ORANG-ORANG OETIMU DAN WACANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Maria Noviyanti Meti
Mahasiswa Semester VII STFK Ledalero
Abstraksi
Artikel ini fokus mengkaji novel Orang-orang Oetimu
dan korelasinya dengan wacana kekerasan terhadap perempuan. Novel Orang-orang
Oetimu dijadikan sebagai panduan untuk melihat sejauh mana ekses negatif yang
timbul dari tradisi, agama dan budaya patriarki terhadap keberadaan dan peran
perempuan. Felix Nesi menjadikan novel Orang-orang Oetimu sebagai bahan ucap
untuk mengajukan kritik atas realitas kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena
itu, artikel ini akan berorientasi pada tiga bagian penting, yakni novel
Orang-Orang Oetimu dan kekerasan terhadap perempuan. Pada bagian pertama,
penulis coba melihat nilai-nilai substansial dan kerangka yang membangun
keutuhan novel. Sedangkan, bagian kedua akan membahas kompleksitas kekerasan
yang dialami perempuan. Kedua bagian tersebut kemudian disatukan dalam analisis
tentang kekerasan terhadap perempuan dari perspektif novel Orang-orang Oetimu.
Sebagai akhir, artikel akan ditutup dengan kesimpulan yang merangkum
keseluruhan pembahasan pada tiga bagian sebelumnya.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena yang
seringkali dijumpai dalam keseharian hidup masyarakat. Perkembangan rasio dan
wawasan intelektual manusia modern tampaknya belum mampu menjadi ukuran sejauh
mana seorang individu dinyatakan beradab. Pada umumnya, tindak kekerasan
terhadap perempuan lahir karena dorongan alamiah untuk menguasai. Frederich
Niezsche dalam karya fenomenalnya Zarathustra membenarkan bahwa dorongan
primitif yang muncul mendominasi diri manusia adalah hasrat akan kuasa dan dan
ketakutan.[1] Kekerasan yang dialami
oleh perempuan bertolak dari asumsi bahwa perempuan selalu menduduki posisi
kedua setelah laki-laki, baik dalam ruang publik maupun ruang privat.
Keterlibatan dalam ruang publik lebih banyak didominasi oleh laki-laki.
Sementara itu, akses untuk perempuan cenderung dibatasi. Di lain pihak, dalam
ruang privat, posisi perempuan direduksi kedudukan dan peranannya hanya pada
urusan seputar dapur, sumur dan kasur. Privatisasi status perempuan berdampak
besar pada perannya dalam kehidupan bersama. Adami Chazawi menyebutkan bahwa
tindak kekerasan terhadap perempuan pada umumnya disebabkan oleh paham dunia
yang masih didominasi oleh laki-laki.[2]
Konstruksi sosial masyarakat tentang sosok perempuan sebagai pribadi yang lemah
dengan sendirinya lebih menempatkan laki-laki sebagai pribadi yang dominan.
Lebih jauh, pembuktian biologis terkait struktur fisik antara lelaki dan
perempuan tampaknya mendukung dominasi kedudukan dan peran laki-laki sebagai
pribadi yang kuat dan “pereduksian” status perempuan sebagai individu yang
lemah. Secara biologis, misalnya lelaki memiliki otot yang lebih kuat dari pada
perempuan. Dalam kajian psikolinguistik, otak laki-laki dan perempuan juga
tersusun dari struktur yang berbeda sehingga memiliki pola pikir, logika
analisis dan persepsi yang berbeda pula. Laki-laki selalu mengandalkan
pertimbangan rasional dibanding perempuan yang lebih menonjolkan aspek
emosional. Pertimbangan-pertimbangan yang demikian tampaknya mengafirmasi
kedudukan dan superioritas lelaki dibanding perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan yang kompleks.
Kompleksitas kekerasan terhadap perempuan dapat diidentifikasi dari bentuk,
tempat kejadian, jenis dan pelakunya. Dari bentuknya, kekerasan terhadap
perempuan dapat berupa kekerasan fisik, non fisik (verbal) dan kekerasan
seksual. Sementara itu, menurut tempat kejadiannya, kekerasan terhadap
perempuan dapat terjadi di dalam kehidupan berumah tangga dan di tempat umum
(public space). Dari jenisnya, kekerasan terhadap perempuan dapat berupa tindak
pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan atau kombinasi dari ketiganya. Terakhir,
dari pelakunya, kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki hubungan dekat atau orang asing. Dalam beberapa kasus, model kekerasan
terhadap perempuan diawali oleh sistem pembedaan seksual dalam kehidupan sosial
masyarakat. Meminjam pendapat Julia Suryakusuma, maraknya tindakan kekerasan
terhadap perempuan berawal dari sistem nilai diskriminasi seksual.[3]
Kekerasan terhadap perempuan de
facto terjadi karena persepsi yang keliru tentang status sosial perempuan.
Perempuan menjadi pihak yang sering dinomorduakan dalam kehidupan masyarakat.
Perempuan selalu dijadikan sebagai objek atau instrumen bagi mereka yang
memiliki otoritas tinggi dalam negara maupun agama. Dalam tatanan hidup
bernegara, dominasi peran kaum pria dapat dilihat dari sejumlah jabatan
pemerintahan. Sementara itu, dalam kehidupan beragama- misalnya dalam agama
Katolik, sistem hirarki adalah bukti paling konkret yang menggambarkan dominasi
kaum pria dibanding perempuan. Akses yang tidak seimbang antara lelaki dan
perempuan menjadi fenomena yang telah berlangsung sejak zaman dahulu. Hal ini
tidak paralel dengan maksud yang tertera dalam hukum, undang-undang dan ajaran
iman yang menuntut keadilan.
Berhadapan dengan sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan,
sejumlah usaha pencegahan telah dilakukan. Dalam konteks negara Indonesia,
model pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan mendapat perhatian serius dari
pemerintah dalam sejumlah peraturan hukum untuk melindungi korban dan mencegah
terjadinya kekerasan. Lahirnya Undang-undang No. 9 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan adalah bukti nyata
usaha pemerintah untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Dari pihak Gereja Katolik, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang
sangat bertolak belakang dengan inti iman akan Kristus, yakni cinta, keadilan,
perdamaian dan solidaritas satu dengan yang lain. Pemahaman-pemahaman tersebut
terbentuk melalui beberapa sumber, khususnya Kitab Suci dan Tradisi (termasuk
ajaran, teologi, penghayatan iman, dsb).[4]
Moralitas Kristen sejak semula menolak segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan. Sebab, perempuan sebagaimana laki-laki adalah sosok yang harus
dihargai karena eksistensinya sebagai ciptaan Allah. Selain pemerintah dan
Gereja, kekerasan terhadap perempuan juga mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Salah satu pihak yang ikut menyuarakan penolakan kekerasan terhadap perempuan
adalah kelompok sastrawan. Peran serta sastrawan dalam memerangi tindak
kekerasan terhadap perempuan kerap dilakukan secara “tidak langsung” dengan menulis
sebuah sajak kecil, cerita pendek dan novel. Sastra dijadikan sebagai media
untuk mengekspresikan emosi dan menyuarakan pendapat terhadap suatu persoalan.
Kritik yang disampaikan oleh seorang sastrawan kerap dibungkus dalam balutan
metafor yang hidup dan menghentak emosi pembaca. Pembaca boleh merasa lucu
ketika berhadapan dengan suatu karya sastra yang terkesan humoris, tetapi bagi
sastrawan, pembaca tersebut sesungguhnya sedang menertawakan dirinya sendiri.
Kepandaian seorang sastrawan dalam mengolah suatu peristiwa menjadikan karyanya
bernilai lebih di mata pembaca. Pada titik ini, tampak jelas bahwa sebuah karya
sastra tidak berdiri secara independen sebagai hasil imajinasi pengarang.
Seorang sastrawan membutuhkan locus tertentu sebagai sarana menimbah inspirasi
dalam menulis. Locus tersebut bertolak dari pengalaman hidupnya dalam
masyarakat. Artinya, antara masyarakat dan sastra terbuka kemungkinan mengenai
hubungan yang dialektik atau timbal-balik.[5]
Masyarakat adalah medan magnetik yang dapat memantik terbentuknya sebuah karya
sastra. Sehubungan dengan hal ini, fenomena kekerasan terhadap perempuan dapat
menjadi locus bagi pengarang untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Pengarang
merefleksikan fenomena kekerasan terhadap perempuan dalam imajinasi historis
guna menulis sebuah karya.
