Doa, Open Up Like A Rose
Doa
Open
Up Like A
Rose
Edy Soge*
Manusia memiliki panggilan hati dan keterarahan ultim
di dalam hidupnya. Bergerak dari suatu titik sejarah ke sejarah berikut. Ada
masa depan dan kemungkinan paling akhir yang terus menerus menjadi cerlang
cahaya di kejauhan yang bisa disapa dengan rindu dan harap. Kerinduan dan
harapan adalah bagian dari iman yang memekarkan diri. Iman yang bertumbuh di
dalam hening sunyi diri. Diamlah dan ketahuilah Allah (Mzr 46:11). Diamlah
adalah ajakan spiritual tentang iman yang berdoa dan ketahuilah ialah ajakan
pencarian religius tentang iman yang mencari pengertian (fides quarens intellectum).
Tulisan ini saya buat sebagai komentar sederhana atas
puisi Ertus Pangu (EP) berjudul Doa. Puisi
itu dimuat di Kolom Sastra buletin Sastra
Sandaj Jepit (edisi: 03/Oktober 2021, hlm. 3). Ide simbolis yang dikisahkan
puisi itu ialah mawar, dan pada bagian akhir mawar (berduri) dipertentangkan
dengan melati (tidak berduri). Mereka
takut mawar karena duri sedangkan mereka meniduri melati yang tidak berduri.
Saya membaca Doa
EP sebagai ambivalensi mawar. Ia berduri, tapi kembangnya begitu indah. Bahkan mawar
menjadi simbol cinta dan romantika. Lukisan paling tepat dari seorang remaja
yang jatuh cinta ialah setangkai mawar mekar dengan kelopak-kelopak indah
saling terpaut satu sama lain. Namun ketika mawar dipakai sebagai metafora
dalam sebuah puisi, ia jadi polisemi, mengandung makna lebih dari makna
umumnya.
EP, mahasiswa semester III STFK Ledalero, menyajikan
kepada pembaca metafora yang hidup tentang ambivalensi mawar. Mawar yang sudah kuncup bunganya akan
dinanti para pencinta bunga. Mereka orang-orang yang kuat yang selalu setia
menunggu sampai bunga
itu kuncup, meski sering sudah mereka
dikecup duri mawar yang tajam hingga berdarah-darah.
Ambivalensi mawar ini merujuk pada paradoks
penghayatan hidup beriman. Orang dengan pengalaman iman yang khas mengalami apa
artinya berharap dan merindukan langit baru bumi baru. Hidup yang kuncup
berbunga, iman yang riang bertumbuh, dihayati di dalam hidup yang ditandai
dengan salib, derita, sakit dan duka. Kesetiaan menunggu, menanti dan berharap sang
mempelai tiba atau meyaksikan mawar berbunga indah, manusia berjuang dengan
peluh sebab mengikuti Kebenaran (verum),
Keindahan (pulchrum), dan Kebaikan (bonum) adalah ziarah via dolorosa (jalan derita), memikul
salib hidup, menanti masa depan yang absurd.
Mawar yang kuncup adalah iman yang mencari jati
dirinya. Iman ini terus dirawat seperti pemilik taman yang setia menyiram bunga
di pagi hari. Saat pagi bermanja-manja
datang, mereka menyiram bunga itu sambil baca koran tentang seorang anak usia
dini yang mati digigit duri
mawar yang tajam hingga berdarah-darah.
Merawat mawar dibuat dengan mata terbuka sambil membaca kehidupan luas lewat
media. Dari situ si pemilik taman tahu bahwa ada yang mati karena iman atau
juga mati karena gairah hidup yang tak terkontrol atau direnggut oleh kejahatan
licik berbalut kehalusan sikap beragama. Korban itu adalah seorang anak usia
dini. Barangkali ia adalah bocah
yang mati dengan sadis di tengah kecamuk perang Timur Tengah.
