere: Penerbit Ledalero, 2015.

Keraf, Gorys. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah. 1980.

Kleden, Paul Budi dkk. Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Jakarta: Komnas Perempuan. 2009.

Kymlicka, Will. Dalam Wahyudi, Agus (Penerj.). Pengantar Filsafat Politik Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Nesi, Felix. Orang-orang Oetimu. Tangerang: Marjin Kiri. 2019.

Nesi, Felix. Usaha Membunuh Sepi. Malang: Pelangi Sastra. 2019.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1998.

Orong, Yohanes. Bahasa dan Sastra Indonesia. Maumere: Penerbit Ledalero. 2014.

Risa, Permandeli. Harsono, Irawanti. Wulansari, Lisa (dkk.). Buku Refrensi Penanganan Kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2019.

Rokhmansyah, Alfian. Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca. 2016.

Suryakusuma, Julia. Agama, Seks, dan Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu. 2012.

Sksipsi dan Jurnal

AW, Reza Antonius. “Richard Rorty dan Ruang Publik Para ‘Penyair’: Sebuah Tematisasi Konsep Ruang Publik di dalam Filsafat Politik Richard Rorty”. Dalam Melintas Vol. 24 (1). 2018.

Dede, Vincentius Ferer. “Memahami Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pemberontakannya dalam Sorotan novel Namaku Matahari” .Skripsi. Maumere: Ledalero. 2013.

Fitriana, Yuni. Pratiwi, Kurniasari. Sutanto, Andina Vita. “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perlaku Orang Tua dalam Melakukan Kekerasan Verbal terhadap Anak Usia Pra Sekolah”. Dalam Jurnal Psikologi Undip Vol. 14 (1). 2015.

Hadinata, Fristian. “Mencari Kemungkinan Solidaritas Tanpa Dasar Universal: Telaah atas Pemikiran Etika Sosial Richard Rorty”. Dalam Respons Vol. 23 (01). 2018.

Prior, Jhon Mansfor. “Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia: Keberadaan Gereja serta Ditinjau dari Sisi Antropologi-Budaya”. Dalam Spektrum 39 (4).

Internet

https://lifestyle.bisnis.com/read/20210305/219/1364222/5-dampak-buruk-dari[1]kekerasan-pada-perempuan. Dakses pada Kamis, 11 November 2021.

Gramedia Pustaka Utama. “Peluncuran dan Disuksi Buku Kita Pernah Saling Mencinta”. Dalam https://youtu.be/XZwYCxPUgUU. Diakses pada Kamis, 11 November 2021.

koran.tempo.co/amp/puisi/458465/puisi-felix-k-nesi. Diakses pada 26 Agustus 2021.

Pratiwi, Andi Misbahul. http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir. Diakses pada Senin, 31 Mei 2021.

RAKAT TV. “Felix K. Nesi- Cerita Dibalik Suksesnya Novel Orang-orang Oetimu” https://youtu.be/suK6VJ9g2PI. Diakses pada Kamis, 11 November 2021.



[1]Adve (Ed.), Zarathustra (Yogyakarta: Quills Book Publisher, 2008), hlm. ix.

[2]Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 26.

[3]Julia Suryakusuma, Agama, Seks, dan Kekuasaan (Jakarta: Komunitas Bambu: 2012), hlm. 241.

[4]Paul Budi Kleden, dkk., Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009), hlm. 44.

[5]Dr. Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 10.

[6]Julia Brenan, Mixing Method: Qualitative and Quantitative Research (USA: Avebury Aldershoot Publisher, 1992), hlm. 58.

[7]Felix Nesi, Usaha Membunuh Sepi (Malang: Pelangi Sastra, 2019), hlm. cover belakang.

[8]Selain menulis cerita pendek dan novel, karya-karya pertama Felix selama berkuliah di Malang berupa kumpulan puisi. Beberapa puisinya yang terbit di koran Tempo antara lain, Racun Tikus (2014), Bisain Sore Hari (2014), Berburu Sapi (2014), Berburu Ikan (2014), Firasat Nenek (2014), Requiem (2014), Pesan Kakek (2014), Memasak Jagung (2020) dan Sapi Hitam di Aisaet (2020). Bdk. koran.tempo.co/amp/puisi/458465/puisi-felix-k-nesi, diakses pada 26 Agustus 2021.

[9]Yohanes Orong, Bahasa dan Sastra Indonesia (Maumere: PenerbitLedalero, 2014), hlm.107.

[10]Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa (Ende: Nusa Indah, 1980), hlm. 107.

