Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Usaha Membongkar Anonimitas dalam Cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama Karya Budi Darma: Sebuah Hasil Pembacaan II Oleh Fr. Paul Ama Tukan, SVD

 

Fr. Paul Ama Tukan, SVD


1. Pengantar

Tulisan ini lebih pada sebuah hasil pembacaan. Saya mungkin lebih banyak berbicara dari pengamatan pribadi, dari hasil membaca cerpen ini. Saya bukan pengamat sastra, cerpenis, dan pelajar sastra. Saya hanya penikmat sastra. Mungkin catatan ini lebih dilihat dari sudur pandang penikmat. Mengapa? Karena saya memang tidak punya kompetensi apa-apa dalam menimbang karya, mengklasifikasikannya, apalagi memvonis sebuah karya. Sekali lagi ini hanya sebagai hasil pembacaan. Sejak awal menyantap cerpen ini, ada pertanyaan yang mengganggu saya; “mengapa harus cerpen LAki-Laki Tua Tanpa Nama? mengapa harus karya Budi Darma?

Tulisan ini jangan dilihat sebagai suatu tafsiran dogmatis, juga tidak perlu dilihat sebagai mono tafsir. Ada banyak kesan, pesan dan tafsir lain bagi siapa saja yang membaca secara pribadi. Karena itu, izinkan saya untuk memberi satu dua komentar karya ini dari kaca mata pribadi.

II. Laki-Laki Tua Tanpa Nama dan Seputar Latar Belakang dan Proses Kreatif Budi Darma

Laki-Laki Tua tanpa Nama adalah sebuah cerpen yang terhimpun dalam antologi Cerpen berjudul; Orang-Orang Bloomington karya sastrawan kawakan Indonesia, Budi Darma. Laki-Laki Tua tanpa Nama menjadi cerpen pertama dari 6 cerpen lainnya dalam antologi itu (6 judul lainnya: Joshua Karabish, Keluarga M, Orez, Yorrick, Ny. Elberhart, Charles L). Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan pada tahun 1980.

Budi Darma dalam pengantar antologi ini secara gamblang mengaku bahwa cerpen ini lahir ketika ia dalam perjalanan pulang ke tanah air dan sedang di London. Tidak hanya itu, Budi Darma mengatakan bahwa cerpen ini lahir di saat-saat otaknya sudah mulai tak terbiasa dengan menulis. Begitu pun dengan tangannya yang juga mulai kaku mengetik.

Budi Darma menulis: “Dalam perjalanan pulang, di London saya menginap di rumah Yuwono Sudarsono. Bersama keluarganya pada waktu itu dia menetap di sana untuk mencapai gelar doktor dalam ilmu politik. Saya tidur di kamar tamu. Kamar itu tidak luas, akan tetapi menyenangkan. Melalui jendela saya dapat melihat pemandangan bagus. Pada suatu hari, setelah berjalan-jalan ke beberapa tempat penting di London, saya pulang, langsung masuk kamar, dan selama beberapa detik melihat ke luar jendela. Ingatan saya kembali ke sebuah pemandangan di Bloomington. Entah mengapa, sekonyong-konyong saya mengambil kertas dan bolpaint, kemudian menulis. Dalam waktu singkat, selesailah saya menulis cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama. Memang saya dapat menulis dengan cepat, akan tetapi karena sudah lama saya tidak menulis lagi, dan sudah lama otak saya memikirkan soal-soal lain, saya merasakan adanya kekakuan tangan saya. Dengan tidak mempunyai maksud menerbitkannya, saya menyimpan tulisan tersebut.” (Orang-Orang Bloomington, hlm. x)

Tanpa melibatkan tafsir saya yang sedikit lebih serius saya membayangkan bahwa Budi telah menulis secara jujur, profesional, dalam keadaan apa pun lebih-lebih di saat ia diinspirasi oleh sesuatu.  Kejujuran ini bukan soal bagaimana Budi secara apa adanya menerjemahkan imajinasinya ke dalam tulisannya dan karena itu terlihat biasa tetapi lebih pada bagaimana ia jujur mengatakan bahwa ia menulis dalam keadaan pikiran sedang beku, jemari tidak lagu lincah. Ia tidak menulis dalam keadaan pikiran yang sedang licin dan ringan, yang membuatnya lebih mudah menulis. Tidak! Untuk melahirkan karya ini, Budi memang berjuang!

