Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MELAMPAUI YANG HITAM-PUTIH DALAM

 Oleh: P. Ve Nahak, SVD (Dosen IFTK Ledalero)








TEATER “CERMIN”

(Catatan untuk pementasan Aletheia)

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengapresiasi (aplaus cum kritik) pementasan grup teater Aletheia Ledalero bertajuk “Cermin” yang dipentaskan di Maumere Jumat (4/11/2022) dalam rangka perayaan perak TRUK, sebuah lembaga kemanusiaan yang bermarkas di kota Maumere-Flores-NTT. Secara umum, pementasan tersebut dinilai berhasil. Apresiasi publik diwakili, antara lain, oleh Koordinator TRUK, Sr. Fransiska Imakulata SSpS ketika memberi sambutan di hadapan hadirin usai pertunjukan. Seperti judulnya, pementasan malam itu menampilkan realitas sosial masyarakat NTT dan Kabupaten Sikka khususnya yang masih marak dengan kasus human traficking, KDRT, pelecehan seksual anak di bawah umur, KBGO, dll. Untuk sebuah bengkel teater level kampus yang tidak digawangi oleh satupun ahli seni pentas, kreasi anak-anak muda Aletheia patut diacungi jempol. Terlepas dari kekurangan tersebut, tanggapan atasnya selalu perlu. Dalam artikel ini penulis ingin menunjukkan apakah “Cermin” sudah cukup berhasil melampaui tendensi “hitam-putih” dalam membangun karakter para tokohnya, atau malah terjebak dalam stigmatisasi yang justru mungkin ingin dilampaui dalam sebuah karya seni dan lebih lagi dalam sebuah perjuangan kemanusiaan? Untuk mendiskusikan hal ini penulis akan menggunakan metode kualitatif melalui studi kepustakaan dengan teori-teori dasar dalam analisis naratif sebagai pisau bedahnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ….. (Maaf, sudah nyaris 200 kata. Gulir ke bawah dan lihat saja di kesimpulan).

Pendahuluan

Pementasan “Cermin” karya Tim Aletheia, sesuai dengan informasi pada flyer yang disebar ke publik, menampilkan rangkaian adegan yang menggambarkan realitas seputar isu perdagangan manusia. Boleh dikatakan pementasan malam itu ialah sebuah teater dengan genre realisme sosial karena berbagai adegannya menampilkan kenyataan sosial sebagaimana adanya. Namun, menjadi pertanyaan: “kenyataan sebagaimana adanya” yang dimaksudkan dalam genre realisme sosial tersebut kenyataan sosial yang mana dan versi siapa? Dengan demikian, apa yang ditampilkan di atas panggung pada akhirnya juga merupakan cermin dari konstruksi pikiran para sutradara. Konstruksi pikiran inilah yang hendak diurai di sini.

Sebelum pergi lebih jauh, alangkah baiknya kita melihat secara singkat adegan teater malam itu. Penulis sendiri membatasi diri untuk menilai pementasannya. Penulis tidak membuat studi atas naskah teater dengan asumsi bahwa pementasan ialah produk akhir dari naskah dengan segala dinamikanya. Saat menonton penulis duduk di barisan depan panggung utama dengan tatapan menghadap ke utara, ke arah Laut Flores dan Pulau Besar. Jadi, perspektif ini yang akan penulis gunakan untuk melihat panggung, dinamika dan koreografi pentas “Cermin”.

Di sudut kanan di bawah pohon beringin terdapat sebuah panggung dengan sebuah cermin persegi panjang kira-kira berukuran 2x1 meter yang kentara dari segala sisi karena pantulan cahaya lampu yang tersorot dari lantai. Tempat itu adalah markas beberapa gadis, lokasi para pencari kerja. Di sana cermin dan wanita seolah telah menjadi duet “senduk-garpu” yang sulit diceraikan.