Felix Kandidus Nesi atau akrab disapa Felix Nesi adalah satu dari
sekian banyak sastrawan Indonesia yang menulis tentang kekerasan terhadap
perempuan. Dalam novel Orang-orang Oetimu, Felix dengan berani mengeksplorasi
bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam sejumlah isu terkait peran negara dan
gereja. Felix tampak yakin bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bagian
integral dari disfungsi sistem dalam hidup masyarakat. Negara dan gereja yang
seharusnya berperan menegakkan hukum dan moralitas justru menjadi pelaku
kekerasan terhadap perempuan. Ironi kekerasan terhadap perempuan masih harus
dijelaskan sebagai sebuah dinamika yang berlangsung secara sporadis dan
sistematik. Dalam novel Orang-orang Oetimu, Felix akan mengajak pembaca untuk
melihat selubung kekerasan terhadap perempuan dalam kehidupan masyarakat. Dinamika
tersebut berlangsung secara terselubung sehingga sulit dibongkar. Akibatnya,
masyarakat selalu hidup dalam suatu pola pikir yang salah terkait kedudukan
perempuan. Masyarakat terbiasa menjadikan perempuan sebagai akibat dari
timbulnya suatu persoalan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merasa
terdorong untuk mengkaji lebih jauh fenomena kekerasan terhadap perempuan dari
perspektif novel Orang-orang Oetimu karya Felix Nesi. Penulis melihat bahwa
fenomena kekerasan terhadap perempuan yang diangkat oleh Felix Nesi memiliki
konkruensi dengan wacana kekerasan terhadap perempuan pada zaman sekarang. Di bawah
judul “Orang-orang Oetimu dan Wacana Kekerasan terhadap Perempuan”, artikel ini
dihadirkan ke hadapan publik pembaca.
1.2 Metodologi dan Batasan Studi
Dalam proses pengerjaan artikel ini, penulis menggunakan pendekatan
deskripsi kualitatif. Secara harafiah, pendekatan deksripsi kualitatif adalah
model penelitian yang bersifat naturalistik yang menggunakan metode
interpretasi konstruktif dengan menyelidiki suatu persoalan secara mendalam.[6] Penulis
mengumpulkan, membaca dan membuat analisis deskriptif tentang novel Orang-orang
Oetimu dan kajian seputar kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu,
penulis menemupuh langkah penjajakan ke perpustakaan agar memperoleh semakin
banyak informasi tentang kajian dalam artikel. Penulis berkenalan langsung
dengan karya-karya asli Felix Nesi dan sejumlah buku dan artikel yang menulis
tentangnya.
Mengingat luasnya tema yang dibahas Felix K. Nesi dalam novel
Orang-orang Oetimu, maka sejak dini penulis perlu membuat batasan studi yang
jelas. Tujuannya agar tema yang diangkat dalam artikel tidak membias dan
mengulang sejumlah kajian terdahulu. Ada setidaknya dua panduan yang menjadi
batasan dalam studi tentang novel Orang-orang Oetimu dan kekerasan terhadap
perempuan. Pertama, artikel ini hanya fokus mengkaji tentang novel Orang-orang
Oetimu dan hubungannya dengan wacana kekerasan terhadap perempuan. Penulis akan
menganalisis isi percakapan dan struktur teks yang memuat kekerasan terhadap
perempuan. Dengan maksud tersebut, maka batasan studi yang kedua menegaskan
bahwa tema-tema seperti etnografi, kesusastraan kontemporer, sistem demokrasi
deliberatif dan agama tradisional yang juga termuat dalam novel, dengan
sendirinya luput dari pembahasan penulis. Meskupun demikian, penulis tetap
berkenalan dengan tema-tema tersebut agar diperoleh suatu kajian yang komprehen
terkait novel Orang-orang Oetimu.
II FELIX K. NESI DAN ORANG-ORANG
OETIMU
2.1 Biografi Felix K. Nesi
Felix K. Nesi lahir di Nesam, Timur
Tengah Utara (TTU) pada 30 Agustus 1988.[7] Masa
kecilnya dihabiskan di kampung bersama orang tua dan keluarga. Dari pengakuan
Felix, sejak kecil, ia sudah menaruh minat yang besar pada dunia tulis menulis.
Situasi kampung dengan tradisi dan warisan budaya yang kuat turut mempengaruhi
cakrawala pemikiran dan afeksi seni. Felix kecil “mendiseminasi” setiap tuturan
adat, pantun dan simbol-simbol budaya untuk kemudian dijadikan sebagai sebuah
karya tulis. Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di kampungnya, Felix melanjutkan pendidikan ke SMA
Seminari Menengah St. Maria Imaculata, Lalian, Atambua. Di Seminari Lalian,
minat dan kecintaan Felix pada dunia tulis-menulis semakin diperkuat. Seminari
menjadi rumah yang nyaman bagi Felix untuk menimbah inspirasi dalam menulis.
Setelah tamat dari Seminari Lalian,
Felix melanjutkan pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Merdeka
Malang. Saat ini Felix telah kembali ke kampung halamannya dan mengolah sebuah
produk minuman lokal yang diberi nama Tua Kolo. Di tengah kesibukannya, Felix
selalu menyempatkan diri untuk membaca dan menulis. Ia juga diundang ke
sejumlah diskusi dan seminar untuk membawahkan materi tentang kesusastraan.
2.2 Karya dan Penghargaan
Felix Nesi adalah penulis dengan
segudang prestasi. Pada tahun 2015, ia terpilih sebagai Emerging Writers di
Makasar International Writers Festival (MIWF). Dari jemari tangannya yang
lincah telah terbit sejumlah buku, antara lain Kematian Penyair Toni (Kumpulan
Puisi, swa-terbit) Usaha Membunuh Sepi (2016), Orang-orang Oetimu (2018) dan
Kita Pernah Saling Mencinta (2021). Selain produktif menulis buku, Felix juga
aktif menulis di surat kabar seperti Harian Kompas, Koran Tempo, Media
Indonesia, Jawa Pos, juga beberapa media dalam jaringan.[8] Pada
tahun 2017, Felix bersama beberapa rekannya di Kupang mendirikan Komunitas
Leko. Beberapa kali ia terpilih mengikuti program kepenulisan seperti Seniman
Peserta Literature and Ideas Festival (Lifes) Salihara (2019), peserta Residensi
Penulis Indonesia di Amsterdam (2019), dan peserta Residensi Program
Kepenulisan Universitas Iowa-US (2021).
2.3 Novel Orang-Orang Oetimu
2.3.1 Sinopsis
Novel Orang-orang Oetimu berkisah
tentang kehidupan masyarakat Oetimu pada tahun 1990-an. Oetimu merupakan sebuah
wilayah yang terletak di pelosok pulau Timor. Saat itu, kejadian-kejadian di
negara Indonesia selebihnya mau tak mau berdampak kepada kehidupan sosial
masyarakat Oetimu. Hubungan sosial-politis yang dijalin kolonial bersama pemerintah
memicu lahirnya kekerasan terhadap masyarakat. Di samping itu, pertempuran dan
peperangan terjadi hampir di seluruh pelosok negara. Martin Kabiti menjadi
salah satu tokoh yang berperang untuk orang[1]orang Indonesia.
Akibatnya, ia dibenci oleh Atino dan kelompok milisi pro kemerdekaan
Timor-timor. Kebencian mereka terbalas lunas ketika berhasil membunuh istri dan
anak-anak Martin Kabiti. Peristiwa naas itu terjadi pada malam final piala
dunia antara Brazil dan Prancis.
Di samping sengkarut persoalan antara
Martin Kabiti dan kelompok Atino, muncul pula cerita tentang Sersan Ipi,
seorang anggota militer di Oetimu. Sersan Ipi adalah anak dari Laura. Ibunya
diperkosa oleh tentara militer Indonesia dan dibuang ke hutan belantara. Laura
ditemukan oleh Am Siki, seorang pria yang terkenal karena keberhasilannya
membunuh sepuluh tentara Jepang dan menghanguskan kamp konsentrasi. Am Siki
berhati mulia. Ia memelihara Laura hingga melahirkan seorang anak bernama
Siprianus. Kelak, Siprianus menjadi seorang Sersan dan disapa dengan nama
Sersan Ipi.
Keseluruhan penggambaran dalam novel
Orang-orang Oetimu bergerak dari kisah kekerasan dan pelecehan seksual yang
dialami Silvy bersama teman-teman perempuannya. Silvy diperkosa oleh Linus,
guru di SMA St. Helena. Pada babak lain, Felix juga mengisahkan momen di mana
Elisabeth diperkosa oleh seorang pastor pembimbing kelompok Orang Muda Katolik
(OMK). Nama perempuan lain yang ditampilkan Felix adalah Maria. Ia adalah
seorang aktivis yang getol menyuarakan keadilan. Namun, usaha Maria selalu
mendapat kecaman dari aparat keamanan. Mereka bahkan membunuh suami dan
anaknya. Peristiwa itu membuat Maria geram. Ia mengutuki perilaku
sewenang-wenang aparat keamanan.
Novel Orang-orang Oetimu ditutup
dengan menghadirkan kembali tokoh Sersan Ipi. Ia berhasil merebut cinta Silvy
dan berniat menikahinya. Namun, sebelum rencana pernikahan itu terlaksana,
Sersan Ipi dibunuh oleh kelompok Atino. Peristiwa itu terjadi ketika Sersan Ipi
hendak menolong istri bersama anak-anak Martin Kabiti yang disekap kelompok
Atino. Oleh masyarakat Oetimu, Sersan Ipi kemudian dijuluki sebagai pahlawan.
2.3.2 Analisis Unsur Intrinsik
Dalam sebuah kajian sastra,
unsur-unsur intrinsik meliputi tema, alur (plot), latar, tokoh (penokohan),
sudut pandang, gaya bahasa dan amanat.[9]
Unsur-unsur tersebut saling berkelindan dan mempengaruhi satu dengan yang lain.
Hal itu berarti keberadaan salah satu unsur memiliki fungsi penting untuk
menunjang keutuhan narasi sebuah karya sastra. Jika satu unsur tidak
ditampilkan, maka karya sastra tersebut bukan merupakan sebuah karya yang utuh.
