Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

MALAIKAT MALANG DI LUBANG TOILET

Ibu. Keterasingan ini sangat pekat.

Bising suara hati menggiring sepi semakin pedih.

Sesekali diberantakkan rinai air mata yang menepi di pipi.

Ayah. Mengapa tak datang menjengukku?

Apakah engkau tak menemukan ibu pada rindu yang dikatakan mataku?

Aku hanya memikirkan jasadku telah membatu.

Lebih baik, daripada aku tak pernah dirindukan untuk ada.

Ke mana doa-doaku menyusup ketika langit

Tak terbuka untuk sujud-sujudku?

Apakah...

***

"Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu, mengapa Ia tak besertaku. Terpujilah engkau di antara wanita, terpujilah engkau yang mengandung derita-deritaku. Santa Maria bunda Allah, doakanlah aku yang ada karena dosa siapa. Sekarang dan pada waktu aku tak pernah dirindukan untuk ada. Sungguh!" Aku selalu tak bergairah menyebut doa itu.

Tempat ini sangat pekat dan sepi. Hanya ada sebuah lubang kecil yang juga mengarah ke ruang gelap dan pekat. Di sana cukup baik. Masih kudengar lengking suara yang memaksaku terjaga dan menunggu. Mungkin ada seseorang yang akan menjemputku pulang. Berulang-ulang dan tak kunjung datang. Lalu, aku pasrah dan terbiasa. Diusik harapan yang seperti perapian, menghangatkan tubuh yang tak kurasakan lagi bentuknya. Barangkali, satu-satunya dunia yang kumiliki adalah yang ada di isi kepalaku. Di sana ada wajah orang-orang dan keramaian meski lebih banyak lagi kuburan yang penuh kegelisahan.

Seketika tubuhku runtuh dan terjerembap dalam gelap. Aku tersadar, aku lapar. Tapi tak masalah, aku masih mempunyai sedikit tenaga untuk berlari dan mencari. Aku menyeret kedua kakiku. Tangankulah yang terus kupaksakan merangkak untuk lebih maju. Aku terus mencari. Ke dalam hati yang penuh catatan kosong, ke atas isi kepala yang penuh coretan nama-nama orang asing. Ah, aku terlalu lamban. Kupaksakan kakiku berdiri dan merangkak maju perlahan. Hari-hari begitu kelam dan harapan terus tenggelam serta mimpi terbenam dan tak akan kembali ke peraduan malam. Akh, ataukah aku memang buta? Tentu saja tidak. Aku masih bisa melihat luka di sekujur perasaanku. Melihat garis-garis pipiku babak belur diguyur air mata.

Semakin aku jauh semakin aku tahu bahwa aku tidak sedang ke mana-mana. Aku mulai lelah dan putus asa. Berhenti berlari dan mencari. Lebih baik, sebab semuanya sia-sia.

***

Ada yang menyentuhku. Sungguh! Ada orang di sini. Aku merasakan bayangannya mengikutiku.

"Hei, jangan menggangguku," aku tersengal, suaraku sesak. Tak ada jawab tapi aku masih merasa ia tetap di sana. Bayangan hitam melesat cepat di mataku.

Aku mendengus, melakukan apa saja dengan indraku untuk menangkapnya. Hilang.

"Aku tahu kau di sana. Kau pikir kau bisa menipuku di dalam tempat yang pekat ini, heh?" Aku menantang, mencoba memancingnya berbicara.

Ssssssttttt… Desis panjang memenuhi telingaku seperti suara seorang ibu yang menenangkan bayinya sebelum ditinggalkannya saat terlelap.

Tiba-tiba aku melihat sosok yang menggendong daging busuk menjijikkan dalam pangkuannya yang lemah dan pucat. Sungguh, itu bukanlah bayangan hitam kecil melainkan seonggok daging yang berbentuk bayi manusia. Aku merinding. Kegelapan itu sirna dan yang ada hanyalah ruangan kecil dengan bau busuk yang menyengat. Sekarang aku bisa melihat tubuhku, telanjang dan pucat.

"Siapa kamu?" Tanyaku.

"Siapa kamu?" Ia balik bertanya.

"Bukankah aku yang harus bertanya, mengapa kau balik bertanya padaku?"

Daging busuk menjengkelkan itu malah meletakkan pusarnya yang busuk di pangkuanku.

"Sekarang lihatlah dirimu," katanya.

Ahhh, tidak mungkin! Tidak mungkin itu aku! Ini hanya kebetulan saja, atau dia adalah setan yang bisa menjelma siapa saja. Aku tak boleh tertipu, tak semudah itu, pikirku mencoba untuk tidak diperdaya.

"Kau kira, kau bisa menipuku? Aku tak terlahir kembar dan aku telah lama mengembara sendirian. Ini, ambil kembali pusar busuk milikmu!" Aku melemparkan pusar busuk itu kepadanya. Seketika, aku merasa seluruh isi perutku ditarik bersama pusar busuk itu. Sangat sakit rasanya sampai aku berteriak dan terjatuh.

"Akulah kamu, kamu tak bisa menyangkal lagi," ia telah terjerembap seperti mendemonstrasikan gerak-gerikku dan sama persis.

"Apakah kau juga merasa sakit?”

"Tentu,” jawabnya lirih. "Akulah kamu, telah mengembara sendirian di dalam ruangan yang gelap." Lanjut tubuh tak berhaluan yang tidak lain adalah aku.

Aku menangis. Ternyata doa yang selama ini terus menggema adalah doa yang pernah disebut-sebut ibuku saat aku hampir dilahirkan. Aku telah digugurkan, kehadiranku tak benar-benar dirindukan. Aku hanyalah dosa kedua orang tuaku dan tempatku adalah kegelapan yang menyeramkan. Sendirian tanpa haluan.

"Ibu, ayah, apakah kau kira aku telah menjadi malaikat kecil di surga? Sungguh, aku hanyalah dosa kecil yang tumbuh dengan luka-luka di lubang toilet rumah ayah."

__________________________

Oleh: Geron Darman. 28 Oktober 2023. 23:58 WITA

Penulis kelahiran Manggarai Timur 22 tahun silam kini menetap di Ledalero sebagai seorang penulis sastra pada kelompok minat Teater Aletheia Ledalero.

 

Posting Komentar untuk "MALAIKAT MALANG DI LUBANG TOILET"