Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sastra dalam Aletheia: Relativisasi atau Revitalisasi? (Catatan Lepas tentang Diskusi Dokumen Paus Fransiskus “Peran Sastra bagi Pendidikan Calon Imam”) | Romy Sogen

Sastra dalam Aletheia: Relativisasi atau Revitalisasi?
(Ledalero, rumah dan sentra kegiatan Aletheia).

Puisi memulihkan kata sebagai peristiwa. Dalam peristiwa bunyi hadir. Oleh karenanya Hartojo Andangdjaja menggambarkan proses puisi dengan plastis sebagai “dari sunyi ke bunyi”. Bunyi adalah bagian dari bahasa puisi yang seperti napas: begitu penting tapi begitu lumrah.

(Goenawan Mohamad)

Kutipan di atas ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam Puisi dan Antipuisi sebagai sebuah penegasan tentang esensi puisi ketika beliau mengisahkan perkenalan awalnya dengan puisi. Perkenalan ini berawal dari pengalaman sederhana saat masih belia yang ia temukan melalui nyanyian para nelayan di sebuah sungai dan sejumlah senja (Goenawan Mohamad, 2011, hlm 9, 10). Ketika itu, barangkali yang sayu bertaut dengan yang bergairah, yang cemas berjalin dengan nikmat dan bebas, pada akhirnya seorang Goenawan menyukai puisi. Tentu pengalaman tentang sastra Goenawan alami secara berangsur setelah jatuh cinta dengan puisi. Terlepas dari pandangan Goenawan di atas, saya mau terangkan begini; Kutipan di atas lebih dari sebuah pengakuan dan penyadaran bahwa sastra pada umumnya serta puisi pada khususnya, terkadang berasal dari pengalaman yang sederhana tetapi memiliki nilai yang pada akhirnya hanya dapat ditakar dengan kepekaan, seperti napas, begitu penting tapi begitu lumrah.

Dalam sepak terjangnya dengan sastra, anggota teater Aletheia maupun para penyuka sastra di Ledalero mungkin pernah mengalami bahwa sastra begitu lumrah, sehingga kemungkinan untuk dapat dianggap tak penting itu ada. Apalagi di tengah keasyikan mempelajari filsafat dan teologi, sastra dalam bentuk apa saja, dapat menjadi bacaan atau minat sampingan. Ditambah lagi dengan keintiman dalam menggulir layar gawai. Sastra dalam bentuk apapun bisa menjadi salah satu konten yang lewat di beranda lalu kemudian kita labeli sebagai obat penenang karena bersentuhan langsung dengan pengalaman kita. Tanpa kita sadari, dari sunyi ke bunyi ada imaji yang bertarung hebat dalam proses kreatif yang dilakukan oleh seorang penyair.

Sastra sesungguhnya selalu menawarkan kekayaan yang begitu penting tetapi serentak begitu lumrah bagi siapa saja yang tak mau mengasah kepekaannya. Betapa tidak. Di dalam sastra kita dapat menemukan kekayaan bahasa, karena kata-kata tidak hanya bermakna denotatif. Sastra mengandung kata-kata yang konotatif, imajinatif dan kreatif, tanpa menanggalkan makna denotatifnya. Di sini terdapat loncatan makna yang secara tersirat dan menunjukkan bahwa ada berbagai nilai moral yang terkandung lebih dari makna asli kata-kata tersebut. Karena itu sastra selalu universal secara sifat dan kontekstual secara hakikat. Universal karena estetis, imajinatif dan kreatif. Kontekstual karena tidak ada sastra yang tidak lahir dari konteks.

Kamis, hari terakhir bulan Februari kemarin, komunitas Teater Aletheia Ledalero melaksanakan kegiatan diskusi dokumen Paus Fransiskus tentang “Peran Sastra bagi Pendidikan Calon Imam.” Staf Aletheia menghadirkan dua pembicara handal, Frater Paul Tukan, SVD sebagai pembicara I dan Pater Ve Nahak, SVD sebagai pembicara II. Di bawah lambaian beringin, kegiatan diskusi ini menjadi semakin cair karena dimoderatori oleh Frater Eman Manuk, SVD seorang diaspora Solor menurut Paul Tukan. Diskusi berlangsung sangat intens. Ilmu dan pengetahuan tentang sastra mengalir dengan pasti. Selain banyak ide bernas yang lahir dari kedua pembicara hebat ini, pertanyaan-pertanyaan menarik dari peserta diskusi juga memantik ritme diskusi menjadi semakin hangat.

