Cinta Sekuat Maut, Sebuah Cerpen
Cinta Sekuat Maut
Cerpen Melki Deni*
Pernahkah kau mendengar kisah tentang
biarawati muda dan karyawan tua yang filofobia? Perkenankan aku menceritakan
kisah itu: biarawati muda tertunduk pilu sehabis peluh keletihan dan
merenungkan arah panggilan hidup di kamarnya, ia akan segera dikeroyok
habis-habisan oleh kesepian biara dari kebisingan dunia dan akhirnya tenggelam
dalam dasar yang jauh. Sementara di kamar sebelah, karyawan tua bingung mengapa tidak bisa jatuh cinta!
Orang bilang, aku cantik, cerdas, dan berbakat
menari, tapi introver, dan kurang empati. Hellena namaku. Aku kalem, tenang,
itulah sebabnya aku menarik simpatik siapa saja. Aku lebih suka mendengarkan
dan sedikit berbicara hal ihwal. Suaraku berwibawa dan memuat banyak makna,
bila berbicara. Sikapku yang polos mengundang decak kagum. Aku juga pandai
berjenaka. Bagiku, tidak apa-apa diriku menjadi bahan tertawaan siapa pun,
setidaknya dengan demikian aku dapat menyembuhkan penderitaan mereka, dan
akhirnya persoalan hidupnya selesai.
***
Sejak Juni tahun lalu, aku ditugaskan di panti
asuhan dekat pantai ini. Sebetulnya aku tidak bisa melayani anak-anak
berkebutuhan khusus, tetapi pilihan hidup membuat aku harus berani keluar dari zona kemapanan
diri. Aku memberikan segala potensi dan bakat agar mereka dapat mengekspresikan bakat
dan potensi mereka. Dari mereka, aku mendapat banyak nilai kehidupan; mereka tidak pernah menyerah,
meski dengan kekurangan yang banyak. Mereka tidak mengeluh. Tiada pernah mereka
mengutarakan penderitaan hidup. Tuhan selalu berbicara di balik wajah mereka.
Akut tak jenuh dan letih, kecuali bila aku
diserbu oleh kesepian. Kesepian membuatku selalu mengurung diri di kamar. Pada
saat tertentu aku ingin mengeluarkan dan membuangnya ke dasar laut, namun itu
tidak dapat menghentikan kesepian. Aku tak pernah tahu bila mana kesepian
datang dan pergi. Namun yang pasti, ketika kesepian menyerang kesadaranku, aku
benar-benar terkoyak-koyak, dan digiringnya ke fantasi. Kemudian aku berpikir
bahwa semua teman kecil sudah menikah, mempunyai anak, dan hidup bahagia, tetapi mengapa aku tidak
menikah seperti mereka? Aku pun sadar bahwa aku sudah memilih hidup selibat dan
betarak demi Kerajaan Tuhan.
Karyawan
tua itulah penyebabnya. Ia bisa menjadi tukang batu, tukang bangunan, sopir dan
mengerjakan segala sesuatu di panti asuhan. Lelaki berambut pirang itu beruang.
Titus namanya. Kedua orang tuanya sudah meninggal, sedangkan saudara-saudaranya telah berkeluarga. Ada yang
bilang, karyawan tua itu mengidap penyakit takut jatuh cinta. Ia tidak pernah
jatuh cinta kepada wanita mana pun. Barangkali ia memiliki pengalaman trauma
masa lalu. Barangkali ia banci. Jangan-jangan ia impoten. Atau bisa jadi... Ya sudahlah. Tapi mengapa
ia jatuh cinta padaku. Ia tahu aku masih berumur delapan belas tahun, sedangkan
ia sendiri sudah tiga puluh sembilan tahun. Tidakkah ia paham bahwa menjadi
seorang biarawati tidak akan menikah seumur hidup, mempunyai anak dan
seterusnya?
