Analisis Cerpen “Laki-laki Tua Tanpa Nama” dalam Buku Orang-Orang Bloomington Karya Budi Darma II Oleh Fr. Ando Sola, SVD
![]() |
Fr. Ando Sola, SVD |
1.
Kesan Pribadi
Pertama kali saya
membaca cerpen Laki-laki Tua Tanpa Nama,
perasaan yang bergejolak dalam hati saya, bukanlah soal mantapnya alur cerita
dan pesan moral yang akan saya dapat, tetapi sebaliknya, yakni kebingungan dan
kegaduhan otak, dan diakhiri dengan kekecewaan. Kesulitan membaca cerpen ini,
nyaris saja membutakan pikiran saya untuk mengenal lebih jauh, siapa itu Budi
Darma, dan seperti apa kekhasan karya-karyanya. Benar apa yang dikatakan si
Budi Darma, dalam Prakata buku kumpulan cerpen OOB (Orang-orang Bloomington), “saya akan tetap menulis, karena
saya percaya bahwa menulis pada dasarnya merupakan proses kekecewaan. Pada
waktu menulis saya merasa bahwa, saya menulis karena saya kecewa”. Ungkapan ini
mendorong saya untuk memahami cerpen Laki-Laki
Tua tanpa Nama. Oleh karena itu, dengan mengikuti prinsip Budi Darma: Saya
akan tetap membaca, karena saya percaya bahwa membaca pada dasarnya merupakan
proses kekecewaan. Pada saat saya membaca saya merasa bahwa, saya membaca karena
kecewa. Kesan singkat dari saya untuk cerpen ini, tidak lain tidak bukan adalah
nafsu yang menggebu-gebu, untuk membaca dan memahami isi cerita, walau sempat
kecewa karena sulit menemukan inti dari cerita tersebut.
2.
Tinjauan Filosofis
Keterasingan
Diri dalam Lingkungan Sosial
Relasi sosial kehidupan manusia pada dasarnya
dipahami sebagai hubungan timbal balik antara manusia dengan dengan Tuhan,
manusia dengan lingkungan hidupnya, dan manusia dengan sesamanya. Konteks ini
menempatkan posisi manusia sebagai individu yang tak bisa terlepas dari yang
lain. Bahkan bisa dipastikan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Masing-masing
orang menyadari diri sebagai pribadi yang memiliki tanggung jawab sosial yang
tinggi terhadap satu sama lain. Oleh karena itu, nilai toleransi hendaknya
dijunjung tinggi sebagai bentuk penerimaan diri atas kehadiran yang lainnya.
Meskipun
manusia pada kodratnya merupakan makhluk sosial, sikap individualisme dan
egoisme masih menjadi “tameng” untuk melindungi diri, mendiamkan diri, dan
melepaskan yang lain. Ketika manusia dihadapkan pada realitas hidup yang
menuntut popularitas dan nama baik, manusia berperan seolah-olah menjadi aktor
antagonis dalam sebuah film atau cerpen lainnya. Kehadiran orang lain sebagai
individu yang bebas, nampaknya bukan lagi menjadi kekayaan sosial, tetapi musuh
sosial. Oleh karena itu tidak heran jika kesenjangan sosial, agama dan ekonomi
masih menjadi “tuan puteri” di tengah dunia ini.
Membaca
dan memahami cerpen Laki-Laki tua Tanpa
Nama, dalam kumpulan cerpen Orang-Orang
Blomington karya Budi Darma, sama saja membaca kembali realitas kehidupan
manusia. Karakterisasi yang terperinci, menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang
perlu diperjuangkan, dan keterasingan hidup individu dalam lingkungan masyarakat
sosial. Kedua konsep ini dijelaskan secara matang, melalui aktivitas dari
masing-masing tokoh. Bisa saya katakan bahwa, mereka yang diceritakan dalam
cerpen ini, merupakan perwakilan dari orang-orang Blomington yang memiliki
tingkat individulisme yang tinggi. Individulisme dipahami sebagai sikap
seseorang yang menjunjung tinggi moral, politik, ataupun sosial sebagai
kemerdekaan pribadi. Seorang individualis selalu mengarahkan dirinya pada
kesejahteraan hidup sendiri dan menuntut kebebasan pribadi yang terlepas dari
tekanan mana pun. Budi Darma menjelaskan ciri-ciri seorang individualis baik,
dengan menunjukan karakteristik dari beberapa tokoh: Ny. MacMillan, Ny. Casper,
Ny. Nolan, Penjaga Tokoh, dan beberapa tokoh lain yang terlibat didalamnya. “Janganlah mengurusi kepentingan orang lain,
dan janganlah mempunyai keinginan tahu tentang orang lain, inilah pesan Ny.
MacMillan setelah menutup ceritanya mengenai kedua tetangganya. Hanya dengan
jalan demikian, katanya kita dapat tenang”.