Berkaitan dengan usaha penulis untuk
membangun korelasi antara isi cerita dalam novel Orang-orang Oetimu dan wacana
kekerasan terhadap perempuan, maka terdapat setidaknya tiga unsur intrinsik
yang dipakai sebagai bahan analisis, antara lain tema, tokoh (penokohan) dan
amanat. Pertama, tema yaitu adalah gagasan utama yang melandasi bangunan sebuah
cerita. Menurut Gorys Keraf, tema adalah amanat utama yang disampaikan melalui
karangan.[10]
Umumnya, tema berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek sosial,
politik, budaya, religi, percintaan, maut, dan kematian. Poinnya bahwa tema
sebuah cerita merupakan hal pokok yang diangkat penulis melalui cerita. Tema
yang diangkat dalam sebuah cerita biasanya terkait dengan latar belakang hidup,
ideologi, wawasan dan pandangan pengarang terhadap dunia sekitar. Namun
demikian, tema cerita lazimnya bersifat universal karena menyangkut kehidupan
banyak orang. Gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya tidak melulu
subyektif, tetapi menyentuh obyektifitas kehidupan masyarakat umum.
Felix Nesi dalam novel Orang-orang
Oetimu mengangkat sejumlah tema, seperti kemiskinan, ketidakadilan, penindasan,
penyalagunaan kekuasaan, seksualitas dan kekerasan terhadap kaum perempuan.
Felix Nesi memotret latar belakang historis masyarakat Timor yang didominasi
oleh kekuasaan kolonial dan kecenderungan negatif kaum klerus dalam Gereja.
Penindasan, segregasi dan tindak kekerasan yang terjadi dilihat oleh Felix
sebagai gambaran ironis kehidupan masyarakat. Hal itu kemudian dijadikan
sebagai bahan cerita dalam menulis Orang-orang Oetimu. Secara lebih spesifik,
Felix dalam Orang-orang Oetimu sesungguhnya hendak mengangkat tema tentang
kekerasan terhadap perempuan. Model kekerasan tersebut digambarkan oleh Felix
secara lugas dan jujur. Felix melihat bahwa hegemoni kekuasaan pemerintah dan
sistem hirarki dalam Gereja turut berperan menciptakan kekerasan terhadap
perempuan. Dalam analisis filsafat Foucault, tindak kekerasan terhadap
perempuan merupakan bagian dari proses pendisiplinan tubuh.[11]
Hegemoni kekuasaan, dengan demikian memproduksi tindak kekerasan terhadap
perempuan. Dengan mengangkat tema tentang kekerasan terhadap perempuan, Felix
juga memproposalkan pentingnya keterbukaan sikap dan kemampuan untuk menerima
serta menghargai posisi perempuan dalam masyarakat.
Kedua, tokoh dan penokohan. Dalam
sebuah karya sastra, istilah tokoh merujuk pada sosok orang, individu atau
komunitas tertentu yang membangun keutuhan teks. Kehadiran tokoh menempati
posisi strategis sebagai pembawah dan penyampai pesan, amanat, moral atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.[12] Dalam
novel Orang-Orang Oetimu, Felix Nesi menghadirkan begitu banyak tokoh. Ada
tokoh-tokoh utama yang berperan dalam mengangkat makna tekstual dan ada juga
tokoh sampingan yang mendukung pembentukan makna tersebut. Di atas semuanya,
keberadaan setiap tokoh dalam novel Orang-orang Oetimu memberi nuansa
tersendiri bagi pembentukan wacana kekerasan terhadap perempuan.
Ketiga, amanat. Amanat adalah pesan
moral atau ujaran yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.[13] Dalam
novel Orang-orang Oetimu terdapat beberapa pesan moral yang disampaikan Felix
Nesi. Pesan itu disampiakan secara eksplisit melalui percakapan dan gesture
yang ditampilkan oleh setiap tokoh. Di samping itu, strategi penyampain pesan
dibuat Felix Nesi dengan menghadirkan sejumlah gambaran ironis tentang
penyimpangan sistem kepemerintahan dan keagamaan. Tindak kekerasan yang
dilakukan aparat keamanan dan pelecehan seksual dalam Gereja adalah gambaran
ironis yang disajikan dalam novel Orang-orang Oetimu. Di balik penggambaran
yang buram terhadap sistem kepemerintahan dan keagamaan, Felix Nesi hendak
mengangkat satu nilai utama, yakni penghargaan terhadap keberadaan dan peran
kaum perempuan. Novel Orang-orang Oetimu merupakan usaha Felix Nesi untuk
mengangkat posisi kaum perempuan dalam masyarakat. Felix Nesi menghendaki agar
negara dan Gereja dapat membuka ruang bagi ekspresi kebebasan kaum perempuan.
Keberadaan dan peran mereka harus diterima oleh komunitas masyarakat di mana
mereka berada. Hanya dengan cara demikian, keberadaan perempuan dimungkinkan
survivalitas dan progresifitasnya.
2.3.3 Analisis Unsur Ekstrinsik
Kedudukan pengarang cerita sudah
selalu merepresentasikan sejarah hidup dan konteks tempat di mana ia berada.
Teks cerita yang dihasilkan merupakan reproduksi konseptual atas keberadaan
pengarang dalam ruang dan waktu tertentu. Keterikatan pengarang dengan konteks
hidup memberi pengaruh terhadap reproduksi teks yang dihasilkan. Singkatnya,
unsur-unsur ekstrinsik menggarisbawahi latar belakang kehidupan pengarang,
situasi, kondisi, dan masa yang berkembang saat sebuah karya diciptakan.[14] Unsur
ekstrinsik berupa faktor-faktor di luar teks yang turut memberi pengaruh
terhadap pembentukan makna cerita.
Kehidupan masa kecil yang keras,
budaya patriarki yang mengikat, perjumpaan dengan tentara yang bebal, skandal
seksualitas dalam Gereja, pendidikan yang timpang dan realitas buram kehidupan
masyarakat telah membangkitkan sebuah refleksi di dalam diri Felix Nesi tentang
bagaimana usaha “memperlakukan kehidupan”.[15] Felix
Nesi sadar- demikian setidaknya yang tertulis di dalam novel Orang-orang
Oetimu- lingkungan hidup di mana ia bertumbuh adalah sebuah ruang ekspresi
kebebasan bagi laki-laki semata. Kekuasaan dalam masyarakat adalah model
kekuasaan yang menindas kaum perempuan. Legitimasi kekuasaan dan pembentukan
wacana yang membuka ruang bagi laki-laki serempak pula menunjuk pada pembiaran terhadap
nasib hidup kaum perempuan. Potret kekerasan terhadap perempuan menjadi fakta
yang tidak terelakan. Bertolak dari kenyataan ini, Felix Nesi dalam novel
Orang-orang Oetimu sesungguhnya sedang menyajikan sebuah balada kehidupan kaum
perempuan di Timor. Ia meratapi balada itu sekaligus mengutuk dan menghendaki
agar sistem hidup masyarakat semakin terbuka terhadap kedudukan kaum perempuan.
III KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
3.1 Definisi Kekerasan terhadap
Perempuan
Secara etimologis, kekerasan berasal
dari bahasa Latin yaitu violentia. Orang Inggris memplesetkan kata violentia
menjadi violence yang berarti kekerasan (force). Kekerasan didefinisikan
sebagai perilaku pihak yang terlibat konflik yang bisa melukai lawan konflik
untuk memenangkan konflik. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan kekerasan sebagai perihal (yang bersifat, berciri) keras;
perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau
barang orang lain; kekerasan juga berarti paksaan”.[16] Definisi
ini menekankan bahwa kekerasan terjadi karena dua unsur pokok, yakni perbuatan
merusak seseorang atau sekelompok dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan
tersebut.
Mengacu pada definisi tersebut di
atas, maka kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami sebagai tindakan yang
mengganggu, mengancam dan menyebabkan rasa sakit pada diri perempuan. Kekerasan
terhadap perempuan bermula dari konstruksi sosial dan kultural tentang
pembedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Perempuan diidentikan
sebagai sosok yang lembut, lemah dan lebih emosional. Sedangkan laki-laki
diidentikan sebagai sosok yang kasar, kuat, perkasa dan rasional.[17] Konsep
seperti itu berlangsung secara turun-temurun dan menjadi sebuah kewajaran.
Akibatnya, muncullah sistem kekuasaan yang sepihak berupa budaya patriaki.
Dalam partiarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi
dari pada perempuan dan bahwa perempuan harus dikontrol sebab mereka adalah
milik laki-laki.
3.2 Realitas Kekerasan Terhadap
Perempuan
Sebagaimana disebut sebelumnya,
tindak kekerasan terhadap perempuan lahir karena dorongan alamiah untuk
menguasai. Melansir data dari National Commission on Violence Against Woman,
jumlah kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan yang pesat selama dua
belas tahun terakhir.[18] Catatan
tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan sepanjang tahun 2018 melaporkan terdapat
406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah ini terdiri dari 13.568
kasus yang ditangani oleh 209 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 34
Provinsi, serta sebanyak 392.610 kasus bersumber pada data kasus (perkara) yang
ditangani oleh Pengadilan Agama. Sementara itu, pada tahun 2019, Komnas
Perempuan kembali mencatat kekerasan terhadap perempuan terjadi sebanyak
431.471 kasus yang terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama;
14.719 kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan di Indonesia; dan
1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.[19] Pada
tahun 2020, angka kekerasan terhadap perempuan sedikit menurun, yakni sebesar
299.911 kasus. Naik turun jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan adalah
sinyalemen darurat posisi perempuan dalam masyarakat.