Selain itu, ada hal yang penting yang ingin Budi sampaikan “menulis itu butuh kebiasaan. menulis itu butuh suatu usaha terpola. Suatu usaha yang berkala.  Kita tidak mungkin menghasilkan suatu karya yang bermutu tanpa usaha.” Pendek kata, jika kita ingin menulis dengan baik maka kita perlu membiasakan diri untuk menulis. Hemat saya, syering pengalaman kreatif Budi Darma ini menjadi suatu pembelajaran penting bagi siapapun yang menekuni dunia menulis, sastra khususnya. Menulis pertama-tama bukan untuk diterbitkan tetapi pada menanamkan pola, mencari karakter. Menulis dengan demikian; usaha bercermin diri.

Lelaki Tua Tanpa Nama adalah karya yang sempat terkubur 4 tahun sebelum diterbitkan pada 1980. Setelah ditulis, karya ini tidak mati. Dia justru menjadi karya pertama dalam “Orang-orang Bloomington” yang hemat saya dipilih untuk menjadi semacam “titik start” bagi cerpen lain. Boleh jadi, ia merepresentasikan tipikal Budi secara paling jujur.

III. Sekilas Tentang Budi; Tipikal Menulis

Saya mengenal Budi Darma ketika SMA kelas 1. Ketika itu kami diminta oleh guru Bahasa Indonesia untuk mengumpulkan cerpen-cerpen karya sastrawan Indonesia dan  kemudian dikliping. Saya ingat ada dua cerpen Budi yang saya dapat; “kritikus Adinan” dan “Anak”.

Waktu itu saya memang kurang tertarik dengan Budi karena cerpennya cukup dingin, kurang provokatif, dan hemat saya, ada hal yang tidak perlu dimasukkan dalam cerita. Tentu ini hal yang sangat subjektif. Saya justru lebih suka misalnya dengan Seno Gumira Ajidarma  dalam cerpennya Sepotong Senja untuk Pacar dan Pelajaran Mengarang yang menitipkan pesan profetis secara ekspilisit.

Namun, saat mencari tahu karakteristik/tipikal tulisan Budi saya justru sadar bahwa Budi sebenarnya punya gaya menulis yang khas. Harris Effensi Thahar dalam bukunya “Kiat-Kiat Menulis Cerpen” menulis :” Kejutan-Kejutan Budi terletak pada keanehannya. Kadang-kadang di Luar Logika biasa Dia menyajikan kepada pembaca suatu dunia yang kelam. Dunia yang penuh pertentangan dan ambivalensi.” (Thahar, 2008:45). Saya pikir benar; kau tidak akan menemukan denyut apa-apa sebelum membaca sampai selesai cerpen Budi. Mengapa? Cerpen Budi mengalir tetapi menyimpan kejutan di akhir. Yang mengejutkan adalah ambivalensi.

Di dalam cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama, Kita mungkin tidak membayangkan bahwa laki-laki tua yang selalu berlagak seperti orang berperang (tembak-tembak) itu akhirnya dibunuh oleh Ny. Nolen, dan bahwa pistol yang dia gunakan adalah pistol kosong. Atau bahwa Ny. Nolen yang seorang janda adalah juga seorang pembunuh. Kita mungkin tidak membayangkannya. Kita juga mungkin tidak mengira bahwa pada akhirnya Ny. Casper mati bukan karena tertembak pistol laki-laki tua itu melainkan karena kaget dan akhirnya terantuk.