Adegan berlanjut dengan kisah perdagangan orang. Para wanita di panggung utama bukan saja menjadi target kekerasan fisik, melainkan juga dihisap oleh lingkaran setan perdagangan orang. Pesan itu kiranya cukup jelas ketika pada adegan selanjutnya seorang Calo bertato masuk ke pentas sambil menggiring seorang perempuan yang diseret seperti kambing. Pada potongan karton coklat yang tergantung di lehernya tertera sebuah tulisan dengan tinta hitam, “Diskon 30%”.

Adegan berikut, lampu menyorot ke kanan dan di sana sedang ada ibadat. Untuk penonton Kristen (tentu yang rajin membaca Kitab Suci!), segera menangkap pesan bahwa adegan itu diadaptasi dari kisah Perempuan yang kedapatan berzinah versi Yohanes 8:1-11. Terhadap adegan itu kita tahu persis bagaimana ending-nya. Tiba-tiba dua polisi masuk pentas. Mereka berseragam plus sepatu boot militer mengubah para aktor menjadi Bharada E (Sepertinya mereka baru saja mendapat instruksi dari Duren 3!). Sang Pastor dicekik dan diseret keluar panggung. Lampu padam.

Ketika menyala lagi, lampu menyorot ke kiri. Di sana tiga orang lelaki sedang bersenang-senang. Main kartu dan minum-minum. Yang satu berpakaian seperti anggota DPR, sedangkan yang lainnya berpakaian batik khas ASN. Seorang Calo menghantar para perempuan yang dijual murah ke sana. Tak lama kemudian dua polisi yang sebelumnya menyeret sang Pastor di kanan ikut bergabung. Ke kiri!

Dua adegan tersebut mengingatkan penulis pada adegan awal Injil Matius 25:31 tentang pengadilan terakhir. Domba-domba yang baik di sebleah kanan, sedangkan kambing-kambing di sebelah kiri. Domba masuk surga, sedangkan kambing dihempas ke neraka jahanam. Dari tata panggung semacam ini, yang bermain antara “kanan-baik” Vs “kiri-jahat” mengandung risiko bahwa realitas sosial seputar human trafficking, dll terlampau disederhanakan. Permainan ruang ini terlampau dominan dalam pementasan “Cermin” sehingga justru terjadi pengerdilan dan pendangkalan realitas. Teater sebagai sebuah karya seni kiranya tidak mudah terjebak untuk membaca realitas seperti papan catur belaka. Tugas seni bukan sekadar untuk menampilkan realitas atau membuat mimesis atas realitas, tetapi lebih daripada itu untuk membongkar segala kedok yang ada di balik realitas dengan sedapat-dapatnya menciptakan dinamika internal pada pihak penonton.

Teater Cermin ditutup dengan sebuah demo. Kabar gembiranya ialah yang memegang pengeras suara seorang perempuan. Ia menjadi pemeran utama pada adegan itu, bersuara lantang sepanjang arak-arakan demonstrasi. Seorang biarawati tua dengan tongkat di tangannya duduk di atas mobil pendemo. Di akhir adengan itu para penyintas, yang sebagian besar perempuan, bangkit, bersuara dan ikut melawan. Adegan selesai.

Metodologi

Dalam analisis naratif, dibedakan beberapa jenis tokoh dalam sebuah kisah. Namun, untuk kepentingan analisis ini penulis membatasi diri pada dua jenis aktor. Pertama, protagonis yakni pemeran utama yang sering digambarkan sebagai orang baik (hero), sedangkan lawannya ialah para penjahat alias antagonis. Dalam banyak kasus, baik peran protagonis maupun antagonis secara simbolik didukung dengan tata rias, busana atau raut wajah yang menimbulkan konotasi tertentu. Pakaian berwarna putih misalnya, menimbulkan pesan suci, pembela kebenaran dan mempunyai kekuatan supranatural. Sebaliknya, warna hitam bisa mewakili dunia gelap, aliansi kejahatan, kekuatan destruktif, dll. Tata rias tokoh protagonis dan antagonis bisa diadaptasi dari berbagai kekayaan simbolik masyarakat setempat.

Umumnya disepakati bahwa penokohan dalam sebuah karya sastra, entah cerpen, novel atau teater misalnya, tidak bisa menghindari dari dua model spektrum penokohan tersebut. Namun, selalu saja dapat dikembangkan variasi yang lebih sublim dari penggolongan yang kasar tersebut. Karya sastra yang bermutu biasanya berusaha untuk melampaui tendensi hitam-putih yang terlalu blak-blakkan dan sederhana. Kompleksitas cerita bisa dibangun dari cara bagaimana seorang pengarang atau sutradara menampilkan karakter tokoh-tokohnya. Sebuah kisah menjadi terlampau sederhana kalau karakter para tokohnya “dikebiri” sehingga panggung teater hanya berwarna hitam atau putih, atau kiri atau kanan, yang baik atau yang jahat. Tokoh yang demikian dalam sebuah karya sastra sering disebut “tokoh datar” (flat character), sedangkan lawannya ialah tokoh yang sering digambarkan secara kompleks antara lain dengan mendalami sisi psikologis dari tokoh tersebut. Dalam dunia sastra tokoh macam ini disebut “tokoh bulat” (round character).

Untuk membuat artikel ini semakin mendalam, penulis akan segera melibatkan Om Mendeley (adiknya Om Google yang sangat adikuasa dalam dunia pen-jurnalan).

Hasil dan Diskusi

a) Teater: antara seni pertunjukan Vs Khotbah moral

Pementasan “Cermin” mirip dengan teater-teater Rendra di zaman Orde Baru. Keberanian Rendra diapresiasi tinggi karena kebernian untuk meneriakkan protes yang blak-blakan semacam itu pada masa Orba bisa dihitung dengan jari. Namun, gaya pentas Bengkel Teater Rendra tidak lepas dari kritik. Saya cenderung sepakat dengan catatan Nur Sahid atas gaya Rendra dan kiranya ungkapan Sahid cocok juga ditujukan kepada pementasan “Cermin”, “… karya kreatif Rendra itu lebih merupakan kreasi reaktif, daripada kreasi yang kreatif”. Maksudnya, pada Rendra panggung teater sekaligus menjadi panggung demonstrasi atau unjuk rasa untuk mengkritisi rezim otoriter Soeharto. Kritik terbuka terhadap rezim yang berkuasa mereduksi dialog-dialog dalam pentas teater menjadi khotbah-khotbah moral satu arah untuk mentobatkan orang lain. Jadi, panggung teater serentak juga menjadi mimbar khotbah di ruang publik untuk menyasar kekuasaan. Bahasa yang dipakai umumnya lugas dan sedapat-dapatnya mudah ditankap oleh rezim (Sahid, 2013, p. 113).

Para penonton bersimpati kepada teater Rendra karena merasa suara mereka diwakili oleh para pelakon Bengkel Teater. Rendra memperlakukan teater bukan melulu sebagai karya seni, tetapi sebagai medium untuk mendidik masyarakat. Namun, kecenderungan ini mengandung bahaya teater ditampilkan untuk menggurui yang lain. Penonton hanya dilibatkan sebagai suporter untuk bersama-sama melawan kejahatan. Dengan lain perkataan, teater sesungguhnya tidak di pentaskan di depan penonton, tetapi dipentaskan bersama penonton untuk melawan tokoh antagonis (rezim).

Aksentuasi berlebihan pada “musuh bersama” di luar panggung menyebabkan dinamika internal yang menyentuh batin penonton diabaikan. “Kreasi yang reaktif cenderung menjadikan karya teater sekadar sebagai reaksi kreatornya atas berbagai masalah yang terjadi di sekelilingnya. Kreasi reaktif membuat penonton menjadi pasif dan puas dengan sikap pasifnya. Ia juga tidak bisa mendinamisir jiwa dan pikiran penonton untuk secara aktif memahami keunikan-keunikan masalah yang ada di balik fenomen sosial yang dipanggungkannya.” (Sahid, 2013, p. 113).

Kritik yang diajukan Sahid kepada Rendra juga berlaku bagi pementasan Cermin. Karena fokus perhatian dikerahkan untuk membuat serangan kepada pihak luar, penonton teater akhirnya hanya menjadi pengekor yang mengamini saja apa yang diteriakkan oleh para aktor. Sebagai sebuah seni pertunjukkan, sebuah teater kiranya perlu memperhatikan aspek sosiologis penonton. Konteks sosial politk di balik produksi karya-karya Rendra tentu amat berbeda dari konteks sosio-politik “Cermin”.

b) Memperjuangkan hak penonton

Kecenderungan teater Rendra yang juga tampak dalam pementasan Cermin karya anak-anak Aletheia menurut pendapat penulis adalah satu level dalam seni berteater yang pada gilirannya mesti diupayakan untuk naik kelas ke level yang lebih tinggi. Para pegiat teater kiranya memacu diri untuk bergerak dari model teater sebagai produk reaktif sutradara terhadap realitas sosial kepada karya kreatif yang turut mengintroduksi kompleksitas persoalan di sekitar isu human trafficking misalnya.

Penulis menganggap upaya mendorong teater ke level yang lebih tinggi sebagai cara untuk membela hak penonton. Teater pada zaman Rendra menangkap keresahan publik yang ditekan rezim Orde Baru dan konteks zaman tersebut memang sedang membutuhkan sebuah teater dengan kharakter demikian.

Kita sedang memasuki dekade ketiga Reformasi di mana ruang ekspresi dan kebebasan berpendapat semakin terbuka lebar. Teater bukan lagi satu-satunya panggung untuk meneriakkan protes atas ketidakadilan sebab sudah terbuka banyak corong untuk menyalurkan pendapat. Ciri media abad ke-21 ini sudah jauh lebih memungkinkan suara-suara protes tersalurkan. Atas dasar konteks yang berubah ini, maka karya seni pentas perlu memikirkan jalan keluar di mana penonton dlibatkan lebih aktif. Penonton tidak datang untuk mengiyakan suara para pelakon karena mereka yang di atas panggung sudah menjadi “penyambung lidah” penonton untuk berteriak kepada rezim, tetapi sebaliknya mesti diundang untuk turut bergumul secara intens dengan tema yang hendak diusung.

Realitas yang ditampilkan dalam pementasan “Cermin” sesungguhnya kejadian lumrah sehari-hari yang bisa didapat dari membaca berita-berita online. Menjadi pertanyaan, apa bedanya membaca berita di koran online tentang kasus human trafficking dan menonton pementasan teater? Penulis mendapat kesan, Aletheia melalui “Cermin” hanya mencopy-paste apa yang diberitakan oleh koran-koran lokal. Penulis sungguh tergoda untuk menyebut teater semacam ini sebagai “plagiarisme” atas realitas. Tugas seni termasuk teater, menurut hemat penulis, bukan sekadar mengulang (menduplikasi) realitas, tetapi lebih daripada itu mesti menggubah realitas itu sedemikian rupa sehingga orang terpanggil untuk ikut berubah.

Teater sebagai sebuah teks pada akhirnya berurusan dengan “pembaca” atau penonton secara pribadi. Di hadapan teks, saya sebagai pembaca mesti mengambil keputusan. Sebuah teks mengundang saya untuk bergumul dengan realitas yang diangkat dalam naskah. Sebuah teks atau naskah yang berhasil ialah naskah yang dapat mengguncangkan keyakinan-keyakinan saya, yang dapat mempertanyakan kembali doktrin-doktrin yang sudah mantap saya yakini, yang dapat menjungkirbalikan fenomen-fenomen umum di permukaan. Intinya, naskah yang dapat memicu pergulatan batin seseorang. Yang membuat penonton atau pembaca masuk dalam dilema-dilema moral yang sulit dipecahkan. Dari sisi ini, perlu diakui, “Cermin” perlu digodok lagi agar mencapai ke level itu.

