Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara II Oleh Fr. Tino Badar, SVD

Fr. Tino Badar, SVD

Sapaan Awal: Pembahasan unsur-unsur dan struktur pembentuk sebuah film 

1. Pertama ucapan terima kasih khusus karena dalam pembuatan film ini sudah melibatkan aktror dan aktrisnya itu asli orang NTT. 
2. Pembahasan film dilihat dari konteks cinematografis dan struktur-struktur pembentuk sebuah film. 

Film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara yang disutradarai oleh Herwin Novianto ini perlu diapresiasi. Selain film genre drama yang sarat makna ini, untuk cara pengambilan gambar, stage by stage, sound designnya, plot Structure, color tune itu sangat bagus. Tidak heran jika film yang dirilis pada Mei 2016 ini telah menerima banyak penghargaan seperti Usmar Ismail Award (UIA), aktris terbaik Ari Kriting, Penulis skenario Jujur Pranoto, penghargaan empat piala Maya dan masih ada beberapa penghargaan yang diterima. Film ini diberi rating oleh IMDb (internet movie databese) sebesar 8.0.  

Kita lihat mulai dari plot structure. Alur yang digunakan dalam film ini adalah alur maju. Film ini dibuka dengan manis, semanis paras Laudya Cintya Bella yang digambarkan dalam lingkaran keluarganya. Setting pembuka yang epic, cukup untuk menggambarkan satu sisi karakter Aisyah yang akan sangat kontras dengan karakternya kala sudah menjadi guru nantinya. Peralihan karakter pun digambarkan manis. Turn point yang dibangun sederhana, namun tepat guna. Alasan emosional ala ala FTV menjadi bumbu penyedap yang membuat masakan bukan menjadi hambar, tapi menjadi makin sensasional. Perubahan karakter tokoh utama sangat terlihat dari film ini mulai dari awal saat masih berada di jawa dan ketika berada di timor. Scene awal, kita disajikan dengan kehidupan sebuah keluarga yang tinggal di pedesaan Ciwidey, jawa barat. Kita dapat lihat bahwa footage dan shot-shot yang diambil itu sangat pas dan mempunyai korelasi ketika kita menonton di footage berikut saat Aisyah sudah berada di Dusun Derok. Set up awal menunjukkan kehidupan Aisyah yang terbilang bagus, tinggal di sekitaran perkebunan teh. Keadaan berbanding terbalik ketika scene berpindah ke Atambua. Shot-shot yang diambil mulai dari perjalanannya di dalam bis, bahwa sinyal yang mulai bermasalah, percakapan dengan seorang suster, dan pemandangan yang ada di Timor. Ada banyak hal yang bisa kita maknai dari sini. Pengalaman-pengalaman baru yang dialami oleh Aisyah menjadi referensi dan pembanding dengan kehidupan sebelumnya. Di sini, kita dapat melihat bahwa Jujur Pranoto ingin memperkuat karakter Aisyah bahwa ia sebagai wanita yang tegar, kuat dan dapat menghadapi tantangan baru. 

Kepiawaian Herwin Novianto menyajikan kritik sosial tidak diragukan lagi. Alur yang sederhana mampu menyajikan tawa getir atas kritik satir lewat beberapa adegan. Meski memiliki muatan serius, tak berarti Aisyah Biarkan Kami Bersaudara menjadi film yang tak menghibur. Justru sebaliknya. Terutama lewat karakter Pedro yang dimainkan oleh Arie Kriting. Seperti gemercik air di tengah padang tandus Atambua, karakter kocak ini berhasil menghadirkan kesegaran dalam film Aisyah dengan humor yang terasa pas pada tempatnya. Kehadiran karakter ini pun tak cuma sekadar menjadi comedic relief, ia juga berperan besar dalam plot cerita. Cerita yang bagus karena ada sedih dan tawa yang berbaur sempurna. Selain itu juga tidak terlepas dari cerita-cerita kecil kisah percintaan antara Aisyah dan Aa Jaya yang sangat pas dan cantik dipadukan dalam film ini. 

Berikut tentang Color Grading. Warna adalah elemen fundamental dari desain dan cerita visual. Biasanya, editor menggunakan dan memainkan warna untuk mengatur suasana dalam pembuatan suatu film. Warna yang dipakai saat Warna yang dipakai dalam film ini sangat cocok dan memanjakan mata. Penempatan warna, saturasi yang pas sangat sesuai dengan latar dan alur cerita. 