Walaupun demikian, jumlah audiens tak sesuai harapan. Berbeda dengan diskusi-dskusi menarik yang digelar Aletheia 4-5 tahun yang lalu. Ini sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri, bahwa iklim sastra akhir-akhir ini mengalami penurunan kadar di tengah gempuran rasionalitas filsafat dan konten-konten mode layar penuh yang sedang FYP (For Your Page). Saya mengakui, nama Aletheia seiring waktu tak beda jauh dari nama Ledalero itu sendiri (seperti disentil Felix K. Nesi dalam Orang-orang Oetimu), nostalgia atau utopia, tak pasti diantaranya, tersembunyi di dalamnya.

Frater Paul Tukan sebagai pembicara pertama, menjejali pengalamannya dalam bersastra sejak seminari menengah sampai saat ini. Bahkan ketika ia sedang dibuat galau oleh teologi dan unek-uneknya, sastra senantiasa memberikan andil yang besar bagi pengalamannya dalam menulis. Menurutnya “Sastra yang berhasil ialah sastra yang bisa menghadirkan paradoks, mendekonstruksi keyakinan, mentematisasi keresahan, dan menghadirkan kisah sebagai resepsi imajiner. Melalui pembacaannya terhadap dokumen yang didiskusikan di atas, Paul menangkap ide dari Paus Fransiskus yang menegaskan bahwa sastra bisa jadi jalan kepada injil/Sabda di saat hidup dirasa tawar dan membosankan. “Selain itu, sastra berurusan dengan makna. Membaca dan menulis sastra berarti masuk dalam kontestasi makna. Hidup mencari makna adalah hidup yang asyik, yang menggetarkan serentak menggairahkan. Sastra, mendayagunakan semua sumber daya konseptual bahasa.

Tentu, Aletheia dalam kiprahnya tidak sedikit menghadirkan paradoks. Akan tetapi lebih tendensius untuk mereplika kenyataan menjadi naskah yang kemudian dipentaskan. Ini tak beda jauh dengan kita mengasihi orang yang mengasihi kita. Padahal paradoks itu lahir ketika kita juga mengasihi mereka yang memusuhi kita. Tak jarang yang dipentaskan adalah karya abstrak di mata para penikmat teater yang kritis. Di sini Paul secara tidak langsung sedang mendaur sebuah kesadaran agar Aletheia mesti berbenah. Ada pola yang terlampau nyaman dipeluk Aletheia, tetapi selalu tak luput dari ketajaman analitis seorang Paul. Maka ini mesti disyukuri. Aletheia mau tidak mau harus lebih maju dalam proses kreatif selanjutnya.

Pater Ve Nahak, sebagai pembicara kedua, membahas sastra sebagai teman latihan menjadi manusia. Beliau menakar dengan pasti pesan-pesan yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam dokumen tersebut. “Sastra, dengan caranya mengungkapkan realitas kehidupan manusia, dapat menjadi alat yang kuat untuk membawa orang lebih dekat pada pengalaman iman. Melalui sastra, calon imam dapat menemukan cara-cara baru untuk menyampaikan pesan Injil yang menyentuh hati dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.” Beliau juga menampilkan tafsiran-tafsiran langka tentang sepak terjang dan hasil karya beberapa sastrawan yang tentu karyanya lahir dari meditasi.

Bersastra di dalamnya ada kegiatan meditasi. “Proses memproduksi sebuah karya sastra mengandaikan keheningan dan kemampuan untuk bermeditasi.” Maka sebagai calon imam, sastra dan meditasi tak bisa dipisahkan. Atmosfer biara mesti disyukuri dan dimanfaatkan secara baik, karena banyak orang merindukan situasi ini tetapi sulit mengalaminya. Lalu bagaimana dengan kita yang setiap hari mengakrabi kesunyian dan mengamini meditasi? Kita mau buat apa?

Alur pembicaraan Pater Ve kemudian bermuara pada sebuah pesan untuk Aletheia yang tak jauh berbeda disampaikan oleh Paul. Pater Ve menegaskan agar Aletheia dalam proyek-proyek pementasannya ke depan harus memperhatikan proses kreatifnya agar tidak mereproduksi kekerasan dalam karya yang dihasilkan. Proses kreatif yang dilakukan juga harus berdasarkan riset yang mendalam tentang persoalan yang hendak diangkat dalam sebuah pementasan. Selain itu beliau menyarankan agar Aletheia memiliki sebuah kurikulum sederhana yang dapat diterapkan bagi semua anggota komunitas. Rumusan kurikulum ini dapat berupa beberapa bahan bacaan tentang sastra atau beberapa teori mutakhir tentang teater. Bahan-bahan ini kelak akan menjadi bekal bagi segenap anggota Aletheia, sehingga mereka tak asal ada dan selesai ketika memilih bergabung menjadi anggota Aletheia.

Apa yang disampaikan oleh kedua pembicara dalam diskusi ini, serta pertanyaan-pertanyaan dari para audiens turut memberikan kontribusi bagi segenap anggota teater Aletheia. Lebih disyukuri lagi kalau ada penikmat sastra yang terpikat dan menemukan sesuatu dalam tulisan kedua pembicara di atas. Saya sendiri menemukan adanya dinamika faktual antara kedua pembicara dan tema diskusi yakni, ketika Paul Tukan sebagai calon imam menemukan peran sastra dalam perjalanan hidupnya dan Pater Ve Nahak sebagai imam menegaskan sastra sebagai teman latihan untuk menjadi lebih manusiawi.

Oleh karena itu, sastra mesti diakrabi oleh calon imam siapa saja (bukan hanya Paul), agar kelak mendarah daging dalam dirinya sebagai Imam siapa saja (bukan hanya P. Ve) yang karya pewartaannya menjangkau kedalaman realitas umat. Berdasarkan apa yang saya pahami dari kedua pembicara di atas, saya merefleksikan dua fenomena yakni relativisasi dan revitalisasi sastra dalam Aletheia. Kedua fenomena ini sedang terjadi dan mesti disadari oleh semua anggota Aletheia dan siapa saja yang kelak akan mengalami sastra dalam Aletheia.

Relativisasi Sastra dalam Aletheia

Sejak awal hingga saat ini, Aletheia merupakan ruang kreasi seni para peminat teater dan sastra di Seminari Tinggi Santu Paulus Ledalero. Aletheia menjadi sentra kegiatan sastra ketika kelompok Arung Sastra Ledalero tak lagi dihidupi. Sebagai ruang kreasi, Aletheia menjadi wadah agar para pegiat teater dan sastra yang bergabung di dalamnya dapat mengembangkan bakat mereka secara maksimal.

Kiprah Aletheia juga tak dapat diragukan lagi. Catatan sejarah pementasan, diskusi dan pengalaman orang-orang yang pernah hidup dalam komunitas ini selalu bombastis. Mereka telah menuai banyak hal termasuk pengalaman mereka akan sastra itu sendiri. Bahkan ketika ada yang memilih jalan lain, mereka tetap membawa spirit Aletheia, lalu mengembangkannya melalui komunitas-komunitas sastra di luar sana.

Tentu kenyataan ini tidak hanya menjadi nostalgia, tetapi juga menjadi cermin bagi kita untuk melihat wajah sastra dalam Aletheia. Menurut hemat saya, Aletheia cukup stagnan dalam hal sastra. Apalagi dengan ritme program yang itu-itu saja, ditambah tuntutan dinamika biara dan kampus. Terkadang kita juga masih salah kaprah dengan tugas dan tanggung jawab kita masing-masing. Proses kreatif kemudian terpusat pada satu orang. Usaha untuk mendalami sastra mengandalkan kemampuan otodidak. Untuk hal ini, kita sedang dalam ketertinggalan.

Saya sendiri pernah mengalami hal ini ketika beberapa kali menulis naskah teater untuk kegiatan pementasan. Bahkan akhir-akhir ini salah satu persoalan yang mencuat adalah berkurangnya keahlian anggota Aletheia dalam menggarap sebuah naskah teater. Ini sebuah kegelisahan yang terus-menerus ribut dalam kepala, karena saya khawatir dengan perjalanan Aletheia di hari-hari yang akan datang.

Menurut hemat saya, persoalan di atas muncul karena adanya relativisasi sastra dalam Aletheia. Ada anggapan bahwa pengetahuan tentang sastra itu relatif, sejauh kita punya waktu dan kesempatan untuk mendalaminya. Anggapan ini kemudian merambat ke cara pandang kita tentang Aletheia dan keterlibatan kita dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Aletheia. Kita akhirnya memupuk kenyamanan melalui nostalgia dan nama besar Aletheia. Keyamanan ini membuat banyak dari kita yang enggan mengembangkan kemampuan kita dalam bersastra. Ada keyakinan yang dibangun dengan percaya diri bahwa apa yang dimiliki Aletheia saat ini sudah sangat cukup. Aletheia telah menemukan caranya sendiri dalam bersastra dan berteater. Ini yang mesti kita hindari.

Keadaan justru menjadi semakin parah ketika kita tidak merelakan waktu dan tenaga untuk Aletheia. Kenyamanan ini akhirnya menjadi batas yang membelenggu. Kita enggan beranjak untuk mencari khazanah baru tentang sastra dan teater yang tengah berkembang pesat di luar sana. Saya pikir, kita mesti bangkit dan keluar dari relativisasi ini. Hal-hal baik yang ditawarkan dalam diskusi kemarin mesti kita jadikan batu loncatan agar kita tidak terus terbelenggu dengan kestagnasian tersebut. Kenangan adalah bagian yang vital dari kisah kita dalam Aletheia, tetapi lupa juga adalah bagian tersembunyi dari lirik, yang pernah kita gaungkan di atas panggung. Kita tidak benar-benar bermaksud untuk lupa tentang kiprah Aletheia. Kita hanya berusaha mengenangnya sebagai pelajaran untuk proses kreatif kita ke depan.

Revitalisasi Sastra dalam Aletheia

Dalam satu kesempatan latihan teater, saya mengundang seorang sahabat yang pernah banting tenaga dan ide di Aletheia. Sambil menyaksikan latihan tersebut beliau berbisik kepada saya; “Kawan, Aletheia masih seperti ini juga kah? Tentu pertanyaan ini menggelitik di benak saya. Ini bukan sekadar pertanyaan. Saya tak punya tanggapan apa-apa soal pertanyaan tersebut, karena memang faktanya demikian. Saya kembali ke kamar, merenung tak habis-habisnya, sambil merawat hati agar tetap optimis. Sastra dalam Aletheia mesti direvitalisasi. Ini satu-satunya jalan yang ditempuh agar kita tidak lagi terjerembab dalam relativisasi di atas.

Untuk merevitalisasi sastra dalam Aletheia, saya pikir kita mesti kembali ke penegasan Paus Fransiskus tentang pentingnya membaca sastra di tengah gempuran arus media yang lebih gencar melebihi buku. Kedua pembicara dalam diskusi di atas juga selalu menekankan pentingnya membaca. Kita memang bisa membaca tanpa menulis, tetapi tidak bisa menulis tanpa membaca. Karena itu aktivitas membaca mesti kita tingkatkan terutama, membaca karya-karya sastra.

Budi Darma dalam Solilokui (1984, hlm 42) juga menerangkan bahwa dalam menumbuhkan wawasan sastra, langsung membaca karya sastra adalah lebih baik daripada mempelajari teori-teori sastra terlebih dahulu. Pokok pikiran yang sama ini mengacu pada ajakan untuk membaca. Seperti dalam mimesis Paul Ricoeur, prefigurasi dan konfigurasi tidak akan sia-sia ketika ada transfigurasi yang terjadi di sana. Sebuah proses membaca dikatakan berhasil ketika ada proses kreatif yang terjadi.

Selain membaca dan menulis karya-karya sastra, pengetahuan akan perkembangan teater juga mesti dipupuk. Banyak komunitas teater ternama yang mempublikasikan karya pementasannya di youtube. Kita bisa jadikan itu sebagai bahan referensi dalam proses kreatif kita selanjutnya. Kita mengakui bahwasannya kita hanya mengandalkan kemampuan otodidak. Oleh karena itu kita mesti memiliki Self Awareness bahwa seperti ini kenyataan yang terjadi di dalam Aletheia. Sudah saatnya kita bangkit dari relativisme tentang sastra dan Aletheia.

Penutup

Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Saya mengamini bahwa dalam beberapa kesempatan ke depan, kita akan memulai gerakan ini dengan terbuka membangun kerja sama dengan komunitas teater lain, menerapkan kurikulum sederhana yang ditawarkan oleh P. Ve dalam diskusi di atas, guna menempa kreativitas kita dalam membaca dan menulis. Sastra itu indah sebagai fiksi dan indah sebagai fakta, apalagi ketika dimainkan dengan penuh seni dalam teater. 

Fr. Romy Sogen, SVD (Ketua Teater Aletheia Ledalero)

Posting Komentar untuk "Sastra dalam Aletheia: Relativisasi atau Revitalisasi? (Catatan Lepas tentang Diskusi Dokumen Paus Fransiskus “Peran Sastra bagi Pendidikan Calon Imam”) | Romy Sogen"