Dalam tulisannya di majalah Horison no.12/1973 berjudul Tidak Lain Tidak Bukan , Budi mengatakan, “Pengarang adalah seseorang yang bisa menceritakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada cerita”. Kejutan yang Budi buat dalam cerpen-cerpennya memang hampir tidak bisa dipikirkan secara tepat oleh pembaca. Ia membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Ia menciptakan kejutan yang kadang-kadang membuat kita kembali memeriksa alur yang  terbaca lewat. Budi memang tipikal penulis yang pandai meramu cerita dengan plot yang mengagumkan.Ia selalu menyelipkan ambivalensi. Pertentangan. Budi mendapat pengahargaan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980 dan Hadiah Sastra DKJ 1983. 

IV. Sinopsis Singkat Laki-Laki Tua Tanpa Nama

Saya cukup sulit membuat sebuah sinopsis yang ringkas dan tertib setelah membaca cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama. Karena itu untuk menghindari penggambaran yang terlalu berbelit-belit dan atau bertele-tele maka saya berniat menyadur sinopsis yang ditulis oleh Tirto Suwondo dalam bukunya Mencari Jati Diri, Kajian atas Kumpulan Cerpen Orang-Orang Bloomington Budi Darma hal 20-21.

“Di sepanjang jalan Fess tinggalah tiga orang janda, yaitu Ny. MacMillan, Ny. Nolan, dan Ny. Casper. Saya (tokoh), dalam studi dan tinggal di Bloomington, menyewa kamar (loteng) di rumah Ny. MacMillan. Setiap hari, lewat jendela saya selalu dapat melihat dengan jelas rumah janda di sebelah itu. Di rumah Ny. Casper tinggallah seorang laki-laki tua yang menyewa kamar dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu selalu mem-bidikkan pistol. Menurut seorang sopir taksi yang pernah menyaksikkan ulahnya dan juga para janda, laki-laki tua itu konon bekas seorang pejuang pada Perang Dunia II/veteran. Dengan tingkah lakunya yang aneh, saya merasa tertarik dan kemudian ingin berkenalan dengannya. Akan tetapi, usaha saya untuk berkenalan dengan laki-laki tua itu selalu gagal. Pada suatu saat, laki-laki tua itu terlihat menggoda Ny. Casper dengan membidik-bidikkan pistolnya. Melihat peristiwa demikian, Ny. Nolan tidak tinggal diam. Ia langsung menembak laki-laki tua itu hingga akhirnya meninggal. Namun, kendati laki-laki tua itu mati tertembak oleh Ny. Nolan, Ny. Casper juga mati akibat jatuh terpeleset. Ia terpeleset karena takut atas ancaman laki-laki tua itu. Akhirnya, semua peristiwa itu diserahkan kepada yang ber- wajib.

Pada teks asli dan pada synopsis Tirto terdapat perbedaan terutama pada kondisi Ny. Casper. Teks asli mengatakan bahwa Ny. Casper hanya pingsan, sedangkan Tirto menyebut Ny. Casper meninggal.

V. Laki-Laki Tua Tanpa Nama dan Unsur-Unsur Instrinsiknya

Dari hasil pembacaan saya, cerpen Laki-Laki Tua tanpa Nama lebih mengarah pada tema sosial lebih-lebih pada tantangan sosial manusia. Tokoh aku selalu mengalami kesulitan untuk mengenal laki-laki anonim itu padahal perkenalan keduanya sebenarnya bisa dengan mudah terjalin. Budi melukiskan betapa sosialisasi diri begitu sulit. Sosialisasi selalu bergerak dalam kolektivitas. Sosialisasi butuh inisiatif sekaligus feedback.

Alur cerita lebih condong pada usaha/perjuangan si Aku mengenal laki-laki tua itu. Suatu cara bercerita yang konsisten tetapi sekaligus penuh bumbu ambivalensi karena kejutan-kejutan yang tidak terduga. Tentu dengan demikian, Budi sedang menulis dengan suatu alur maju, gaya bercerita secara terstruktur, periodik, mengalir dari satu peristiwa ke peristiwa berikut.