Poin penting lain yang digambarkan dalam cerpen Laki-Laki
Tua tanpa Nama oleh Budi Darma, juga membicarakan soal kebebasan untuk
mengekspresikan diri sebagai individu yang juga memiliki kodrat sebagai makhluk
sosial. Sebagai makhluk sosial, individu memiliki potensi-potensi yang menjadi
dasar bagi kelangsungan hidupnya. Salah satu potensi yang bisa diambil dari
cerpen ini adalah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan dirinya. Laki-laki
tua tanpa nama, menjadi titik tolak refleksi tentang keberadaan manusia sebagai
manusia yang memiliki eksistensi yang jelas. Karakteristik yang digambarkan
oleh Budi Darma tentang laki-laki tua tanpa nama itu, merupakan gambaran umum
individu sebagai makhluk sosial yang berhak atas ekspresi dirinya. Terlepas
dari keanehannya yang selalu menodong-nodong pistol, laki-laki tua tanpa nama
itu sebenarnya menunjukan situasi ketika manusia tidak sepenuhnya diterima
dalam lingkungan sosialnya. Bisa saja ia dianggap gila karena keanehannya itu,
atau mungkin bisa dikatakan dia adalah seorang veteran yang bangkit dari trauma
masa lalunya. Inilah gambaran umum tentang realitas penolakan terhadap individu
yang mempunyai keterbatasan hidup. Melalui tindakan laki-laki tua tanpa nama
itu, Budi Darma hendak menegaskan bahwa, keterbatasan individu tidak menjadi
tolok ukur utama untuk diterima atau tidak. Manusia sebagai individu dengan
segala kekurangan dan kelebihan, tetap mendapat penghargaan sosial yang sama.
Tirto
Suwondo dalam bukunya yang berjudul Mencari
Jati Diri: Kajian atas kumpulan Cerpen Orang-Orang Bloomington Budi Darma,
menjelaskan karakteristik tema dari keseluruhan isi cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama. Menurutnya:
Cerpen Laki-Laki
Tua Tanpa Nama menampilkan egoisme manusia yang sekaligus berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat sosial. Kecendrungan itu tampak ketika tokoh “saya”
merasa sangat sulit hanya untuk berkenalan dengan laki-laki tua yang secara
kebetulan menarik perhatiannya. Kendati telah berusaha keras, antara lain
dengan bertanya kepada para tetangga, “saya” tetap saja gagal berjumpa dengan
laki-laki tua itu. Kegagalan itu akibat semua orang, termasuk tetangga, bertahan
pada hak individu masing-masing dengan sikap egoistik yang terlalu tinggi.[1]
Egoisme yang terlampau tinggi menjadi problem yang
berpotensi merusak aspek holistik pada kehidupan sosial. Sikap egois menuntut
seseorang untuk menampilkan diri sebagai empunya segala sesuatu. Hal ini
bersebarangan dengan nilai solidaritas yang sebenarnya menjadi keutamaan dalam
kehidupan bersosial. Tokoh “saya” (bisa jadi pengarang sendiri atau bisa juga orang-orang
Bloomington) harus bergelut dengan dirinya
sendiri untuk mengetahui siapa sosok yang membuatnya penasaran. Untuk mencapai
tujuan yang mulia dalam hidup, seorang individu tidak bisa mengandalkan dirinya
sendiri, tanpa bantuan dan masukan dari individu lain. Sering kali terjadi,
manusia terperangkap dalam jeruji egoisme yang terlampaui tinggi. Dalam konteks
ini, kehidupan sosial menjadi momok yang menjijikkan bagi mereka yang tenggelam
dalam praktik hidup egois. Oleh karena itu Budi Darma dalam cerpen Laki-Laki Tua Tanpa Nama, berusaha menegaskan akan pentingnya hidup saling
beradampingan sebagai hakekat dari aspek sosialitas, sehingga individu tidak
terperangkap dalam keterasingan yang membuatnya harus menderita dalam kehidupan
bersama.
3. Penutup
Cerpen Laki-laki Tua Tanpa Nama, dalam kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington, pada dasarnya menekankan pentingnya aspek
sosialitas dalam kehidupan bersama. Manusia adalah individu yang mempunyai hak
dan tujuan hidup yang berbeda. Untuk mencapai tujuan hidup masing-masing,
setiap individu tidak bisa mengandalkan dirinya sebagai individu dalam
individu, tetapi individu dalam kelompok sosial.
[1] Tirto Suwondo, Mencari Jati Diri Kajian atas Kumpulan
Cerpen Orang-Orang Bloomington Budi Darma (Yogyakarta: Elmatera
Publishing), hlm. 30.
Posting Komentar untuk "Analisis Cerpen “Laki-laki Tua Tanpa Nama” dalam Buku Orang-Orang Bloomington Karya Budi Darma II Oleh Fr. Ando Sola, SVD"