Kabar itu sudah biasa sehingga mereka membaca sambil tersenyum dan berbisik bahwa mawar itu surga tetapi sekaligus neraka.
Iman yang dihayati secara ideologis berbahaya untuk peradaban. Iman yang memperjuangkan
kebenaran dengan kekerasan adalah neraka bagi dunia. Kekerasan atas nama agama
adalah akibat dari merawat iman secara tertutup dan berusaha mengarahkan tujuan
berdasarkan dogma dan ideologi sempit yang berbahaya bagi hidup bersama.
Sikap macam ini menimbulkan penilaian bahwa sebetulnya orang
belum bisa menghayati hidup keagamaan atau keberimanan secara tepat dengan pendasaran
teoretis dan praksis yang memadai. Di sini jelas apa yang saya maksudkan dengan
ambivalensi mawar dalam rujukannya pada paradoks penghayatan hidup beriman.
Orang berdoa, setia merawat mawar (iman), bahkan menanti sampai mawar kuncup
dan mekar (iman yang berbuah), tetapi
bisa juga diarahkan pada tindakan melukai orang lain (mawar berduri, iman yang
sesat). Merawat iman dan menghayati hidup keagamaan tetap membutuhkan kapasitas
kecerdasan dan kebijaksanaan
hidup. Iman menerangi akal budi, tetapi juga siap mendengarkan apa pesan
kebenaran logis akal budi.
Beriman dan beragama bukanlah spontanitas atau improvisasi teatrikal. Karena
itu, mereka yang menunggu mawar kuncup lalu berbunga dan telah membaca berita
duka kematian seorang bocah, berbisik lirih, “Ah, Tuhan belum juga mekar dalam hati mereka. Rawat Tuhan itu tidak
seperti merawat bunga. Harus lebih rendah hati dan berdoa. Kemudian jangan lupa
baca koran.” Beriman dan beragama butuh keterbukaan untuk menerima dunia,
mengenal data dan fakta kehidupan dan tetap terus belajar mencari pemahaman.
Iman mencari pemahman tidak hanya di dalam ritus liturgi (berdoa memohon dan
bernyanyi memuji Tuhan), tetapi juga membutuhkan pendasaran filosofis untuk
mencari pemahaman lewat membaca koran atau buku, atau lewat belajar filsafat
dan teologi.
Sikap iman macam ini menjadi teladan ideal bagi hidup.
Dari orang-orang yang beriman secara bertanggung jawab orang lain bisa belajar
untuk memurnikan iman mereka. Dari mereka dapat dibaca suatu pencerahan rohani
tentang penghayatan iman yang benar. EP menyebut secara simbolis agar dahi mereka masih layak menjadi koran
untuk dibaca para pencinta mawar.
EP dalam puisi Doa-nya
menyapa Tuhan tiga kali. Tuhan yang manis (2X). Tuhan yang bijak. Kata mawar
muncul sembilan kali. Membaca diksi-diksi itu saya ingat puisi Rendra, Mazmur
Mawar.
Kita
muliakan Nama Tuhan
Kita
muliakan dengan
segenap
mawar
kita
muliakan Tuhan yang
manis
indah,
dan penuh kasih
sayang
Kemudian
kata mawar mengingatkan saya akan puisi mistis dan religius dari Angelus
Silesius (1624-1677) dalam bukunya The
Cherubinic Wanderer.
Open Up Like A Flower
My
heart could receive God if only it chose,
To
open itself to Him as does the rose
The Mysterious Rose
The
rose is my soul; the thorn the pleasures of the flesh
The
spring is God’s favour; his scorn the cold and frosl
Its
blossoming is doing good without paying mind to its
thorn,
the flesh
Saya
tidak tahu apakah EP membaca Rendra dan Angelus Silesius, tetapi saya yakin bahwa
proses kreatif seorang penyair berjalan dalam proses belajar dari waktu ke
waktu. Bisa jadi di dalam proses itu seorang pemula memakai diksi atau
kata-kata yang pernah diucapkan para pengarang besar.