[11]Ampy Kali, Diskursus Seksualitas Michael Foucault (Maumere: Penerbit Ledalero, 2015), hlm.

[12]Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm. 167

[13]Ibid., hlm. 71.

[14]Vincentius Ferer Dede, “Memahami Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pemberontakannya Dalam Sorotan novel Namaku Matahari” (Skripsi) (Maumere: Ledalero, 2013), hlm. 15.

[15]Penjelasan tentang kisah hidup dan perjalanan kepenyairan Felix Nesi bisa disaksikan di kanal youtube RAKAT TV, “Felix K. Nesi- Cerita Dibalik Suksesnya Novel Orang-orang Oetimu” https://youtu.be/suK6VJ9g2PI, diakses pada Kamis, 11 November 2021. Bdk. youtube Gramedia Pustaka Utama, “Peluncuran dan Disuksi Buku Kita Pernah Saling Mencinta”, https://youtu.be/XZwYCxPUgUU, diakses pada Kamis, 11 November 2021.

[16]Dapertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 677.

[17]Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: INSISTPress, 2008), hlm. 8- 9.

[18]Andi Misbahul Pratiwi, http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/kekerasan-terhadap[18]perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir, diakses pada Senin, 31 Mei 2021.

[19]Ibid.

[20]https://lifestyle.bisnis.com/read/20210305/219/1364222/5-dampak-buruk-dari-kekerasan-pada[20]perempuan, di akses pada Kamis, 11 November 2021.

[21]Bdk. Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2016), hlm. 37-47.

[22]Will Kymlicka dalam Agus Wahyudi (Penerj.), Pengantar Filsafat Politik Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 317.

[23]Ibid.

[24]Alfian Rokhmansyah, op.cit.,hlm. 50-57.

[25]Sejak dini perlu dijelaskan bahwa kajian tentang kesusatraan pada bagian ini harus dibaca dalam horison studi kesusastraan (literary study/literary studies) untuk membedakannya dari ruang lingkup kesusastraan (literature). Ketika masuk dalam studi kesusastraan, maka yang menjadi obyek kajian adalah sastra dengan obyeknya. Bdk. Budi Darma, Teori Kesusastraan Kontemporer (Jakarta: Kompas Gramedia, 2019), hlm. 1.

[26]Bdk. Jhon Mansford Prior, “Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia: Keberadaan Gereja serta Ditinjau dari Sisi Antropologi-Budaya”, dalam Spektrum 39 (4), hlm. 46-52.

[27]Felix Nesi, Orang-orang Oetimu (Tangerang: Marjin Kiri, Juli 2019), hlm. 154.

[28]Ibid, hlm. 154-155

[29]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 654.

[30]Felix Nesi, op.cit., hlm. 6-7.

[31]Ibid.,hlm. 124-125.

[32]Ibid.

[33]Permandeli Risa, Irawanti Harsono, Lisa Wulansari (dkk.), Buku Refrensi Penanganan Kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum (Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2019), hlm. 35.

[34]Bdk. Yuni Fitriana, Kurniasari Pratiwi, Andina Vita Sutanto, “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perlaku Orang Tua dalam Melakukan Kekerasan Verbal terhadap Anak Usia Pra Sekolah”, dalam Jurnal Psikologi Undip, Vol. 14 (1), 2015, hlm. 81-93.

[35]Felix Nesi, op.cit.,hlm. 25.

[36]Terkait penjelasan ini, penulis berhutang budi pada analisis Richard Rorty tentang esensi karya sastra. Bagi Rorty, karya sastra adalah sebuah narasi yang mampu menyentuh nurani kemanusiaan individu terhadap suatu persoalan. Novel, cerpen dan puisi lebih mampu menggerakan individu untuk bertindak moral dibanding traktat-traktat etika. Bdk. Fristian Hadinata, “Mencari Kemungkinan Solidaritas Tanpa Dasar Universal: Telaah atas Pemikiran Etika Sosial Richard Rorty” dalam Respons Vol. 23 (01), 2018, hlm. 112-122. Dengan alasan ini, maka Rorty menolak panduan etika normatif sebagaimana diwacanakan secara sporadis dalam filsafat modern. Bdk. Reza Antonius AW, “Richard Rorty dan Ruang Publik Para ‘Penyair’: Sebuah Tematisasi Konsep Ruang Publik di dalam Filsafat Politik Richard Rorty” dalam Melintas Vol. 24 (1), 2018, 57-81.


Posting Komentar untuk "ORANG-ORANG OETIMU DAN WACANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN"