Sastra: Teman Latihan Menjadi Manusia | Oleh P. Ve Nahak, SVD | (Dosen IFTK Ledalero)
“Apa arti dari
kehadiran kita yang singkat di
dunia ini?
Seberapa sulitkah bagi kita
untuk tetap
menjadi manusia?”
(Han Kang)
Pengantar
Kutipan di atas adalah kalimat penutup dari peraih
nobel sastra asal Korea Selatan ketika memberi sambutan di Blue Hall, Balai
Kota Stockholm, Swedia 10 Desember 2024. Pertanyaan perempuan pertama Asia peraih
nobel itu, “Seberapa sulitkah bagi kita untuk tetap menjadi manusia?” –
menurut hemat saya – merupakan interogasi yang penting di tengah kenyataan
bahwa kita – dalam satu dan lain cara – sedang di-setting secara global
untuk menjadi sama seperti mesin atau sekurang-kurangnya semakin tunduk pada
mesin.
Dominasi mesin pintar dalam gawai-gawai canggih
menyebabkan kita, seperti kata Byung Chul Han, menjadi keletihan (burn out)
di hadapan internet. Menggulir layar (scrolling) adalah salah satu
gestikulasi konsumsi yang baru. Kita terus-menerus
menggulir sampai kecapaian dan ternyata tidak menemukan apa-apa. Kamus Oxford
pada tahun 2024 lalu mendefinisikan fenomen ini dengan istilah brain rot atau
“pembusukan otak”. Joko Pinurbo dalam salah satu puisinya mengatakan, “Sudah
lama telepon genggam saya mengenggam tangan saya. Genggamannya lebih kuat dari
genggaman tangan saya padanya.” (Haduh, aku di-follow).
Interaksi berlebihan dengan mesin-mesin cerdas ternyata menjadikan kita seperti orang yang menenggak air laut. Semakin diminum kita semakin dicekik dahaga yang menyiksa. Di tengah paradoks perkembangan teknologi dewasa ini Paus Fransiskus melihat oase yang masih dapat diandalkan sebagai sumber mata air murni di tengah padang gurun peziarahan kita yakni sastra.
Membaca Surat Paus
Paus Fransiskus cukup pesimis dengan dampak negatif
dari teknologi dewasa ini dan karena itu dia mempromosikan “gerakan literasi”
untuk kembali kepada buku, kepada bau kertas, sesuatu yang dapat disentuh
langsung dengan jari tangan. Lebih dari pada itu, kita diajak kembali kepada
sastra yang dapat mengasah kepekaan manusiawi kita.
Terdapat tiga gagasan Paus Fransiskus dalam dokumen
tersebut yang ingin saya garisbawahi.
Pertama, kalau
filosofi di balik era digital sekarang adalah “kecepatan” yang mengorbankan
kedalaman, maka perjumpaan dengan sastra adalah kebalikannya. Sastra menawarkan
kedalaman dengan risiko mengabaikan kecepatan. Artinya, ketika membaca sastra
orang seolah dihisap ke dalam waktu yang melambat.
Paus Fransiskus mengkritik kecenderungan kehidupan
modern yang sering terjebak dalam konsumsi media digital yang dangkal dan
superfisial. Dia menyatakan bahwa sastra merupakan penangkal bagi “kebisingan”
dari media sosial dan informasi yang cepat berlalu. Dengan menyisihkan waktu
khusus untuk membaca karya sastra, calon imam diajak untuk memperlambat ritme
hidup, melatih ketekunan, dan mengembangkan kemampuan berpikir reflektif. Hal
ini penting bagi para imam masa depan, yang perlu memiliki ketenangan batin dan
ketajaman intelektual dalam menghadapi masalah kompleks umat.
Membaca sastra, menurut Paus, adalah bentuk latihan
mendengarkan suara orang lain, termasuk mereka yang berbeda pandangan atau
latar belakang. Hal ini krusial bagi calon imam yang akan melayani umat dengan
berbagai macam pengalaman dan persoalan. Sastra, dengan kekayaan karakter dan
cerita yang dihadirkan, mengajarkan para calon imam untuk lebih peka terhadap
berbagai emosi dan kondisi manusiawi yang mungkin dihadapi dalam pelayanan
pastoral mereka. Dengan membuka diri terhadap pengalaman dan pandangan orang
lain melalui sastra, para calon imam diharapkan dapat menghindari sikap
dogmatis yang kaku dan lebih siap menerima dialog dan perbedaan.
Paus Fransiskus menekankan bahwa evangelisasi tidak
hanya tentang menyampaikan doktrin, tetapi juga membantu orang menemukan
perjumpaan dengan Kristus yang hidup dan manusiawi. Sastra, dengan caranya
mengungkapkan realitas kehidupan manusia, dapat menjadi alat yang kuat untuk
membawa orang lebih dekat pada pengalaman iman. Melalui sastra, calon imam
dapat menemukan cara-cara baru untuk menyampaikan pesan Injil yang menyentuh
hati dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Kedua, membaca
berarti menciptakan sebuah buku baru. “Setiap kali membaca kita sesungguhnya
sedang menerbitkan sebuah buku baru,” demikian kata Paus Fransiskus (No. 3). Membaca
adalah sebuah proses kreatif di mana kita juga ikut menulis kisah kita sendiri
ketika sedang membaca. Membaca memungkinkan produksi ulang teks dari perspektif
pembaca. Uraian Paus Fransiskus ini mengingatkan kita akan ungkapan terkenal
dari Gadamer. Dalam membca terjadi apa yang disebut fusi horizon. Horizon saya
sebagai pembaca beririsan dengan horizon teks.
Dunia saya sebagai pembaca beririsan dengan dunia
teks, tetapi sekaligus mengundang saya untuk menciptakan sebuah dunia baru.
Dunia baru inilah yang merupakan aspirasi dari teks. Dengan demikian, di sini
terdapat aspek revolusioner dari teks atau cerita, yakni bahwa teks sastra mengimpikan
sebuah dunia baru yang lebih baik. Jadi, ada dunia di belakang teks sastra,
dunia teks itu sendiri dan dunia di depan teks yakni realitas yang mesti kita
hadapi kembali. Kata Metz, mengikuti argumentasi Marx, teologi tidak
dimaksudkan untuk menafsir dunia, tetapi untuk mengubah dunia. Impian Marx-Metz dalam hal ini merupakan sebuah impian
yang sangat puitik. Teks sastra tidak boleh diperlakukan sebagai sebuah bacaan
yang berindah-indah dengan dirinya sendiri, dia mesti juga merangsang orang
untuk mengubah dunia. Hal inilah yang juga ditekankan oleh Paus Fransiskus.
Pada tahap ini sebuah puisi, cerpen, atau novel
menjadi cermin tempat kita berkaca, tempat kita memeriksa diri kita sendiri. Sebuah cerita yang baik biasanya dengan cepat dapat
kita identifikasi sebagai “Kisah saya sendiri”. Memang terdapat kesamaan antara
apa yang ada dalam cerita dengan pengalaman konkret saya, namun, sebagai cermin
teks sastra yang bermutu biasanya bisa memantulkan dengan jujur luka, cacat,
noda atau bercak dari realitas kita sehari-hari.
Ketiga, sastra
mengasah ketajaman nurani. Setiap pembaca
sastra akan dituntun untuk membuat disermen (pemindaian roh).
Sejauh pengalaman saya, sastra yang baik biasanya
tidak menggurui, tetapi menggugat nurani. Mempertanyakan keykinan-keyakinan
kita sendiri. Dalam arti itu sastra dekat dengan filsafat. Contoh: Albert Camus
dalam novel Sampar. Ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang meragukan ajaran-ajaran dogmatis agama.
Sastra yang baik tidak tergoda untuk menjadi kotbah
yang moralistik. Kata Ignas Kleden, “Sastra yang baik dapat menyembunyikan
sesuatu dengan cara mengungkapkannya atau mengungkapkan sesuatu dengan cara
menyembunyikannya.” Sastra mengambil jalan memutar dan membantu manusia untuk
menemukan makna tersirat di balik kata-kata yang tersurat.
Sastra tidak bersifat relativistik; sastra tidak tidak tanpa nilai. Representasi simbolis tentang kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kepalsuan, sebagai realitas yang dalam sastra mengambil bentuk individu dan peristiwa sejarah kolektif, tidak membebaskan kita dari penghakiman moral tetapi mencegah kita dari kutukan yang membabi buta atau dangkal… (No. 38).
Dengan membuka pandangan yang lebih luas kepada pembaca tentang keagungan dan kesengsaraan pengalaman hidup manusia, sastra mengajarkan kita kesabaran dalam mencoba memahami orang lain, kerendahan hati dalam menghadapi situasi yang rumit, kelembutan dalam penilaian kita terhadap individu dan kepekaan terhadap kondisi kemanusiaan kita. Penghakiman tentu saja diperlukan, tetapi kita tidak boleh melupakan ruang lingkupnya yang terbatas. Penghakiman tidak boleh dijatuhkan dalam bentuk hukuman mati, melenyapkan orang atau menekan kemanusiaan kita demi pengampuan hukum yang tidak berjiwa (No. 39).
Sastra yang baik bisa sangat sinis tetapi disampaikan dengan cara yang subtil. Dia memuji untuk sekaligus menyusupkan kritik. Felix Nesi dalam novel Orang-orang Oetimu berkisah tentang tokoh Silvy, perempuan yang sangat cerdas di kelasnya. Konon, untuk menguji kepintaran Silvy maka guru di sekolah itu mesti mendatangkan seorang Profesor dari Ledalero didampingi dua orang mahasiswa filsafat dari sekolah para calon imam tersebut.
Dalam potongan adegan tersebut, Felix sebetulnya bermain-main dengan mitos tentang “sekolah favorit”, sesuatu yang masih kita terima begitu saja sebagai sesuatu yang normal. Padahal, adanya “sekolah favorit” sebetulnya merupakan indikasi tentang ketimpangan pendidikan di satu wilayah. Kita berbicara tentang ketimpangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa, tetapi pada saat yang sama kita diam-diam menciptakan jurang ketimpangan yang sama di daerah. Dalam kasus O3 antara sekolah-sekolah Katolik dan sekolah swasta di kampung.
Tanggapan Saya
Sastra dan Meditasi
Ketika pulang dari kunjungan ke Jepang, Paus Fransiskus menjawab pertanyaan wartawan dan mengatakan, “Kita di Barat mungkin kurang selera sastra” (No. 22). Menurut ilmu psikologi, seni dan sastra dikendalikan oleh otak kanan sedangkan logika, ilmu eksakta, pikiran abstrak dikendalikan otak kiri. Paus seolah-olah ingin mengatakan bahwa budaya Barat terlalu menganggungkan otak kiri. Kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai lewat sains dan teknologi ternyata dapat menjerumuskan manusia ke dalam perang. Dalam perlombaan senajata terdapat paradoks yang tak terperikan. Manusia mencapai puncak teknologi dengan akal budinya, tetapi tidak dapat mengendalikan naluri untuk membumihanguskan yang lain.
Sebaliknya sastra adalah cara menangkap, mengolah dan
merefleksikan realitas dengan melibatkan elemen spiritual manusia. Sastra beririsan
dengan filsafat melatih manusia untuk mempertanyakan secara sungguh teknologi
hasil pencapaian akal budinya. Filsafat melalui abstraksi, sedangkan sastra melalui
narasi dan puisi.
Sastra biasanya mengundang orang masuk ke dalam
ruang-ruang paling privat dan mengolah ruang privat itu menjadi sesuatu yang
bisa didiskusikan sebagai isu publik. Dalam Cerpen Coret-coret di Toilet,
Eka Kurniawan merefleksikan tentang kegagalan para wakil rakyat di era
reformasi. Suara protes masyarakat akar rumput akhirnya hanya menjadi seperti
keluhan-keluhan yang dicoretkan pada dinding kakus. Tanpa kekuatan sama sekali
untuk mengubah keadaan.
Proses memproduksi sebuah karya sastra mengandaikan keheningan dan kemampuan untuk bermeditasi (Bdk. Doa Persiapan Meditasi dalam Vademecum SVD hlm. 99): “Bantulah kami untuk memusatkan perhatian pada saat ini dan terhindar dari godaan masa lalu serta impian masa depan.” Yang dimaksudkan dengan kemampuan bermeditasi di sini ialah kesanggupan untuk fokus pada sesuatu yang rutin dan menemukan kejutan di dalamnya.
Buah dari keseriusan pada momentum “sekarang” itulah yang pernah dicapai oleh Archimedes dalam momen eureka, Isaac Newton ketika melihat apel jatuh dan menemukan hukum gravitasi, atau Eka Kurniawan ketika secara konsisten menggunakan ungkapan “Mata ke ranjang…” dalam kumpulan cerpen Gelak Sedih (Gramedia, 2005, hlm. 42, 43, 136).
Dalam sastra, puisi rupanya adalah sebuah karya yang mesti dihasilkan dalam keheningan yang lebih intens dari jenis karya sastra yang lain. Hal ini tidak berarti bahwa orang tidak bisa menulis puisi di tengah keributan dan rutinitas yang padat. Saya sering menemukan bahwa sebuah pusi yang berhasil biasanya sanggup menghasilkan pribahasa atau anekdot baru. Inilah yang barangkali bisa disebut novelty dalam berpuisi. Dalam puisi Surat untuk Tuhan Leo Kleden menggambarkan Tuhan sebagai Dia yang “Lebih tua dari gurun, lebih muda dari embun. Lebih kaya dari cinta, lebih miskin dari rindu.”.
Dalam proses kreatif tentu saja ada karya yang berhasil dan ada karya yang kurang berhasil. Namun, syair dan sajak yang berhasil biasanya merupakan hasil meditasi yang mendalam. Puisi Aku ingin dari Sapardi, Di beranda ini angin tak kedengaran lagi dari Goenawan Mohamad, Sutardji, Rendra…. Ibu Khong Guan, Paskah, Doa malam, Ibu Kami (versi lain dari Bapa Kami) dari Joko Pinurbo pastilah merupakan puisi-puisi yang dihasilkan dari kontak penulisnya dengan keheningan atau setidaknya mengundang pembaca untuk masuk ke dalam keheningan.
Reproduksi Kekerasan dalam Sastra NTT?
Kita sering berhadapan dengan pertanyaan, apakah sastra untuk sastra itu sendiri? Atau sastra harus dapat membawa perubahan?
Surat Paus ditujukan kepada semua orang dan secara khusus kepada para seminaris yang nota bene adalah para calon pemimpin masa depan entah sebagai imam atau awam. Itu berarti kontak dengan sastra diharapkan dapat mengasah kepekaan batin manusia yang kemudian diharapkan berdampak pada perubahan sosial yang struktural sifatnya.
Dalam konteks lokal, kita patut berbangga karena terdapat geliat sastra yang cukup signifikan di NTT dalam dua dekade terakhir ini. Muncul beberapa komunitas sastra yang solid dan konsisten: Santarang di Kupang, Bacapetra di Ruteng, Kahe yang juga bergiat dalam bidang sastra di Maumere, dll. Sejalan dengan itu, mulai muncul nama-nama penulis NTT di koran-koran lokal dan nasional. Terdapat beberapa karya sastrawan lokal kita yang mendapat apresiasi di tingkat nasional.
Namun, para sastrawan NTT “dituding” sering menghasilkan cerita-cerita yang berbau kekerasan. Dengan cara itu para sastrawan kita mereproduksi kekerasan dan dengan demikian membenarkan kesan orang luar bahwa orang NTT keras dan kasar. Mengapa para sastrawan kita sering menulis tentang kekerasan?
Ini pertanyaan menarik. Menurut saya, menulis sebagai kerja kreatif adalah sebuah proses rasional yang melibatkan kesadaran (consiousness), daya pikir dan logika, tetapi juga serentak merupakan sebuah proses yang melibatkan “ketidaksadaran” (unconsiousness). Menulis sastra berarti melibatkan seluruh diri. Ketika menulis cerita, si penulis mesti masuk dalam ceritanya, menghidupkan tokoh-tokohnya, membayangkan ruang dan waktu. Proses itu bisa diumpamakan seperti masuk ke dalam satu “planet” baru dengan grammar/tata bahasa kosmiknya sendiri. Hal itu memang dilakukan dengan sadar artinya melibatkan ratio, tetapi menulis juga adalah sebuah proses psikologis di mana memori kolektif masyarakat mencari ruang untuk menemukan kembali jejaknya di dalam teks.
Kisah-kisah tragis seperti seorang ibu yang diseterika atau dipukul dengan palu di Malaysia, jazad keluarga yang dikirim pulang ke NTT tanpa organ-oragan tubuh, maraknya KDRT, kasus pemerkosaan anak di bawah umur adalah berita sehari-hari yang dicerap baik secara sadar atau tidak lewat gawai-gawai kita atau lewat percakapan sehari-hari. Kenyataan bahwa banyak sastrawan kita masih menulis dengan setting yang keras menunjukkan bahwa memori kolektif kita tentang pengalaman kekerasan ternyata cukup dominan dan termanifestasi dalam proses produksi sastra.
Sastra dan Produksi Realitas
Saya pernah membuat catatan kritis untuk mengingatkan bahwa sastra pentas mesti diupayakan supaya tidak menjadi reproduksi dari realitas, tetapi sebaliknya menjadi tempat produksi realitas baru. Panggung teater bukan tempat untuk meng-copy realitas, tetapi tempat untuk mengusulkan sebuah realitas baru.
Kalau tablo paskah diambil sebagai contoh maka adegan kekerasan antara para algojo dan Yesus mesti diupayakan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi tempat pengulangan atau duplikasi dari kekerasan 2000 tahun silam. Atau malah terjadi eskalasi kekerasan di dalam teater karena kita menyangka bahwa semakin sadis dan histeris sebuah adegan tablo maka umat akan semakin mudah dihantar kepada kejadian aslinya di masa lalu. Intensi semacam ini yang rupanya pernah diusahakan oleh Mel Gibson dalam film The Passion of the Christ. Film Mel Gibson diapresiasi di level internasional. Namun, bukan tanpa kritik. Filnya telah memicu protes orang-orang Yahudi karena adegan kekerasan dalam film itu memprovokasi gerakan anti orang Yahudi. Film itu menegaskan bahwa orang Yahudi adalah orang-orang kejam yang membunuh Yesus dari Nazaret.
Paul Ricouer memang berbicara tentang otonomi semantik rangkap tiga di mana teks atau kisah tentang kematian Yesus, dalam contoh kasus ini, sudah terlepas dari konteks asilnya dan dapat ditafsirkan melampaui maksud pengarang. Namun, di sini terdapat hal yang mesti diwaspadai terutama ketika sebuah teks hendak dibawa ke atas pentas.
Dalam film-film Hollywood atau teater-teater profesional para pemain teater sudah dilatih sedemikian rupa, atau sering kali untuk adegan yang berbahaya para aktor sudah mempunyai pemeran pengganti profesional. Mereka sudah di-make up sedemikain rupa dengan pakaian pelindung dan SOP yang ketat sehingga adegan kekerasan dapat dilakukan dengan aman.
Namun, tablo-tablo kita sering kali terjebak dalam romantisasi kekerasan. Pernah di Afrika ada seorang frater Claret yang meninggal di atas panggung. Karena para algojo sangat menghayati teks, maka mereka menendang Yesus sedemikian rupa dengan sepakan dan terjangan yang lebih barbar dari para algojo Romawi 2000 tahun lalu di bukit Golgota. Si Yesus dari Afrika itu mengerang kesakitan karena kena hantaman persis di ulu hatinya. Ia dilarikan ke rumah sakit dan tidak pernah bangkit lagi.
Sebuah adegan kekerasan saat dibawakan di atas pentas
seketika berubah menjadi proyek simbolik. Adegan kekerasan mesti dimainkan
sedemikian rupa sehingga tidak mereproduksi kekerasan itu sendiri, tetapi
sebaliknya memproduksi sebuah realitas baru (Bdk. Novel Harimau-harimau karya
Mochtar Lubis).
Penutup
Pada akhirnya, sastra sesungguhnya adalah teman latihan untuk menjadi lebih manusiawi. Membaca sastra mengasah kepekaan untuk menjalani hidup secara lebih realistis tetapi penuh harapan.
“Tugas mendesak untuk mewartakan Injil di zaman kita
menuntut supaya semua umat beriman, khususnya para imam, harus memastikan bahwa
setiap orang dapat berjumpa dengan Yesus Kristus yang sesungguhnya yaitu Yesus
yang menjadi manusia, Yesus yang menciptakan sejarah. Kita harus selalu
berhati-hati untuk tidak pernah melupakan "kemanusiaan" (flesh) dari
Yesus Kristus: kemanusiaanNya yang memiliki emosi dan perasaan, kata-kataNya
yang menantang dan menghibur, tanganNya yang menyentuh dan menyembuhkan,
tatapanNya yang membebaskan dan menguatkan, kemanusiaanNya yang memiliki
keramahtamahan, pengampunan, kemarahan, keberanian, keberanian; singkatnya,
kemanusiaaNya yang penuh cinta.” (No. 14).
***
(P. Ve Nahak bersama Fr. Eman Manuk dan Fr. Paul Tukan, usai diskusi di kantin IFTK Ledalero)
Editor: Romy Sogen
Posting Komentar untuk "Sastra: Teman Latihan Menjadi Manusia | Oleh P. Ve Nahak, SVD | (Dosen IFTK Ledalero) "