Selanjutnya, saya pikir cerpen ini hampir tidak ada diselipkan banyak majas. Saya tidak menemukan bagian cerita di mana Budi  kental memainkan personifikasi. Beberapa hiperbola memang saya temukan. Seperti dalam kalimat “ Ny. MacMillan, Ny. Nolan, maupun Ny. Casper sering menggusuri daun-daun yang gugur di pekarangannya”, “berbeda dengan musim panas, menjelang musim gugur kota Bloomington dibanjiri oleh kedatangan lebih kurang tiga ,puluh lima ribu mahasiswa. Tapi hemat saya, majas yang sangat kental hampir tidak menjadi karakter menulis Budi. Ia menulis secara cair, terus terang, langsung pada ide. Selain itu, Budi dalam plotnya memakai sudut pandang Orang Pertama; Aku yang terlibat dan Aku sebagai peninjau.

Dari cerpen ini saya juga  menemukan beberapa tokoh penting. Lebih kurang ada 5: Ny. Casper, Ny. Nolen, Ny. Mic Mallen, Laki-Laki Tua Tanpa Nama dan tokoh Aku. Ada juga beberapa tokoh pelengkap seperti Sopir Taksi, Penjual Donat, pemilik tokoh, dll.

VI. Anonimitas Tokoh Aku dan Laki-Laki Tua

Saya pribadi tertarik pada anonimitas tokoh Laki-Laki Tua yang dihadirkan Budi. Pertanyaan yang mengganjal saya ialah; mengapa Budi tidak memberi nama kepada tokoh itu? Mengapa Budi meramu suatu cerita yang penuh perjuangan, di mana tokoh aku begitu bersusah payah mengenal laki-laki tua itu. Mengapa mesti laki-laki tua tanpa nama?

Dalam KBBI anonim: tanpa nama, tidak beridentitas; awanama. Anonimitas: Hal tidak ada nama. Kendati nama seseorang tidak menjadi determinan dasar jati dirinya sebagai subjek tetapi hemat saya, nama menjadi bagian yang spesifik dari diri seseorang.

Hemat saya , Budi sebenarnya sudah memberi identitas pada laki-laki tua itu lewat pengakuan tokoh lain bahwa laki-laki itu seorang veteran, bekas tentara perang dunia II. Tetapi hemat saya anonimitas di sini menggambarkan betapa subjek Aku/tokoh Aku belum bisa memecahkan semacam misteri tersembunyi siapa laki-laki itu secara langsung/dekat. Anonimitas di sini lebih dalam konteks sosial. Pengakuan sosial bahwa kita tetangga misalnya. Anonim di sini lebih pada “saya tidak mengenalmu secara dekat dan langsung, padahal kita sebenarnya tetangga.”

Untuk membongkar anonimitas “dia”, saya mesti berjuang. “Dia” yang datang itu “mengusik” saya. Tetapi untuk mengenalnya secara langsung begitu sulit. Saat ingin mengenalmu, terciptalah disparitas/jarak, empty place di mana ada pranata sosial yang sangat beku, yang diciptakan  pihak ketiga. Dia yang ada di samping, di saat saya harus mengenal yang lain datang dengan individualismenya. Kehadiran yang lain boleh jadi “mengindoktrinasi” saya untuk “tidak ambil pusing” dengan sesama. Sang Aku terkungkung di dalam individualisme tetangganya (Ny. Nolan dan Ny. Casper, juga bahkan Ny. MicMillan).

Aku dan Dia (laku-laki tua tanpa nama ini) sama-sama punya keinginan untuk keluar dari anonimitas diri mereka masing-masing. Inisiatif tidak hanya datang dari tokoh aku tetapi juga datang dari laki-laki tua itu. Hal ini bisa kita simak dalam kalimat ini; “Pemilik toko menjawab: Tidak. Oh, ya, tadi dia berkata, bahwa ingin sekaIi dia bergaul dengan anak-anak muda sekitar dua puIuh tahunan, sehat jiwa dan raganya, untuk dilatih memanggul senjata kalau perlu. Lalu dia mengoceh, katanya dia dulu pernah menjatuhkan bom di atas kapal Jepang. Entahlah, saya tidak tahu macam apa orang itu”.