Kekerasan yang dialami perempuan
dapat berupa pemerkosaan, pelecehan, penganiayaan dan lain sebagainya.
Tindakan-tindakan tersebut akan berdampak pada beberapa risiko antara lain,
pertama kehamilan yang tidak diinginkan. Risiko ini berlanjut pada pembentukan
stigma negatif masyarakat atas diri perempuan terkait. Kedua, perempuan yang
mengalami stigma dalam masyarakat cepat atau lambat akan menjadi depresi.
Mentalitasnya akan terganggu sebab ia selalu merasa diri ditolak oleh
lingkungan masyarakat sekitar. Ketiga, luka fisik dan kematian. Kekerasan
terhadap perempuan dapat mengakibatkan luka fisik yang sulit disembuhkan. Bahkan
bisa membuatnya mengalami cacat permanen.[20]
3.3 Fajar Baru Feminisme
Feminisme merupakan sebuah ideologi
dan gerakan yang berusaha mencapai kesetaraan gender dalam ruang lingkup
politik, ekonomi dan sosial. Feminisme lahir sebagai kritikan atas superioritas
kaum pria dalam lanskap kehidupan bersama. Superioritas kaum pria disinyalir
menjadi tanda melemahnya partisipasi kaum perempuan dalam ruang publik.
Prasangka gender yang keliru tentang posisi perempuan sebagai kelas dua dalam
kehidupan membangkitkan suatu kritik dan perlawanan.[21] Dengan
mengajukan kritik atas superioritas kaum pria, feminisme sesungguhnya
menyajikan suatu rekonstruksi ideologis yang mengarah pada pembentukan
egalitarianisme. Feminisme menghendaki agar masyarakat memiliki pemahaman yang
seimbang tentang cara memperlakukan pria dan wanita dalam kehidupan bersama.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas, maka setidaknya ada dua kritik utama yang dilontarkan kaum feminis.
Pertama, kaum feminis mengkritik para ahli teori politik arus utama dalam
memperhatikan kepentingan kaum wanita.[22] Para
ahli teori politik bertendensi melihat kepentingan kaum perempuan hanya sebatas
usaha untuk memperoleh pengakuan di ruang publik. Padahal jika dicermati lebih
jauh, usaha kaum feminis justru terarah pada harapan untuk menciptakan suatu
peradaban dunia yang memposisikan kaum perempuan setara dengan kaum pria.
Akomodasi yang seimbang antara kaum pria dan wanita menciptakan keadilan dalam
hidup bersama.
Kedua, kaum feminis mengkritik para
ahli teori politik yang gagal dalam menangani persoalan gender.[23]
Kritikan kedua ini merupakan akibat yang ditimbulkan karena kekeliruan para
ahli teori politik dalam memperhatikan kepentingan kaum perempuan. Diskriminasi
gender yang berlangsung secara alamiah tersebut menjadi kendala bagi
pembentukan sebuah gerakan emansipasi antara kaum pria dan kaum perempuan.
Dengan mengajukkan kritik
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kaum feminis serempak memproposalkan tesis
egalitarianisme yang menghendaki penghargaan yang seimbang antara kaum pria dan
kaum perempuan. Usaha yang demikian mendapat perhatian serius oleh sejumlah
pemikir kontemporer untuk mendesak transformasi ideologis yang bersifat bias
kepentingan kaum pria. Dalam perkembangan selanjutnya, feminisme terbagi
menjadi beberapa aliran, antara lain feminisme liberal, feminisme radikal,
feminisme marxis, feminisme sosial, ekofeminisme, feminisme eksistensial,
feminisme postmodern dan feminisme multikultural.[24]
IV. WACANA KEKERASAN TERHADAP
PEREMPUAN DARI PERSPEKTIF NOVEL ORANG-ORANG OETIMU
4.1 Orang-orang Oetimu: Sebuah
Counter Narative
Perkembangan kesusastraan
kontemporer menandai suatu arus balik transformasi wacana strukturalisme
bahasa. Kesusastraan kontemporer lahir sebagai kritikan atas kecenderungan
kesusastraan zaman modern yang kaku dan terlampau teoritis. Dalam kesusastraan
kontemporer, bahasa disadarkan kembali akan kualitasnya sebagai senjata pemberi
makna. Bahasa harus menjadi sebuah bahan dialektika dengan disiplin ilmu lain.
Tujuannya jelas supaya semakin banyak makna yang terungkap di dalam sebuah
karya sastra.
Secara struktural, kesusastraan
kontemporer menjadi wacana dekonstruksi bahasa. Ia merombak tatanan bahasa yang
kaku dan menawarkan semakin banyak narasi kecil yang berpengaruh. Perombakan
terhadap sebuah narasi besar (grand narrative) dalam karya sastra selalu
berarti usaha untuk menjaga agar sastra tidak jatuh ke dalam klaim sesat
kebanaran tunggal.[25] Oleh
karena itu, berhadapan dengan naskah-naskah kesusastraan kontemporer, pembaca
tak jarang dihadapkan dengan banyak pilihan terkait tema, amanat dan alur
cerita. Bahasa membentuk medan magnetik yang memproduksi semakin banyak makna.
Novel Orang-orang Oetimu adalah
salah satu bentuk karya sastra kontemporer. Sebagai sebuah bentuk kesusastraan
kontemporer, novel Orang-orang Oetimu memiliki unsur dekonstruktif yang dapat
dianalisis melalui struktur teks dan penggunaan bahasa. Dalam struktur teks,
novel Orang-orang Oetimu tidak disusun dalam format yang padu. Felix Nesi
cenderung membangun teks dengan memisahkan satu bagian dengan bagian lain.
Penyajian teks pun mengikuti alur campuran di mana setiap bagian seolah-olah
berdiri sendiri. Namun demikian, ciri fragmentaris dalam setiap babak cerita
kembali memperoleh muara yang jelas ketika Felix Nesi menonjolkan maksud utama
yang melandasi bangunan tekstual dari keseluruhan cerita.
Di samping strukturisasi teks yang
rumpang, Felix Nesi juga cenderung memperlakukan bahasa secara longgar. Bahasa
digunakan secara bebas selain untuk menghindari kesan formal, tetapi lebih
dalam hendak mengafirmasi esensi sastra sebagai sebuah karya seni yang bersifat
fluktuatif. Sastra menciptakan banyak interpretasi. Atas alasan yang demikian,
maka sastra menolak satu panduan formal terkait usaha pribadi untuk memaknai
suatu karya. Kebebasan berbahasa dalam novel Orang-orang Oetimu, meminjam
istilah filsafat Wittgenstenian sekaligus merupakan suatu permaian bahasa
(language game). Bahasa menjadi milik subyek yang bebas dari intervensi pihak
lain. Model penggunaan bahasa dalam novel Orang-orang Oetimu dapat dilihat dari
kepandaian Felix Nesi dalam memperlakukan bahasa sebagai sungguh milik pribadi.
Subyektivitas berbahasa, pada pihak lain juga menyentuh universal pembaca.
Sebagai misal, Felix Nesi menulis:
“We tolo! Kalau sonde ada uang,
jalan kaki saja, uti! Lu pikir ini lu pu nene pu oto ko? Lu pikir beta beli
bensin pakai daun ko? Mai pu puki ni!”
Apakah ini sebuah kekerasan verbal?
Mengapa Felix Nesi menggunakan makian dalam beberapa bagian novelnya? Bukankah
Felix Nesi terjebak dalam kekeliruan dalam menggunakan bahasa yang etis? Jika
pembaca menggunakan paradigma etika dalam mengkaji novel Orang-orang Oetimu,
maka yang terjadi adalah penuduhan terhadap Felix Nesi sebagai sosok yang tidak
bertindak etis. Felix Nesi adalah sosok pribadi yang kasar dan tidak beradab.
Namun, jika pembaca fokus mengkaji naskah Orang-orang Oetimu dalam kerangka
bahasa, maka pembaca akan melihat adanya model permainan bahasa yang bebas.
Felix Nesi “melepaskan sejenak” panduan berbahasa secara formal untuk kemudian
menyajikan model berbahasa yang kontekstual dengan lingkungan di mana ia hidup.
Aspek dekonstruktif sebagaimana
dijelaskan sebelumnya menghantar pembaca untuk melihat adanya sebuah counter
narative dalam novel Orang-orang Oetimu. Felix Nesi menawarkan sebuah narasi
perlawanan terhadap bentuk kesusastraan modern yang cenderung bersifat linear
dan searah. Cara membahasakan realitas dan persoalan dibuatnya dengan
menyajikan bahasa secara lebih lentur dan segar. Dengan cara itu, maka tema
tentang kekerasan terhadap perempuan terlihat baru dan menjadi lebih kuat dalam
penyajian. Pembaca kelak sampai pada sebuah tesis bahwa kekerasan terhadap
perempuan menjadi diskursus yang kompleks dan membutuhkan solusi alternatif
yang tegas.