Berbeda misalnya dengan dilema yang diciptakan tokoh Tuan Duran dalam naskah August Stirnberg berjudul “Kematian yang direncanakan.” Konflik keluarga dan krisis ekonomi yang menyebabkan Duran rela membakar rumahnya demi mendapatkan asuransi. Dilema moral terutama muncul bukan saja karena rumah itu dibakar, tetapi karena Tuan Duran sendiri membakar diri di dalam rumah itu demi menyelamatkan masa depan anak-anaknya (Irianto, I. S., Barkah, H. J., & Yuniarni, 2022). Adegan semacam ini tidak menggurui, tetapi sebaliknya membiarkan penonton ikut masuk ke dalam pergulatan psikologi para pelakon. Inilah yang menurut penulis merupakan “lubang” yang perlu disiasati dalam penggarapan naskah Alethei ke depan.

c) Jebakan hitam-putih

Singkat kata, “Cermin” masih terjebak dalam tendensi untuk mengkotak-kotakkan para tokoh sehingga dalam pementasan kita kehilangan “tokoh bundar” yang lebih kompleks. Semua tokoh terbagi dalam dua sisi: atau tokoh baik atau tokoh jahat. Kecenderungan menyederhanakan tokoh dalam dua kelas “domba” dan “kambing” ala Mat 25 itu cukup sering terlihat sepanjang pentas.

Mereka yang jahat cenderung mengisi ruang panggung sebelah kiri, sedangkan mereka suci dan kudus menempati ruang sebelah kanan. Dua orang polisi masuk pentas dan membekuk pastor di sisi kanan dan penonton bisa menebak, tidak lama kemudian dua polisi tadi ikut nimbrung di klub malam yang ada di sisi kiri. Perpindahan ruang semacam ini menggambarkan stigmatisasi yang bekerja di balik konstruksi panggung teater “Cermin”.

Polisi dengan sendirinya jahat (Apalagi teater ini disusun dan dipentaskan saat kasus Sambo sedang viral!). Teater Cermin tidak berhasil melampaui cap negatif terhadap polisi dan Institusinya yang sering kali dituding ikut bermain. Padahal, dalam realitas kita menemukan ada figur polisi yang sangat dedikatif dan berada di garis depan perjuangan melawan human trafficking. Sebagai penonton, penulis sebetulnya menanti-nanti tampilnya seorang tokoh polisi yang ubah haluan dan ikut menolong penyintas keluar dari kesulitannya. Kita mempunyai contoh dalam perjuangan human trafficking di NTT. Brigpol Rudy Soik adalah seorang anggota Polisi yang dipecat karena berjuang membongkar mafia perdagangan orang di NTT. Perjuangan lembaga TRUK sampai dengan saat ini pun tidak bisa berhasil tanpa dukungan dan kerja sama dengan banyak stakeholder Pemerintah.

Menampilkan seorang polisi yang baik dalam benang kusut persoalan semacam ini dapat menumbuhkan harapan. Sangat boleh jadi, bagi segelintir penonton yang juga berstatus sebagai pengayom masyarakat yang menyaksikan tampilnya figur polisi baik-baik di atas panggung bisa “ditegur secara halus” untuk putar haluan. Cara teater “Cermin” menampilkan figur polisi boleh jadi sinkron dengan fenomen sosial masyarakat kita, tetapi hal itu justru memperkuat stigma buruk terhadap mereka. Dalam hal ini, sutradara tidak mengambil posisi yang berbeda daripada perspektif penonton pada umumnya. Penulis naskah terjebak dalam cara pandang massa yang juga hitam-putih.