Berikut tentang production design-nya. Pertama, Sound pass over-nya sudah bagus lalu background music-nya sangat mendukung dengan setiap adegan yang dimainkan. Kemudian untuk spot-spot yang diambil itu juga sangat menarik dan bagus. Tidak terlalu banyak move on kamera yang dipakai. Benar dalam film ini mengartikan sesungguhnya film adalah seni, seni melukis gerak dengan cahaya. Cara pengambilan videonya sudah bisa memberi pesan tersendiri. 

Akhirnya, Pendapat pribadi dari saya sendiri berkaitan dengan film ini, secara teknis untuk keseluruhan filmnya sangat bagus dan menarik. Tapi ada beberapa hal yang masih perlu diperhatikan dan yang membuat saya bertanya-tanya. 
Pertama. Berkaitan dengan konflik yang kurang kuat di dalam film ini dan dapat saya katakan kurang pas. Konflik berawal ketika seorang murid Lordis Defan yang tidak suka dengan gurunya karena berbeda agama. Jika kita teliti dengan baik ada beberapa kejanggalan dalam pengembangan konflik mulai dari rising action, klimaks dan kemudian pada falling action dan berakir pada kesimpulan. Pada rising action soal pengembangan konflik. Dikatakan Lordis adalah anak yang nakal mampu memprovokasi teman-temannya untuk membenci ibu guru. Padahal kita tahu bahwa Lordis adalah siswa yang jarang masuk kelas. Kemudian ada satu scene yang memperlihatkan Lordis memukul siku Tavarez dan kemudian Lordis sendiri takut bahwa teman-temannya akan mengeroyok dia. Pertanyaannya apa satu dusun tidak bisa menegur Lordis? Apa ini adegan yang sengaja diciptakan agar nantinya ibu guru bisa membujuk Lordis dan kemudian Lordis akan memberikan sajadah kepada ibu guru dan mau berjabat tangan. Apa benar kehidupan di NTT sedramatis itu. Saya pikir ini hal yang terlalu didramatisasi untuk menunjukkan toleransi. 
Kedua. Apakah benar realitas kehidupan di NTT seperti yang ditampilkan? Apakah ini diangkat dari kisah True story dari seorang guru di NTT atau hanya imajinasi tanpa batas dari sutradara dan penulis skenario? Jika cerita ini bercerita melambangkan intoleransi dengan mencapai pada titik toleransi antar umat beragama, maka saya menyangsikan hal ini. Saya berpikir tidak sesuai dengan fakta yang ada karena memang yang terjadi sebaliknya. Sesekali saya berpikir coba ceritanya terbalik. Setting di Jawa misalkan judul film Veronika Biarkan Kami Bersuadara atau yang lain karena dengan begitu dari film juga mampu memberi pengaruh dan dampak besar bagi mereka-mereka yang belum mengenal kata toleransi. Fakta sekarang yang terlihat adalah orang-orang yang membenci umat Khatolik. Maka dari sini saya mengajak teman-teman yang mempunyai bakat di bidang perfilman bisa kembangkan. Dengan demikian kita bisa mengangkat nama NTT kita dengan cara yang lebih indah. 
Ketiga. Ada beberapa kejanggalan dan tentu timbul pertanyaan jika kita perhatikan dengan baik. Apa benar pak dusun tidak bisa membedakan mana suster dan mana yang muslim. Diceritakan bahwa pak dusun sering pergi ke kota Atambua? Lalu dimana sosok Matias yang muncul beberapa kali dan menunjukkan sikap-sikap penuh tanda tanya. Kemudian ada lagi scene persiapan natal yang menimbulkan tanda tanya karena alurnya tidak jelas. Dan pada adegan terakhir ada Lordis yang berjabat tangan dengan Ibu Guru kemudian menyerahkan sajadah milik ibu guru. Hemat saya akan lebih bagus lagi jika pada akhir film ditampilkan lagu-lagu kebangsaan kita dan saya pikir itu akan sangat epic.*

1 komentar untuk "Review film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara II Oleh Fr. Tino Badar, SVD"

  1. Seingat saya tentang Film ini,
    bedah baru sampai pada pembedah, sidang audiens belum sempat menyampaikan komentar ttg isi film dan beberapa catatan kritis atasnya.
    Btw, menarik ulasannya

    BalasHapus