EP membagi puisinya dalam dua bagian. Bagian (1)
hadir sebagai keterangan pengalaman tentang sesuatu, mawar yang kuncup dan para
pencinta mawar. Bagian (2) adalah permohonan supaya Tuhan yang bijak mengubah pondok-pondok hati para pencinta mawar
menjadi ruang-ruang bersalin segala keketiran
hidup supaya saat matahari mencium embun yang bergelantung di pucuk mawar maka
sirnalah juga segala hati yang telah berselingkuh dengan mereka yang mencintai
melati.
Mereka adalah biadab.
Demikian EP menegaskan. Mereka takut
mawar karena duri sedangkan mereka meniduri melati yang tidak berduri. Lalu
akhirnya permohonan itu menjadi lebih tegas seperti dendam yang baru bertumbuh,
Tuhan yang manis, hukumlah mereka dengan
kecupan-Mu mesra agar dahi
mereka masih layak menjadi koran untuk dibaca para pencinta mawar.
Mawar yang kuncup dan berduri, Riwayat puisi Doa EP, saya mengerti sebagai kiasan
dari paradoks penghayatan iman orang beragama. Beriman secara berani dan bertanggung
jawab tentu melewati proses panjang dan pastinya menderita. Beriman berarti
siap memikul salib bahkan rela menjadi martir. Apakah kita bersedia demikian
atau memilih menjadi seperti mereka yang mencintai melati, fokus pada keinginan daging tanpa perlu
menderita oleh karena sakitnya merawat harapan dan kerinduan rohani dari iman
yang sejati?
Puisi EP cukup berhasil soal
penciptaan simbol dan metafora. Namun puisi ini juga sangat bertele-tele,
melelahkan membacanya. Puisi doa EP seperti mazmur yang ditulis tanpa kedalaman
penghayatan atau kontemplasi
akan pengalaman. EP sangat suka menggunakan kata ulang (bermanja-manja, kecil-kecil, pura-pura, pondok-pondok, ruang-ruang,
manis-manis, orang-orang, berdarah-darah). Penggunaan macam ini jika tidak disiasati
secara baik akan mengurangi keindahan bahasa puisi dan kedalaman maknanya.
Di sisi lain saya menilai puisi ini
kurang berhasil karena tidak ekonomis dan tidak kreatif membangun kalimat indah
dan teratur. Puisi hendaknya diciptakan dengan kata terpilih dan kalimat
tertata anggun lewat diksi dan gaya bahasa yang tepat sasar. Kata kuncup tidak
sama artinya dengan kata mekar. Kuncup berarti tertutup, tidak mekar. Mekar
berarti berkembang, menjadi terbuka. Rupanya dua kata ini belum berhasil dibedakan
secara tepat dan serius di dalam puisi itu. Lebih keliru lagi kata “rubahlah”.
Tidak ada “rubahlah” sebagai kata kerja bahasa Indonesia. Yang tepat ialah
ubah, dan dalam konteks kalimat di puisi itu ialah “ubahlah”.
Para pencinta mawar dalam Doa EP adalah mereka yang hidup dalam
harapan dan kerinduan, mereka menanti iman berbunga dan berbuah, dan tentunya
mereka menderita jua atau juga merekalah yang membuat penderitaan. Mereka tetap
menunggu dan tetap menatap keterarahan hidup. Doa adalah penyerahan hati bagi
Tuhan. Doa berarti open up like a flower.
St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus, “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu
pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah
percobaan dan di tengah kegembiraan.” Mawar iman orang saleh tetap terarah pada
Matahari Sejati. Mekar ke arah dan bagi Tuhan. Sama seperti mawar mistik Angelus
Silesius, hati kita hendaknya kembali pulang, mawar iman kita hendaknya mekar
ke mata Tuhan.
Oktober 2021
Posting Komentar untuk "Doa, Open Up Like A Rose"