Sebaliknya, semua yang berbau agama atau yang dekat dengan rumah ibadat dipentaskan di sisi kanan. Tata ruang ini menegaskan superioritas moral dari tokoh-tokoh utama yang bergerak di ruang tersebut. Cara pandang seperti ini, sekali lagi, sangat cenderung mengebiri realitas. Pastor yang disekap oleh dua orang polisi menegaskan cara berpikir sutradara tentang bagaimana relasi antara Negara dan Agama selama ini. Adegan tersebut menempatkan Negara sebagai pelaku kejahatan dan agama sebagai korban ketidakadilan. Melalui adegan ini penonton diharapkan bersimpati terhadap korban dan sekali lagi mengutuk para pelaku dan jejaringnya termasuk polisi.

Namun, realitas menunjukkan bahwa problem yang kita hadapi tidak sesederhana apa yang coba ditampilkan di atas panggung. Berbagai skandal akhir-akhir ini yang juga melibatkan Gereja mundial menegaskan bahwa sesungguhnya agama pun tidak sepenuhnya “kanan” atau “putih” seperti yang secara sengaja ditata dalam pentas “Cermin”. Agama pun merupakan satu roda gigi yang memungkinkan mesin penghancur bekerja.

Singkatnya, setting panggung antara ruang kiri dan kanan, tata rias yang merujuk pada realitas konkret justru mengandung bahaya memperkuat stigma kepada identitas profesional tertentu.

Sangat boleh jadi, produk pementasan seperti ini merupakan hasil dari apa yang dalam dunia panggung disebut “drama kamar” dan “drama panggung”. Drama panggung adalah lawan dari drama kamar yang biasanya dihasilkan oleh orang yang tidak memahami dunia panggung. Tentu saja, para pekerja seni di balik panggung terutama para penggarap naskah juga masih terus belajar. Sebagai penonton pentas malam itu, penulis melihat titik lemah tersebut yang mesti digodok ulang agar “Cermin” tidak menjadi cermin retak.

Kesimpulan

Artikel ini menunjukkan bahwa teater “Cermin” belum berhasil melampaui tendensi hitam-putih dalam membangun karakter para tokohnya. Teater “Cermin” tidak mengelaborasi dilema-dilema moral yang bisa diolah dari pergumulan hidup para pelakunya. Sebagai misal, bagaimana sikap si Pastor di hadapan Calo yang menjadi penyumbang dana pembangunan Gereja? Bagaimana reaksi Polisi, anggota DPR dan ASN yang suka keluyuran di klub malam bertemu dengan seorang gadis pub yang ternyata adalah anaknya sendiri atau keluarga dari kampungnya? Bagaimana reaksi Suster atau Pastor yang bertemu dengan anggota Polisi jaringan human traficking yang ternyata adalah keponakannya sendiri? Padahal si keponakan ini biasa menyumbang untuk amal dan kegiatan Gereja. Penulis melihat alpanya ruang imajinatif semacam ini dalam pementasan teater “Cermin”. Padahal, menurut hemat penulis, dilema-dilema seperti inilah yang kiranya menjadi ruang garapan karya seni termasuk teater. Tokoh-tokoh yang ditampilkan datar dan kaku, seolah-olah mereka sudah kehilangan potensi untuk berubah. Tokoh-tokoh ini tidak lebih dari robot yang memerankan stigma masyarakat kepada mereka. Dengan kata lain, mereka telah juga kehilangan nalar. Kalau demikian, “Cermin” agak mengabaikan kemampuan transformatif yang bisa lahir dari dasar hati manusia, perangkat utama yang justru diandalkan untuk melahirkan sebuah teater. Dimensi transformasi batin itulah yang kiranya lain kali mesti digarap lebih serius.


Bibliografi 

Irianto, I. S., Barkah, H. J., & Yuniarni, Y. (2022). Pemeran Tokoh Tuan Duran dalam Naskah Kematian yang Direncanakan Karya August

 Strinberg Terjemahan Joko Kurnain. Laga-Laga: Jurnal Seni Pertunjukan, 1662(8).

Sahid, N. (2013). Konvensi-Konvensi dalam Drama dan Teater Rendra. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan, 13(2). https://doi.org/10.24821/resital.v13i2.517

***







Posting Komentar untuk "MELAMPAUI YANG HITAM-PUTIH DALAM "