Situasi Anonim itu memang kadang menyiksa. Anonimitas selalu diperjuangkan agar tidak lagi menjadi anonim. Hampir pasti kita selalu ingin mengenal dan juga dikenal (soal lain kalau seorang fr yang bolos dan menyembunyikan identitasnya). Karena itu, Yang melanggengkan anonimitas itu sebenarnya ialah sikap individualisme ketiga janda itu. Individualisme di sini lebih pada apatisme yang mereka tanamkan untuk menghalangi akses tokoh “aku” untuk membongkar anonimitas si laki-laki tua.

Kata-kata Ny. MicMallen: : "Kalau memang benar di loteng Ny. Casper ada penghuni baru, itu urusan Ny. Casper sendiri. Anda tinggal di sini pun itu urusan saya sendiri. Ny. MacMillan berkata, siapa pun tidak perlu mencampuri urusan Ny. Casper, kalau Ny. Casper sendiri tidak minta tolong.” (hlm.6)

Kata2 Ny. Casper:" "Wah, wah, anak muda, mengapa saya harus mengurusi soal itu segala? Kan dia sudah menyewa loteng saya. Mau berbuat apa pun dia tidak akan saya larang, selama dia tidak merusak dan menimbulkan huru-hara." (hlm.10)

Individualisme inilah yang hemat saya sering menjadi “pranata” yang sulit dibongkar untuk memecahkan anonimitas. Pranata ini justru lebih sering diciptakan oleh struktur sosial, kemapanan, kenyamanan privasi. “Saya tidak akan membantumu selagi kau belum meminta bantuan”. Hemat saya, tanpa kita memeriksa apakah mereka tetap punya telasi intersubjektif, kita tetap punya kesan bahwa tiga janda itu masing-masing punya peran untuk “membatalkan” akses tokoh Aku untuk mengenal laki-laki anonim itu.

VII. Penutup

Hemat saya, cerpen Laki-laki Tua Tanpa Nama bisa lahir dari tiga kemungkinan; pertama, pengalaman pribadi, kedua, peninjau atau hasil pengamatan, ketiga, imajinasi murni. Namun hemat saya, karya akan lebih bernuansa profetis bagi pembaca kalau kita dengan kritis bertanya, Apa yang mau Budi sampaikan?

Kendati saya cukup sulit menangkap apa yang mau Budi sampaikan, saya berusaha untuk mencarinya dan menemukan beberapa poin berikut:

1. Kita selalu bergerak dari anonimitas (keadaan tanpa identitas, tabula rasa) kepada pengenalan. Manusia selalu dalam siklus itu. Lewat yang lain, saya merealisasikan diri, dan lewat saya orang lain menemukan diri.

2. Untuk membongkar anonimitas atau keluar darinya, hampir pasti selalu ada pergolakan, gesekan, tetapi gesekan sosial itu justru memuluskan kita untuk membongkar anonimitas kita dan anonimitas dia, “yang lain”

3. Persoalan yang diselesaikan dengan cara diam-diam itu kurang tampan dan bisa menjadi bola panas yang kapan-kapan bisa meledak. Kita perlu menjadi pendengar yang baik sekaligus penyampai yang baik.

Laku-Laki Tua Tanpa Nama boleh jadi melukiskan kita-kita ini, yang kadang terasing dari pergaulan, yang kadang menjadi kendala bagi yang lain untuk keluar dari anonimitasnya dan menemukan anonimitas yang lain, dan boleh jadi melukiskan kita-kita ini, yang kerap bungkam menutup siapa kita sesungguhnya, seperti si janda tua, Ny. Nolan. Usaha tokoh “aku” adalah usaha membongkar/menemukan anonimitas sesamanya dan anonimitas dirinya sebagai makhluk sosial.(*)


1 komentar untuk "Usaha Membongkar Anonimitas dalam Cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama Karya Budi Darma: Sebuah Hasil Pembacaan II Oleh Fr. Paul Ama Tukan, SVD"