Malam
itu panti asuhan kesepian, kecuali bising mesin kapal para nelayan di sana dan bunyi
knalpot kendaraan di depan panti asuhan. Suster-suster mengikuti pertemuan
penting di suatu tempat jauh. Di panti asuhan aku, dua orang karyawati,
anak-anak panti asuhan, dan karyawan tua itu duduk makan bersama. Karyawan tua
itu selalu melemparkan pandangan yang aneh ke arahku, dan aku mulai berpikir
aneh. Karena aku belum diizinkan pegang Hp oleh pimpinan biara, maka aku memimjam Hp karyawan
itu untuk menghubungi orang tua di kampung dan teman-teman lama. Pembicaraan kami singkat, karena aku tidak tahu harus
omong apa kecuali rasa hambar yang memelukku.
Udara
dingin musim kemarau membuat malam yang sepi mencengkeram hati, dan sepi
merambat ke seluruh tubuhku. Kalau saja aku dapat terbang ke rumah dan
menceritakan kesepian ini, maka kegalauan dan kegundahanku pasti akan berakhir.
Di atas tempat tidur aku duduk, dan berdiam diri. Memandang kosong ke arah meja
kerja. Tiba-tiba karyawan tua itu menerobos masuk kamarku. Aku tidak berpakaian
biarawati, kecuali helai baju tidur yang tipis dan sedikit transparan. Kukira
ia mau mengambil Hpnya. Ia mengunci pintu, menyimpan kunci di saku celananya,
memadamkan lampu dan melancarkan aksi brutal. Dua jam kemudian aku tersadar.
Tidak berpakaian. Rambut berantakan. Perut perih, kaku dan kepala pening. Ada
rasa nyeri yang tak terperikan di antara kedua pahaku. Dia keluar dari kamar
sambil memperbaiki ritsleting celananya, melangkah limbung tapi sempoyongan,
lalu aku terkapar lemas. Aku tidak bisa menangis. Mau mati rasanya. Aku
menyesal dengan kepengecutan saat itu.
Aku
memakai pakaian baru. Pakaian tadi kubungkus dan kubuang di dasar keranjang
sampah. Lalu aku menulis kalimat ini pada diaryku, “Wanita adalah kertas kosong
yang dengan bebas dituliskan tentang apa saja oleh laki-laki. Sementara itu
laki-laki adalah pena yang tintanya begitu raib dalam kerangkeng libido. Ketika
kertas kosong dipenuhi dengan paragraf tentang apa saja, dan coretan-coretan
kotor oleh laki-laki, sesungguhnya bukan kertas kosonglah yang kalah, tapi pena
yang huru-hara, pengecut dan tidak beres diri. Dengan demikian wanita kuat,
laki-laki sangat lemah.” Aku masih gemetar menelan kegetiran. Selalu
membayangkan ia membuka pintu, memasukkan kunci pintu ke dalam saku celananya,
memadamkan lampu, dan membunuhku secara tragis. Ingatan akan kegetiran akan
bangkit justru ketika ia diciptakan secara brutal, dan ketika tidak ada sesuatu
yang baru datang menghancurkan kegetiran itu.
Sungguh
malang bagiku, ketika dua hari kemudian aku berbelanja sayur-mayur dan ikan di
pasar Kota Baru. Aku harus pergi berdua dengan sopir tua itu. Hari masih pagi
buta, udara dingin pun menghantam pipiku dari luar jendela. Titus menaikkan
kaca jendela mobil. Aku coba menekan tombol, namun kaca jendela tidak juga
naik. Sehabis belanja semuanya sesuai nota belanja, kami pulang melalui jalur
lain. Jalan itu sepi, jarang kendaraan melintasi jalur itu pagi hari. Tapi
mengapa Titus mengendarai mobil ke arah itu? Di tempat sepi ia mulai meminta
yang aneh-aneh.
Matahari
mulai menyembul di balik awan lembayung. Aku mulai gerah kepanasan. Titus menghentikan mobil dengan kasar. Aku hampir menabrak kaca
mobil depan. Sekali lagi ia melancarkan aksi brutalnya sampai aku tak berdaya
sama sekali. Aku tidak bisa memberontak. Perlawanan wanita seperti diriku sama
sekali tidak berguna, kecuali memancing aksi yang lebih keji. Titus mengancam
membunuh aku, bila menceritakan kejadian tragis ini ke siapa saja. Aku tak
berani menceritakannya ke siapa saja, bukan karena aku takut dengan ancaman
lelaki tua itu, melainkan malu diri bila orang-orang tahu tentang diriku yang tidak suci
lagi. Lagi pula, meskipun aku mengisahkan segala kegetiran ini kepada pimpinan,
mereka tidak akan percaya karena tidak punya bukti. Bukan tidak mungkin juga
akan didiamkan begitu saja, kemudian menghibur aku dengan kisah-kisah inspiratif,
dan nasihat rohaniah seperti yang dialami oleh beberapa suster itu.