4.1 Sumber Kekerasan terhadap
Perempuan dalam Novel Orang-orang Oetimu
Sebagai langkah mendalami kekerasan
terhadap perempuan dalam novel Orang-orang Oetimu, maka baiklah jika pada
bagian berikut disajikan beberapa pokok bahasan tentang sumber kekerasan
terhadap perempuan. Rujukan yang dipakai untuk menggali sumber kekerasan
terhadap perempuan diambil dari pernyataan[1]pernyataan Felix Nesi
dalam novel Orang-orang Oetimu. Sumber-sumber kekerasan terhadap perempuan
tersebut antara lain berasal dari tradisi dan agama, budaya patriarki,
pemisahan domain publik dan privat dan obyektivikasi tubuh perempuan.
4.1.1 Tradisi dan Agama
Dalam kehidupan masyarakat, kedudukan
tradisi dan agama masih memiliki peranan penting terhadap keberlangsungan hidup
individu. Kemajuan dunia modern sekalipun disinyalir belum mampu meretas
pengaruh tradisi dan agama. Sebaliknya, mobilitas peran tradisi dan agama masih
memiliki tempat khusus yang melekat dalam diri individu. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat modern masih membutuhkan tradisi dan agama sebagai panduan
untuk menciptakan pola hidup yang baik. Sebab, dunia modern beserta segenap
tawarannya dinilai tidak mampu memberi suatu panduan normatif tentang bagaimana
menciptakan moralitas hidup yang baik. Proyek dunia modern justru dinilai gagal
menciptakan cita rasa kemanusiaan dalam diri individu. Konsekuensinya, segala
bentuk produksi tradisi dan agama dijadikan sebagai satu-satunya panduan bagai
pembentukkan moralitas.
Keterpakuan pada tradisi dan agama
sebagai sumber moralitas sesungguhnya perlu dilihat lebih jauh. Bagaimanapun
juga, produksi nilai-nilai tradisi dan agama masih menyimpan sejumlah persoalan
tentang legalitas status yang membenarkan pelaksanaanya. Sebagai contoh, tindak
kekerasan terhadap perempuan merupakan bagaian dari konstruksi tradisi dan
agama yng keliru. Dalam tradisi Gereja Katolik misalnya, sistem hirarki
merupakan bagian dari produksi agama yang bias gender. Sistem hirarki
menghendaki agar kaum pria menjadi pemimpin utama dari keseluruhan struktur
gereja. Dengan model pemahaman yang demikian, maka bukan tidak mungkin kekerasan
terhadap perempuan terjadi.[26] Gereja
sepertinya melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dengan basis argumentasi
pada sistem hirarki yang berlaku. Gereja pada bagian berikut cenderung
menjadikan sistem hirarki sebagai pelindung bagi kekerasan terhadap perempuan.
Felix Nesi dalam novel Orang-orang
Oetimu memotret gambaran buram pengaruh tradisi dan agama terhadap perempuan
melalui terbentuknya sejumlah tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam
salah satu bagain novel, Felix Nesi pernah menulis tentang seorang pastor yang
menghamili salah satu anggota Orang Muda Katolik (OMK). Namun demikian pastor
itu melarang agar ia menceritakan kehamilannya kepada orang lain. Demikian
Felix Nesi menulis:
Ia telah mencoba menceritakan itu
kepada seorang romo lain, tetapi romo lain itu meminta ia untuk berhenti
memfitnah dan datang lagi dengan bukti, sebab orang yang ia bicarakan itu
adalah pendamping orang muda katolik yang kesalehannya terkenal sampai ke
pulau-pulau.[27]
Kompromi negatif antara sesama
pastor pun terjadi. Tujuannya jelas yaitu agar pastor terkait dilindungi dari
segala tuduhan negatif yang bakal mengena dirinya sebagai In Persona Christi.
Dengan berlindung pada selubung keagungan gereja, kekerasan dan pelecehan
seksual tentu akan berlangsung secara masif dan terus menerus.
.....,beberapa perempuan
menceritakan afair yang pernah mereka lakukan dengan pastor. Agnes pernah
bertukar rayu dengan romo Agus; Ira sering menjawab telepon mesum dari romo
Rafael; romo Binus pernah megap-megap sesudah meminta Yani berjongkok di
selangkangnya- dan beberapa cerita mesum para romo yang tidak pantas
dituliskan.[28]
Jumlah pelecehan seksual yang dibuat
para romo sebagaimana dilukiskan Felix Nesi merupakan bentuk penggambaran
tentang mirisnya kehidupan para pemimpin Gereja. Felix Nesi serempak
menunjukkan bahwa keberpihakan pada tradisi dan agama yang diperkuat oleh
sistem hirarki Gereja akan menyebabkan semakin banyak tindak kekerasan dan
pelecehan terhadap kaum perempuan.
4.1.2 Budaya Patriarki
Konstruksi tradisi dan agama yang
menempatkan perempuan sebagai kelompok kelas dua diperkuat oleh budaya
patriarki yang berkembang dalam masyarakat. Secara sederhana, budaya patriarki
didefenisikan sebagai pengunggulan terhadap keberadaan dan peran kaum pria.
Sistem budaya yang demikian memperlemah akses terhadap ekspresi diri kaum
perempuan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga mendefenisikan
patriarki (patriakhat) sebagai tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis
turunan bapak.[29]
Defenisi ini bersifat sempit karena melihat patriarki hanya sebagai “tata
kekeluargaan” dan bukan sebuah budaya. Padahal jika diteliti lebih jauh,
patriaki sendiri merupakan sebuah warisan budaya yang bersifat turun-temurun.
Patriarki dilegitimasi oleh situasi sosial budaya yang bias gender.
Tindak kekerasan terhadap perempuan
sesungguhnya disebabkan oleh penerapan budaya patriarki. Keberadaan kaum pria
memiliki “nilai lebih” dibanding dengan keberadaan kaum perempuan. Kaum pria
dinilai lebih kuat bekerja dan mampu mengendalikan kehidupan keluarga.
Sementara itu, kaum perempuan dinilai memiliki watak lemah, lamban dan kurang
produktif. Mereka dipandang sebagai kaum yang hanya berurusan dengan persoalan
dapur. Legitimasi posisi kaum pria membuka kemungkinan adanya tindak kekerasan
terhadap kaum perempuan. Kaum pria sering melakukan pelecehan seksual, memukul
dan memaki kaum perempuan. Tindakan-tindakan ini tak jarang berlindung dalam
kutub patriarki yang dinilai benar oleh konstruksi budaya dan agama.
Felix Nesi dalam novel Orang-orang
Oetimu memotret gambaran buram dari penerapan budaya patriarki. Ia dengan jeli
menunjukkan bahwa budaya patriarki hadir sebagai sumber kekerasan terhadap
perempuan. Kenyataan ini sering tidak disadari oleh masyarakat karena mereka
sudah terpola dengan model budaya yang sama sejak kecil. Budaya patriarki
menjadi semacam sebuah kewajaran yang menyetubuh dalam kehidupan masyarakat. Ia
tumbuh secara alami karena proses legitimasi tradisi dan agama. Kekerasan
terahadap perempuan menjadi seolah kenyataan yang wajar. Felix Nesi, misalnya
menulis:
Salah seorang dari mereka menampar
istri Martin dengan gagang kelewang. Perempuan itu memekik dengan putus asa sebab
ia tahu bahwa tak ada yang bisa menolong mereka, semua laki-laki sedang
berkumpul di depan televisi. Ia ditampar lagi dan disuruh untuk diam, sedang
anak-anak terlalu ketakutan untuk menangis. Si sulung, perempuan kecil yang
mulai tumbuh payudaranya terus bersembunyi di ketiak ibunya, sementara
laki-laki yang lebih kecil lagi telah terkencing-kencing saat diseret dari
tempat tidur.[30]
Penggambaran tentang kekerasan
terhadap perempuan dalam novel Orang[1]orang
Oetimu khas dengan penerapan sistem patriarki. Felix Nesi menulis tentang
perempuan yang dipukul bukan karena kesalahannya, tetapi karena laki-laki yang
menganggap diri superior. Kekerasan atas diri perempuan semacam dibenarkan
karena sistem patriarki yang kuat.
4.1.3 Obyektivikasi Tubuh Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah
simbol obyektivikasi tubuh perempuan. Mereka dipandang sebagai obyek yang hampa
dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka dipandang layaknya benda dan bukan
manusia. Pengobyektivikasian tubuh perempuan merupakan bentuk penurunan derajat
hidup perempuan. Konstruksi tradisi dan agama yang bias gender serta diperkuat
oleh budaya patriarki menjadi rangkaian sebab yang membentuk obyektivikasi
tubuh perempuan. Dengan melakukan obyektivikasi tubuh perempuan, laki-laki
mampu mengungkapkan semua emosi sekaligus memantapkan superioritas diri.
Dalam semua bagian novel Orang-orang
Oetimu, Felix Nesi menggambarkan proses obyektivasi tubuh perempuan secara
besar-besaran. Perempuan ditempatkan di luar konteks dirinya yang utuh. Mereka
hanya menjadi pemuas nafsu birahi laki-laki. Pandangan yang “reduksionis”
terhadap wujud perempuan membuka semakin banyak kemungkinan untuk melakukan
tindakan amoral atas mereka. Kekerasan terhadap perempuan menjadi suatu hal
yang normal. Pelecehan seksual menjadi hal yang biasa. Dalam salah satu bagian
novel, Felix Nesi menulis:
Laki-laki itu berdiri di pintu dan
menatap tubuh Silvy yang melengkung. Derit pintu saat dibuka membuat Silvy
terkejut dan membuka matanya. Kini mereka bertatapan. Satu detik. Dua detik.
Sedetik kemudian, laki-laki itu menyelinap masuk dan menutup pintu. Belum
sempat Silvy berpikir harus apa, kepala laki-laki itu telah bersarang di
selangkangannya yang membuka lebar.[31]
Obyektivikasi tubuh perempuan
sebagaimana digambarkan Felix Nesi berlangsung secara terus menerus. Pelecehan
seksual dan penyiksaan menjadi fakta yang tak terelakkan. Konteks tempat dan
suasana bukan menjadi halangan untuk melakukan pelecehan seksual dan penyiksaan
terhadap perempuan. Felix Nesi menulis:
Ia melihat banyak tahanan di tempat
itu, yang laki-laki disiksa dengan kejam dan kerap kali dipaksa untuk memegang
payudaranya, dan perempuan-perempuan mendapat perlakuan yang tidak lebih baik
darinya. Ia dan tahanan-tahanan itu kerap saling bertatapan, dan mereka telah
sangat lelah bahkan untuk menangis. Berbulan-bulan di tempat itu, Laura
dipindahkan ke gedung bekas toko Sang Tai Hoo di Colmera. Di tempat baru itu
pun perlakuan yang ia terima tidak pernah berubah. Ia terus saja ditanya-tanyai
sambil disiksa. Kadang seseorang masuk dan memerkosanya, kadang ia diangkut
dengan jip ke mes seseorang yang akan menyetubuhinya.[32]
Gambaran mengenai obyektivikasi
tubuh perempuan dalam novel Orang[1]orang
Oetimu adalah bentuk pelumpuhan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan.
Mereka kehilangan bentuk tubuh yang utuh. Tubuh mereka sudah menjadi mesin
hasrat dan pelampiasan emosi kaum pria.
4.2 Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan
merupakan persoalan yang kompleks. Selain disebabkan karena berbagai sumber,
kekerasan terhadap perempuan juga memiliki variasi bentuk yang berbeda.
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan hendak menunjuk pada model atau
jenis perbuatan yang berdampak mengganggu kehidupan kaum perempuan. Ada
setidaknya tiga bentuk kekerasan terhadap perempuan yang umum diketahui, antara
lain kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan verbal. Dari ketiga model
kekerasan tersebut, ada dua model kekerasan yang tampak dalam novel Orang-orang
Oetimu karya Felix Nesi yakni kekerasan fisik dan psikis.
Pertama, kekerasan fisik. Secara
definitif, kekerasan fisik adalah jenis perbuatan yang berpengaruh secara
langsung pada keadaan fisik seseorang. Fokusnya terarah pada tubuh biologis
manusia. Kekerasan fisik mengakibatkan luka fisik, sakit dan bahkan kematian.
Dalam melakukan kekerasan fisik, pribadi dapat menggunakan anggota tubuhnya
sendiri maupun alat bantu tertentu. Ia dapat memukul menggunakan kepalan tangan
atau memakai kayu. Kekerasan fisik dilakukan dengan memukul, menampar,
meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan
barang atau senjata.[33] Bentuk
lain dari kekerasan fisik dapat berupa pelecehan seksual. Ia disebut pelecehan
seksual karena merupakan sebuah tindakan yang melanggar entitas seks sebagai
hal yang suci. Dalam pelecehan seksual terdapat unsur paaksaan, penindasan dan
diskriminasi seksual.
Kisah Laura, seorang gadis yang
dipenjara, dipukul dan diperkosa oleh para tentara menampilkan sebuah gambaran
ironis mengenai kekerasan terhadap perempuan. Felix Nesi dengan berani menulis
kebiadaban para tentara yang kala itu menjadi penjaga keamanan di wilayah
Timor-timor. Superioritas sebagai penjaga keamanan negara membangun sebuah
benteng diri yang terkesan egoistis dan otoriaristik. Dengan anggapan yang
demikian, maka mereka mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Kedua, kekerasan verbal. Kekerasan
verbal merupakan semua bentuk ucapan yang bersifat mengancam, menakuti dan
menghina.[34]
Model kekerasan verbal tidak menimbulkan luka fisik tetapi mengganggu
kenyamanan diri individu. Oleh karena itu, kekerasan verbal menyentuh
mentalitas dan psikologi individu secara langsung. Individu yang terganggu akan
merasa terasing, terisolir dan sulit mengekspresikan kebebasan diri secara
benar. Ia selalu merasa diinterogasi, diawasi dan dilarang oleh orang lain.
Dalam novel Orang-orang Oetimu,
bentuk kekerasan verbal berupa ancaman, makian dan tuduhan yang menimbulkan
ketakutan dalam diri perempuan. Sebagai misal, Felix Nesi menulis:
Usai eksekusi itu sebuah mobil
membawa Laura dan perempuan[1]perempuan
muda lainnya ke Hotel Tropical di Lecidere, jauh ke sebelah timur. Di situlah
penderitaannya dimulai. Ia diperkosa, diinterogasi, dan disiksa. Ia
terus-menerus ditanya tentang hubungannya dengan Unetim, apakah ia pernah ikut
membantai rakyat Timor, mengapa ia menjadi komunis, dan hal-hal lain yang tidak
ia pahami. Ia menjawab bahwa ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi mereka
mencambuk tubuhnya dengan ikat pinggang, menyebutnya pelacur komunis dan
menyundut kulitnya dengan api rokok. Lama kelamaan ia tidak menjawab apa-apa,
tidak berbicara apa-apa, sebab apa pun yang keluar dari mulutnya adalah sia-sia
belaka.[35]
Kutipan di atas merupakan salah satu
contoh kekerasan verbal yang dilakukan para tentara. Biasanya, bentuk kekerasan
verbal berjalan seiring dengan kekerasan fisik yang dilakukan. Tujuannya tetap
sama yakni menciptakan rasa takut dan menghendaki kepatuhan dalam diri perempuan.
4.3 Mengendus Jejak Feminsime dalam
novel Orang-orang Oetimu
Felix Nesi dalam novel Orang-orang
Oetimu tidak menulis suatu traktat yang jelas tentang feminisme. Novel
Orang-oramg Oetimu sebagaimana karya sastra umumnya lebih cenderung menggunakan
penggambaran-penggambaran imajinatif terkait inti suatu persoalan. Namun
demikian, harus diakui bahwa imajinasi sastra merupakan hasil refigurasi
keadaan realitas. Sastra tidak berdiri secara otonom sebagai refleksi subyektif
seorang penulis. Konteks tempat, situasi dan waktu selalu melatari pemikiran
seorang penulis. Pengalaman hidup di dalam konteks tertentu menjadi “bahan
mentah” yang diolah menjadi sebuah karya sastra.
Proses refigurasi adalah sebuah
rangkaian berseri dari aktivitas menulis karya sastra. Penulis selalu bertolak
dari proses prefigurasi dan konfigurasi untuk mencapai refigurasi. Dalam proses
prefigurasi, seorang penulis sesungguhnya sedang memulai usaha untuk mewujudkan
tatanan imajinatif terhadap obyek tertentu. Tahap prefigurasi menjadi titik
star untuk menghasilkan sebuah refleksi. Selanjutnya, tahap prefigurasi
bergerak menuju proses konfigurasi. Penulis membangun tesis tertentu sebagai
inti persoalan yang ditulis dalam karya sastra. Tahap konfiguasi adalah usaha
penulis untuk merangkum kembali fragmen imajinatif yang muncul pada bagian
prefigurasi. Pada titik ini terjadi pembauran horison (fusion horizon) antara
sejarah hidup penulis, konteks kesekarangan dan ideal yang hendak diwujudkan.
Tahap konfigurasi diperbaharui kembali setelah penulis melakukan refigurasi.
Tujuannya agar teks yang sudah dikonfigurasi diperlihatkan dan direfleksikan
kembali agar sesuai dengan konteks kesekarangan. Tahap refigurasi, dengan
demikian merupakan ikhtiar penulis untuk mengkontekstualisasi inti persoalan
yang ditulis dalam karya sastra.
Bertolak dari ketiga proses di atas,
maka pembaca akan sampai pada pemahaman bahwa novel Orang-orang Oetimu
sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap kekerasan atas kaum perempuan.
Singkatnya, novel Orang-orang Oetimu adalah sebuah bentuk gerakan feminisme.
Felix Nesi menolak budaya patriarki yang berlangsung di wilayah Oetimu yang
memproduksi kekerasan terhadap kaum perempuan. Usaha ini dilakukan Felix Nesi
tidak dengan menghadirkan tesis-tesis yang berisi larangan dan batasan. Panduan
etika universal sebagaimana diwacanakan sejak zaman modern pun luput dari
perhatiannya. Sebaliknya, hal yang dibuat Felix Nesi adalah menghadirkan
penggambaran-penggambaran umum yang ironis dan menohok nurani kemanusiaan.[36]
Pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan digambarkan secara jelas
sebagai fakta yang sering terjadi dalam masyarakat Oetimu. Dengan model
penggambaran yang demikian, Felix Nesi pada bagian berikut menginginkan agar
para pembaca tidak sekadar berdiam diri dan meratapi kemalangan hidup
perempuan. Ia mengharapkannya muncul sebuah gerakkan untuk merespons kekerasan
terhadap perempuan. Harapan itu dapat dilihat sebagai jejak feminisme.