Aku
duduk di kamar dan membaca kembali kalimat ini, “Laki-laki menyerang Kesadaran
Bahasa (melalui apresiasi dan pujian: kecantikan, keindahan, kebahagiaan, dan
kesuksesan) wanita. Itulah sebabnya wanita begitu rentan terjebak tanpa tenaga
di bawah Permainan Bahasa laki-laki.” Tetapi Titus tidak pandai berkata-kata, kecuali
kekuatan otot yang tidak terkalahkan itu. Ketika otak tidak berfungsi dengan
baik, ototlah yang bantu menyalurkan agresivitas nafsu liar.
Esok
siangnya aku duduk di samping kolam, dekat pantai itu. Titus mendekatiku.
Matanya menatap teduh, lalu tertunduk malu. Lalu ia mulai bercerita tentang
trauma masa lalunya. Sesungguhnya apa yang dikisahkannya tidak menarik sama
sekali, tetapi aku mencoba menelan ludah dan
menekan semua ingatan. Bukankah pura-pura mendengarkan jauh lebih baik daripada
membuang muka kepada lawan bicara yang telah menoreh luka tak tersembuhkan?
Suster tua memanggil namaku, dan aku segera pergi.
Malam
mulai hening, bising kendaraan tak terdengar lagi, kecuali suara binatang
malam. Aku ingin menenangkan pikiranku di kolam. Kuulurkan kaki ke dalam air,
dan ingatan mulai memecahkan keheningan. Jantung berdetak kencang. Ingin
rasanya bunuh diri saja; sebab bukankah mati karena bunuh diri lebih mulia
daripada menjadi budak seks bagi
lelaki tua yang pernah mengidap penyakit filofobia itu?
Aku
mendengar entakan kaki dari belakangku. Ia langsung memelukku dari belakang,
dan menutup mulutku. Aku terkapar tak berdaya. Anjing-anjing menggonggong dari
dapur, kami pun lari pontang-panting dalam diam. Barangkali malaikat Tuhan
mengutus anjing-anjing itu, meski sudah terlambat. Aku sudah benar-benar
hancur. Ibadat, misa dan kegiatan-kegiatan rohani dipandang sebagai rutinitas belaka.
Tuhan tidak menyilih keburukan dan penderitaan dari hidupku. Sejak itu, aku pun mengidap penyakit
ermifobia, sebab tiap kali aku berada dalam kesepian, predator merampas diriku
habis-habisan. Aku ingat sebuah kalimat, “Wanita mencengkeram ruang kesepian
laki-laki. Itulah sebabnya laki-laki begitu mudah menyerah dan menghambakan
diri tanpa perlawanan berarti di hadapan wanita.” Aku ingin secepatnya pergi
dari sini.
Aku
teringat kata Paulo Coelho, “Mungkin cinta membuat kita semua tua sebelum
waktunya—atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat.” Itulah sebabnya aku
menulis kisahku ini kepadamu; barangkali kau akan paham dan bantu menceritakan
kisah ini ke dunia yang lebih luas. Apalah daya manusia seperti diriku, “karena
cinta kuat seperti maut,” kata Kidung Agung, 8:6-7, “Air yang banyak tidak dapat
memadamkan cinta, sungai-sungai tidak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang
memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia akan pasti dihina.”
Namun, apakah cinta sama dengan agresivitas nafsu liar? Agresivitas nafsu liar
membuatku getir seluruh usia. Bagaimana mungkin aku ingin menjadi biarawati
yang harus selibat dan bertarak demi Kerajaan Allah, tapi dilecehkan secara
membabi buta oleh lelaki yang katanya mengidap penyakit filofobia itu?
Semua
kisah perempuan nyaris sama.
Posting Komentar untuk "Cinta Sekuat Maut, Sebuah Cerpen"