Ketika menulis tentang tokoh Silvy
yang diperkosa oleh salah seorang guru di SMA St. Helena, Felix Nesi
sesungguhnya sedang menghadirkan sebuah dilema etis. Guru yang seharusnya
menanamkan nilai-nilai moral pada para siswa justru bertindak sebaliknya. Fakta
lain yang diangkat Felix Nesi yakni terkait kekerasan yang dilakukan aparat
keamanan. Dalam beberapa bagian cerita, Felix Nesi menulis tentang tentara yang
memukul para wanita menggunakan senjata. Mereka lalu diperkosa secara bergilir.
Penggambaran yang demikian menunjukkan pembalikan sikap para guru dan tentara,
juga pastor dan figur yang seharusnya menunjukkan moralitas yang benar. Dengan
model penggambaran yang demikian, Felix Nesi mengajak pembaca agar
merefleksikan peran yang seharusnya ia lakukan sebagai subyek moral (subyek
morale). Kesadaran sebagai subyek moral harus berdampak pada keberpihakan
terhadap mereka yang dilecehkan dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Di
hadapan fakta mengenai kekerasan terhadap kaum perempuan, kita harus mengajukan
perlawanan. Tujuannya agar perempuan memperoleh kedudukan dan penghargaan yang
sama dengan laki-laki. Kita menolak budaya patriarki agar kesamaan hak dan kewajiban
antara kaum pria dan wanita terpenuhi.
4.4 Redeskripsi Subyek Perempuan
Tujuan lain dari gerakan feminisme
sesungguhnya menghendaki agar tercipta redeskripsi subyek perempuan.
Redeskripsi mengandaikan adanya deskripsi yang dibuat terhadap perempuan. Model
deskripsi tersebut adalah sebuah deskripsi yang bias gender. Sejak dahulu,
perempuan dipersepsi sebagai kelompok manusia kelas dua setelah kaum pria.
Definisi yang “reduksionis” terhadap keutuhan diri perempuan membuka
kemungkinan terciptanya pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan.
Mereka dijadikan sebagai alat untuk memuaskan nafsu seksual kaum pria.
Kekerasan terhadap perempuan menjadi fakta yang dipandang normal.
Redeskripsi subyek perempuan adalah
usaha untuk mendeskripsikan kembali kedudukan dan peran perempuan dalam
masyarakat. Fokus redeskripsi terletak pada harapan untuk mengembalikan
pemahaman yang benar terkait keutuhan diri kaum perempuan. Mereka harus
dihargai sebagai manusia yang bermoral. Keberadaan dan peran mereka harus
dilihat dalam keutuhan dirinya sebagai manusia. Mereka dihargai bukan sekedar
sebagai “pelengkap”, tetapi sebagai “satu kesatuan” bagi kehidupan kaum pria.
Tanpa seorang perempuan, laki-laki tidak dapat menjadi pribadi yang utuh.
Proses redeskripsi subyek perempuan
harus berdampak pada keterbukaan ruang untuk ekspresi diri kaum perempuan.
Keberadaan dan peran mereka harus diakomodasi guna mewujudkan nilai-nilai yang
berguna bagi kehidupan bersama. Keterbukaan terhadap kedudukan dan peran kaum
perempuan menunjukkan keadilan hidup. Kedudukan dan peran mereka diperluas jika
akses hidup sosial, politik, budaya dan agama memberi perhatian terhadap
perempuan. Segala kebijakan yang ditetapkan kaum pria akan memperoleh “nafas
baru” jika terbuka kemungkinan bagi perwujudan peran kaum perempuan. Dengan
model pembacaan yang demikian, maka redeskripsi subyek perempuan sesungguhnya
menjadi sebuah keharusan.
Jejak feminisme yang dibangun Felix
Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu harus dibaca dalam kaitannya dengan usaha
untuk meredeskripsi keberadaan dan peran kaum perempuan. Felix Nesi menolak
segala bentuk definisi terhadap keberadaan dan peran kaum perempuan sejak zaman
dahulu. Sebab, jika berkutat pada definisi yang demikian, maka terbuka
kemungkinan yang semakin luas bagi pelecehan seksual dan kekerasan terhadap
kaum perempuan. Laki-laki akan dengan mudah menampar pipi perempuan dan
memperkosanya karena terjebak dalam defenisi yang keliru tentang sosok
perempuan. Dengan melakukan redeskripsi subyek perempuan, maka rasa hormat dan
penghargaan kaum pria terhadap perempuan menjadi lebih tinggi. Mereka akan
menjadikan perempuan bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai “teman
seperjalanan” yang membentuk keutuhan diri.
4.5 Menuju Emansipasi
Usaha kaum feminis berorientasi pada
harapan untuk membangun sebuah tatanan dunia yang bersifat emansipatoris.
Artinya bahwa kaum feminis menginginkan terciptanya sebuah dunia yang adil.
Keberadaan dan peran perempuan harus diakomodasi dalam kehidupan bersama. Tepat
di sini, feminisme memproposalkan emansipasi dan sekaligus mengutuk keras
segala bentuk diskriminasi berbias gender. Bagi kaum feminis, dunia menjadi
lebih adil jika keberadaan dan peran perempuan memperoleh ruang ekspresi yang
sama dengan laki-laki. Tatanan kosmologis akan menjadi lebih seimbang jika
tercipta keadilan dalam memperlakukan kaum perempuan.
Langkah untuk membangun emansipasi
bertolak dari dua sikap, antara lain, pertama rasa hormat terhadap perempuan.
Emansipasi terbentuk pertama-tama dari suatu pemahaman bahwa perempuan adalah
makhluk yang sama dengan laki-laki. Mereka adalah manusia yang sedang berziarah
di dunia yang sama. Oleh karena itu, laki-laki harus mencintai perempuan dan
menganggapnya sebagai “teman seperjalanan”. Rasa cinta yang sama berimbas pada
pembentukan sikap hormat terhadap kaum perempuan. Mereka harus dilihat sebagai
subyek pengisi kehidupan dan bukan obyek pelengkap. Kedua, ikhtiar menciptakan
keadilan. Emansipasi adalah gerakan yang menghendaki adanya perlakuan yang adil
bagi keberadaan dan peran kaum perempuan. Keadilan tercipta jika ada perubahan
pandangan dan sikap kaum pria terhadap wanita.
IV. PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Novel Orang-orang Oetimu adalah
wacana tentang kekerasan seksual. Sebagai sebuah wacana, Orang-orang Oetimu tidak
hanya berkutat menyajikan kisah kekerasan yang dialami kaum perempuan. Keseluruhan
penggambaran dalam Orang-orang Oetimu justru meninggalkan jejak feminisme. Ia
mendobrak kemapanan tradisi dan agama serta budaya patriarki yang lebih
cenderung membuka ruang bagi keberadaan dan peran kaum pria. Dengan menulis
Orang-orang Oetimu, Felix Nesi membuka pemahaman publik pembaca untuk
merefleksikan sejauh mana mereka memperlakukan perempuan dalam kehidupan.
Jejak feminisme dalam novel
Orang-orang Oetimu merujuk pada usaha untuk meredeskripsi subyek perempuan.
Keberadaan dan peran kaum perempuan harus dilihat dalam keutuhan dirinya
sebagai manusia dan bukan alat. Redeskripsi subyek perempuan berdampak lebih
lanjut pada pembentukan emanispasi. Dengan emansipasi dimaksudkan agar
terbentuknya perlakuan yang adil terhadap keberadaan dan peran kaum perempuan.
Fokus emansipasi tertuju pada keterbukaan ruang bagi perempuan dalam sejumlah
urusan publik. Mereka dapat berpartisipasi dalam dunia sosial, politik, pendidikan,
kebudayaan dan keagamaan yang sama dengan kaum pria. Akses yang seimbang dalam
berbagai aspek kehidupan memungkinkan terbentuknya keutuhan diri kaum
perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.
1990.
Dapertemen Pendidikan Nasional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Buku
Adve (Ed.). Zarathustra. Yogyakarta:
Quills Book Publisher. 2008.
Brenan, Julia. Mixing Method:
Qualitative and Quantitative Research. USA: Avebury Aldershoot Publisher. 1992.
Chazawi, Adami. Tindak Pidana
Mengenai Kesopanan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2007.
Darma, Budi. Teori Kesusastraan
Kontemporer. Jakarta: Kompas Gramedia. 2019.
Dr. Faruk. Pengantar Sosiologi
Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2003.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSISTPress, September. 2008.
Kali, Ampy. Diskursus Seksualitas
Michael Foucault. Maumere: Penerbit Ledalero, 2015.
Keraf, Gorys. Komposisi: Sebuah
Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah. 1980.
Kleden, Paul Budi dkk. Memecah
Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan.
Jakarta: Komnas Perempuan. 2009.
Kymlicka, Will. Dalam Wahyudi, Agus
(Penerj.). Pengantar Filsafat Politik Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Nesi, Felix. Orang-orang Oetimu.
Tangerang: Marjin Kiri. 2019.
Nesi, Felix. Usaha Membunuh Sepi.
Malang: Pelangi Sastra. 2019.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori
Pengkajian Fiksi. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1998.
Orong, Yohanes. Bahasa dan Sastra
Indonesia. Maumere: Penerbit Ledalero. 2014.
Risa, Permandeli. Harsono, Irawanti.
Wulansari, Lisa (dkk.). Buku Refrensi Penanganan Kasus-kasus Kekerasan terhadap
Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan. 2019.
Rokhmansyah, Alfian. Pengantar
Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Yogyakarta:
Penerbit Garudhawaca. 2016.
Suryakusuma, Julia. Agama, Seks, dan
Kekuasaan. Jakarta: Komunitas Bambu. 2012.
Sksipsi dan Jurnal
AW, Reza Antonius. “Richard Rorty
dan Ruang Publik Para ‘Penyair’: Sebuah Tematisasi Konsep Ruang Publik di dalam
Filsafat Politik Richard Rorty”. Dalam Melintas Vol. 24 (1). 2018.
Dede, Vincentius Ferer. “Memahami
Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pemberontakannya dalam Sorotan novel
Namaku Matahari” .Skripsi. Maumere: Ledalero. 2013.
Fitriana, Yuni. Pratiwi, Kurniasari.
Sutanto, Andina Vita. “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perlaku Orang Tua
dalam Melakukan Kekerasan Verbal terhadap Anak Usia Pra Sekolah”. Dalam Jurnal
Psikologi Undip Vol. 14 (1). 2015.
Hadinata, Fristian. “Mencari
Kemungkinan Solidaritas Tanpa Dasar Universal: Telaah atas Pemikiran Etika
Sosial Richard Rorty”. Dalam Respons Vol. 23 (01). 2018.
Prior, Jhon Mansfor. “Menuju Gereja
yang Makin Mengindonesia: Keberadaan Gereja serta Ditinjau dari Sisi
Antropologi-Budaya”. Dalam Spektrum 39 (4).
Internet
https://lifestyle.bisnis.com/read/20210305/219/1364222/5-dampak-buruk-dari[1]kekerasan-pada-perempuan.
Dakses pada Kamis, 11 November 2021.
Gramedia Pustaka Utama. “Peluncuran
dan Disuksi Buku Kita Pernah Saling Mencinta”. Dalam
https://youtu.be/XZwYCxPUgUU. Diakses pada Kamis, 11 November 2021.
koran.tempo.co/amp/puisi/458465/puisi-felix-k-nesi.
Diakses pada 26 Agustus 2021.
Pratiwi, Andi Misbahul.
http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir.
Diakses pada Senin, 31 Mei 2021.
RAKAT TV. “Felix K. Nesi- Cerita
Dibalik Suksesnya Novel Orang-orang Oetimu” https://youtu.be/suK6VJ9g2PI.
Diakses pada Kamis, 11 November 2021.
[1]Adve
(Ed.), Zarathustra (Yogyakarta: Quills Book Publisher, 2008), hlm. ix.
[2]Adami
Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), hlm. 26.
[3]Julia
Suryakusuma, Agama, Seks, dan Kekuasaan (Jakarta: Komunitas Bambu: 2012), hlm.
241.
[4]Paul Budi
Kleden, dkk., Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban
Kekerasan Demi Keadilan (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009), hlm. 44.
[5]Dr.
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 10.
[6]Julia
Brenan, Mixing Method: Qualitative and Quantitative Research (USA: Avebury
Aldershoot Publisher, 1992), hlm. 58.
[7]Felix
Nesi, Usaha Membunuh Sepi (Malang: Pelangi Sastra, 2019), hlm. cover belakang.
[8]Selain
menulis cerita pendek dan novel, karya-karya pertama Felix selama berkuliah di
Malang berupa kumpulan puisi. Beberapa puisinya yang terbit di koran Tempo
antara lain, Racun Tikus (2014), Bisain Sore Hari (2014), Berburu Sapi (2014),
Berburu Ikan (2014), Firasat Nenek (2014), Requiem (2014), Pesan Kakek (2014),
Memasak Jagung (2020) dan Sapi Hitam di Aisaet (2020). Bdk.
koran.tempo.co/amp/puisi/458465/puisi-felix-k-nesi, diakses pada 26 Agustus
2021.
[9]Yohanes
Orong, Bahasa dan Sastra Indonesia (Maumere: PenerbitLedalero, 2014), hlm.107.
[10]Gorys Keraf,
Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa (Ende: Nusa Indah, 1980), hlm.
107.
[11]Ampy
Kali, Diskursus Seksualitas Michael Foucault (Maumere: Penerbit Ledalero,
2015), hlm.
[12]Burhan
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press,
1998), hlm. 167
[13]Ibid.,
hlm. 71.
[14]Vincentius
Ferer Dede, “Memahami Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pemberontakannya
Dalam Sorotan novel Namaku Matahari” (Skripsi) (Maumere: Ledalero, 2013), hlm.
15.
[15]Penjelasan
tentang kisah hidup dan perjalanan kepenyairan Felix Nesi bisa disaksikan di
kanal youtube RAKAT TV, “Felix K. Nesi- Cerita Dibalik Suksesnya Novel
Orang-orang Oetimu” https://youtu.be/suK6VJ9g2PI, diakses pada Kamis, 11
November 2021. Bdk. youtube Gramedia Pustaka Utama, “Peluncuran dan Disuksi
Buku Kita Pernah Saling Mencinta”, https://youtu.be/XZwYCxPUgUU, diakses pada
Kamis, 11 November 2021.
[16]Dapertemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), hlm. 677.
[17]Mansour
Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: INSISTPress, 2008),
hlm. 8- 9.
[18]Andi
Misbahul Pratiwi,
http://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/kekerasan-terhadap[18]perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir,
diakses pada Senin, 31 Mei 2021.
[19]Ibid.
[20]https://lifestyle.bisnis.com/read/20210305/219/1364222/5-dampak-buruk-dari-kekerasan-pada[20]perempuan, di akses pada
Kamis, 11 November 2021.
[21]Bdk.
Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik
Sastra Feminisme (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2016), hlm. 37-47.
[22]Will
Kymlicka dalam Agus Wahyudi (Penerj.), Pengantar Filsafat Politik Kontemporer
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 317.
[23]Ibid.
[24]Alfian
Rokhmansyah, op.cit.,hlm. 50-57.
[25]Sejak
dini perlu dijelaskan bahwa kajian tentang kesusatraan pada bagian ini harus
dibaca dalam horison studi kesusastraan (literary study/literary studies) untuk
membedakannya dari ruang lingkup kesusastraan (literature). Ketika masuk dalam
studi kesusastraan, maka yang menjadi obyek kajian adalah sastra dengan
obyeknya. Bdk. Budi Darma, Teori Kesusastraan Kontemporer (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2019), hlm. 1.
[26]Bdk.
Jhon Mansford Prior, “Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia: Keberadaan Gereja
serta Ditinjau dari Sisi Antropologi-Budaya”, dalam Spektrum 39 (4), hlm.
46-52.
[27]Felix
Nesi, Orang-orang Oetimu (Tangerang: Marjin Kiri, Juli 2019), hlm. 154.
[28]Ibid,
hlm. 154-155
[29]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), hlm. 654.
[30]Felix
Nesi, op.cit., hlm. 6-7.
[31]Ibid.,hlm.
124-125.
[32]Ibid.
[33]Permandeli
Risa, Irawanti Harsono, Lisa Wulansari (dkk.), Buku Refrensi Penanganan
Kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum (Jakarta:
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2019), hlm. 35.
[34]Bdk.
Yuni Fitriana, Kurniasari Pratiwi, Andina Vita Sutanto, “Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Perlaku Orang Tua dalam Melakukan Kekerasan Verbal terhadap
Anak Usia Pra Sekolah”, dalam Jurnal Psikologi Undip, Vol. 14 (1), 2015, hlm.
81-93.
[35]Felix
Nesi, op.cit.,hlm. 25.
[36]Terkait
penjelasan ini, penulis berhutang budi pada analisis Richard Rorty tentang
esensi karya sastra. Bagi Rorty, karya sastra adalah sebuah narasi yang mampu
menyentuh nurani kemanusiaan individu terhadap suatu persoalan. Novel, cerpen
dan puisi lebih mampu menggerakan individu untuk bertindak moral dibanding
traktat-traktat etika. Bdk. Fristian Hadinata, “Mencari Kemungkinan Solidaritas
Tanpa Dasar Universal: Telaah atas Pemikiran Etika Sosial Richard Rorty” dalam
Respons Vol. 23 (01), 2018, hlm. 112-122. Dengan alasan ini, maka Rorty menolak
panduan etika normatif sebagaimana diwacanakan secara sporadis dalam filsafat
modern. Bdk. Reza Antonius AW, “Richard Rorty dan Ruang Publik Para ‘Penyair’:
Sebuah Tematisasi Konsep Ruang Publik di dalam Filsafat Politik Richard Rorty”
dalam Melintas Vol. 24 (1), 2018, 57-81.
Posting Komentar untuk "ORANG-ORANG OETIMU DAN WACANA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN"